Tanggal 21 Maret merupakan hari Down Syndrome sedunia atau World Down Syndrome Day. Pemilihan tanggal 21 Maret ini ternyata ada ceritanya, Gengs!

 

Tanggal 21 Maret atau 21 bulan 3 dianggap mampu menyimbolkan kondisi trisomi kromosom 21, suatu kelainan genetik yang terjadi pada orang dengan Down Syndrome.

 

Kondisi Down Syndrome memang hasil dari kelainan genetik, yang terjadi di level kromosom. Nantinya, mereka yang terlahir dengan sindrom ini menjadi “berbeda” dengan mereka yang memiliki jumlah kromosom yang normal.

 

Ingin tahu lebih jauh lagi tentang kondisi Down Syndrome? Yuk, intip beberapa fakta terkait kondisi ini!

 

  • Down Syndrome adalah suatu kondisi, bukan penyakit

Seperti yang sudah disinggung di awal, Down Syndrome terjadi karena adanya trisomi pada kromosom nomor 21. Pada umumnya, setiap manusia akan memiliki 23 pasang kromosom berisikan segala informasi genetik yang dimilikinya.

 

Trisomi dapat diartikan sebagai adanya salinan ekstra dari salah satu kromosom. Dalam kasus Down Syndrome, terdapat salinan ekstra (extra copy), baik sebagian maupun seluruhnya, pada kromosom nomor 21.

 

Baca juga: Inilah Gangguan Kesehatan yang Dialami Anak Down Syndrome

 

Hal ini menyebabkan mereka yang memilikinya akan mengalami kondisi yang berbeda dari kebanyakan orang. Banyak pihak menyepakati bahwa Down Syndrome bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu kondisi yang berbeda dari orang pada umumnya.

 

Mereka yang mengalami kondisi ini pun sebaiknya disebut “orang dengan Down Syndrome”, bukan “orang yang menderita Down Syndrome”.

 

  • Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang angka kejadiannya tinggi

Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Down Syndrome adalah suatu kondisi yang angka kejadiannya tergolong tinggi, yaitu 1 per 700 bayi.

 

Sebenarnya terdapat banyak kemungkinan kelainan yang terjadi pada kromosom. Salah satunya disebut dengan kelainan numerik atau aneuploidy, yaitu terjadinya perbedaan (lebih atau kurang) jumlah kromosom dari yang seharusnya.

 

Berada di posisi pertama adalah Turner Syndrome, yaitu kekurangan satu buah kromosom (monosomi) pada kromosom seks seorang perempuan. Down Syndrome yang merupakan trisomi kromosom nomor 21 berada di posisi kedua.

 

  • Nama Down Syndrome berasal dari dokter penemunya

Down Syndrome ditulis dengan huruf D kapital, karena Down berasal dari nama orang, Gengs! Dokter John Langdon Down adalah orang yang pertama kali mendeskripsikan kondisi ini pada tahun 1866.

 

Pada awalnya, Dokter J.L. Down menyebut kondisi ini sebagai “mongolism”. Namun seiring menjamurnya studi terkait kromosom yang mengonfirmasi keterkaitan dengan timbulnya sindrom ini, maka istilah Down Syndrome pun mulai digunakan.

 

Baca juga: Mengasuh Anak Penyandang Down Syndrome

 

Mungkin Geng Sehat juga akan menemukan penulisan yang kurang tepat, yaitu Down’s Syndrome. Padahal, seharusnya ditulis Down Syndrome, karena Dokter J.L. Down sendiri tidak memiliki sindrom ini, sehingga tanda apostrof dan huruf S tidak seharusnya digunakan.

 

  • Belum ditemukan penyebab pasti terjadinya kondisi ini

Hingga saat ini, belum ditemukan penyebab pasti dari Down Syndrome. Satu-satunya faktor risiko yang telah terbukti terkait dengan peningkatan kejadian Down Syndrome adalah usia ibu saat hamil.

 

Namun seiring meningkatnya jumlah kehamilan di usia muda, didapatkan juga proporsi bayi lahir dengan Down Syndrome dari ibu berusia muda (di bawah 35 tahun).

 

  • Deteksi Down Syndrome dapat dilakukan sejak masa kehamilan atau pada saat bayi lahir

Saat ini sudah terdapat beberapa metode untuk mendeteksi Down Syndrome, bahkan sebelum bayi lahir. Pemeriksaan prenatal atau yang dilakukan sebelum kelahiran dapat bersifat screening atau diagnostik.

 

Screening hanya bersifat mengestimasi peluang seorang bayi terlahir dengan sindrom ini. Sementara pemeriksaan diagnostik digunakan untuk mengonfirmasi apakah seorang bayi yang berada di dalam kandungan memang memiliki Down Syndrome.

 

Baca juga: Ibu Hamil Usia 35 Tahun Wajib Lakukan Ini!

 

Jika pemeriksaan prenatal tidak dilakukan, maka pemeriksaan pada saat bayi lahir juga memungkinkan. Bayi-bayi dengan Down Syndrome memiliki beberapa kesamaan fisik, seperti tonus otot yang lemah, bentuk mata seperti almond, leher yang pendek, dan sebagainya.

 

Bayi dengan penampilan fisik yang khas seperti ini umumnya akan menjalani pemeriksaan karyotype untuk mengonfirmasi diagnosisnya.

 

  • Orang dengan Down Syndrome sangat berpotensi menjalani hidup normal

Konsekuensi dari adanya salinan ekstra kromosom pada orang dengan Down Syndrome memang tidak sebatas pada perbedaan tampilan fisik. Mereka juga berisiko lebih tinggi mengalami keterlambatan kognitif atau intelektual (tetapi bukan retardasi mental, ya!), serta beberapa kondisi medis lain, seperti kelainan jantung, saluran cerna, dan lain sebagainya.

 

Namun dengan kemajuan ilmu kedokteran seperti sekarang, harapan untuk mereka menjalani hidup yang sehat dan normal pun menjadi besar. Mereka memiliki harapan hidup yang relatif panjang dan dapat berkontribusi dalam kehidupan sosial melalui berbagai cara.

 

Program edukasi yang berkualitas, lingkungan yang suportif dan stimulatif, serta perawatan kesehatan yang baik akan sangat membantu orang-orang dengan Down Syndrome menjadi pribadi yang produktif.

 

Jadi Gengs, semoga dengan memahami beberapa fakta seputar Down Syndrome ini kita menjadi semakin bisa berempati dan mau menyediakan lingkungan yang sehat dan suportif bagi mereka, ya!

 

Baca juga: 3 Kelainan Trisomi yang Harus Diketahui Ibu Hamil!

 

 

Referensi:

National Down Syndrome Society: Down Syndrome

Centers for Disease Control and Prevention: Facts about Down Syndrome

Appl Clin Genet. 2010; 3: 159–174.

NHS: Down's syndrome