Tuberkulosis alias TB adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan dapat menular melalui udara. TB biasanya ditandai dengan batuk yang tak kunjung reda dalam kurun waktu dua minggu, batuk berdarah, badan lemas, sesak napas, dan nafsu makan menurun. Sebagai seorang apoteker, saya sudah beberapa kali menemui kasus pasien dengan TB. Karena merupakan suatu penyakit infeksi bakteri, maka antibiotik adalah terapi utama dalam penanganan penyakit TB. Namun, berbeda dari penyakit infeksi bakteri lainnya, terapi obat-obatan antibiotik untuk TB ini khas sekali. Saking khas-nya, saya selalu meluangkan waktu lebih dengan pasien TB untuk menjelaskan obat-obatan mereka. Mau tahu apa saja hal-hal yang khas dari terapi penyakit tuberkulosis alias TB ini? Mari simak hal-hal di bawah ini!

 

Baca juga: Waspada, Jumlah Bakteri Tuberkulosis (TB) yang Kebal terhadap Obat Meningkat!

 

Terapi TB terdiri dari lebih dari satu obat

Hal yang paling sering ditanyakan oleh pasien yang baru saja didiagnosis dengan tuberkulosis kepada saya adalah: ‘Kenapa obatnya banyak sekali sih, Mbak?’ Yup, dalam pengobatan TB memang digunakan hingga empat macam obat yang berbeda. Empat obat lini pertama dalam terapi TB adalah isoniazid atau INH, rifampisin, pirazinamide, dan ethambutol. Jadi nih ceritanya, menurut panduan pengobatan TB dari World Health Organisation (WHO) mempunyai empat tujuan utama: menghilangkan bakteri penyebab TB, mencegah penularan, mencegah terjadinya kekambuhan (relapse), serta mencegah terjadinya resistensi obat. Tapi, ternyata nih, mencapai keempat tujuan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Soalnya, bakteri penyebab TB itu ‘bandel’ banget! Pertama, karena bakteri M. tuberculosis ini memiliki kemampuan ‘bertahan’ terhadap obat yang berujung pada resistensi obat. Kedua, jika tidak dimusnahkan seutuhnya, ia berpotensi besar untuk menimbulkan kekambuhan. Nah, strategi untuk mengatasi hal ini adalah dengan menggunakan kombinasi keempat obat tersebut! Mau tahu alasan lebih lengkapnya? Yuk kita lihat di poin berikutnya!

 

Masing-masing obat TB memiliki fungsi yang berbeda

Seperti yang sudah saya sebutkan, ada empat obat lini pertama TB. Keempat obat ini sama-sama memiliki tujuan akhir membunuh bakteri penyebab TB, namun mereka masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Isoniazid (INH) bekerja menghambat pembentukan sel bakteri TB, dimana jika tidak ada dinding sel maka bakteri tidak akan mampu bertahan hidup. Rifampisin bekerja menghambat sintesis RNA bakteri, sehingga menghambat juga perkembang-biakan si bakteri. Ethambutol juga akan menghambat pembentukkan dinding sel bakteri, namun lewat cara yang berbeda dengan cara kerja INH. Sedangkan pirazinamid akan membuat lingkungan pertumbuhan bakteri memiliki pH yang rendah, sehingga tidak cocok untuk bakteri bertumbuh. Saya terkadang memberikan ilustrasi ini kepada pasien: bayangkan jika bakteri TB itu adalah sebuah benteng yang kuat. Jika dihancurkan dari sisi depan saja, banteng tersebut mungkin tidak akan rubuh dan tetap tegar berdiri. Namun jika banteng tersebut diserang dari sisi kanan, kiri, depan, dan belakang, maka kemungkinan besar banteng itu akan rubuh dengan cepat. Demikianlah kombinasi keempat obat TB digunakan untuk memerangi bakteri dari segala sisi, dengan tujuan seperti yang sudah saya sebutkan di poin nomor satu tadi!

 

Baca juga: Obat Herbal atau Obat Kimia, Mana yang Lebih Baik?

 

Durasi terapi TB terbilang cukup lama

Pertanyaan lain yang sering ditanyakan oleh pasien mengenai terapi TB adalah ‘Kenapa saya harus konsumsi obat ini hingga berbulan-bulan?’ Terapi TB paru dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif adalah dua bulan pertama pengobatan. Pada fase intensif ini keempat obat yaitu INH, rifampisin, etambutol, dan pirazinamid akan diberikan kepada pasien dengan dosis yang disesuaikan dengan bobot badan pasien. Fase lanjutan, seperti namanya, adalah masa pengobatan lanjutan setelah fase intensif selesai. Fase lanjutan berlangsung selama empat bulan, sehingga secara total pengobatan TB paru akan memakan waktu kurang lebih enam bulan lamanya. Pada fase lanjutan ini, hanya dua obat yang akan diberikan, yakni isoniazid dan rifampisin. Jika pengobatan hanya dilakukan sebentar saja, maka bakteri TB yang hendak dibasmi akan mampu bertahan dan kemudian menjadi kuat kembali. Oleh karena itu, WHO mencanangkan dua fase tersebut agar bakteri penyebab TB benar-benar terbasmi sempurna.

 

Kepatuhan pasien menentukan keberhasilan terapi

Dengan adanya banyak obat yang harus diminum, ditambah dengan jangka waktu pengobatan yang lama, tidak heran bahwa masalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan menjadi isu utama dalam terapi TB. Sebagai apoteker, saya selalu berusaha membuat pasien sadar bahwa kepatuhan terhadap pengobatan adalah kunci utama kesembuhan. Terkadang pasien merasa sudah lebih baik, sehingga terapi dihentikan sebelum waktunya. Dalam hal ini, peranan keluarga dan orang terdekat pasien menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi. Untuk menyiasati aspek banyaknya obat yang harus diminum, tersedia juga tablet yang sudah berisi kombinasi keempat obat tersebut (fixed dose combination tablet). Namun kelemahan dari fixed dose combination ini adalah dosisnya tidak dapat diatur sesuai kebutuhan masing-masing pasien. Nah, itu dia hal-hal penting yang ada di balik pengobatan tuberkulosis alias TB. Obat yang digunakan adalah kombinasi lebih dari satu macam obat, serta memiliki durasi pengobatan yang cukup lama pula. Oleh karena itu, kepatuhan pasien dalam menyelesaikan pengobatan adalah salah satu tantangan utama. Semoga dengan membaca artikel ini, Anda yang sedang berada dalam pengobatan TB bisa lebih memahami obat-obat Anda, ya!

 

Baca juga: Tuberkulosis: Sembuhkan Sampai Tuntas, karena Kita Semua Berisiko!