Nilai yang penting untuk ditanamkan kepada anak dalam tumbuh kembangnya adalah disiplin. Nah, di sinilah biasanya terjadi kerancuan, antara menjadi tegas atau menjadi keras kepada anak. Bagaimana membedakannya, ya? Yuk, simak lebih lanjut di sini.

 

Tegas atau Keras pada Anak, Ketahui Bedanya

Menjadi orang tua memang profesi mulia yang sungguh berat. Kita dituntut menjadi sosok yang penyayang, peduli, sekaligus mampu mendidik. Nah, tantangan dimulai ketika si Kecil tumbuh menjadi manusia kecil dengan ragam emosi yang memengaruhi perilakunya. Ia akan mengembangkan sikap independen, yang membuatnya bisa mengamuk atau tantrum, bahkan menolak untuk menuruti perintah orang tuanya.

 

Kesal? Sudah pasti. Namun, menurut para ahli, cara terbaik untuk memahami perilaku anak-anak adalah dengan memahami apa yang ia alami dalam perkembangannya. Pengetahuan ini akan membantu Mums dan Dads mendisiplinkan anak-anak tanpa harus berteriak, mengancam, atau membuat diri Mums kewalahan. 

 

“Disiplin bertujuan untuk membimbing dan mengajar anak-anak, bukan tentang hukuman atau kemarahan. Disiplin adalah cara membantu anak-anak belajar yang benar dari yang salah dan menjaga mereka tetap aman," kata Scott Wooding, seorang psikolog anak di Calgary dan penulis The Parenting Crisis.

 

Perlu diketahui juga, tujuan mendisiplinkan anak tak sekadar bertujuan agar ia menuruti orang tuanya, melainkan ada tujuan lain, yaitu:

  • Menghormati orang tua.
  • Pada saat yang sama memahami bahwa orang tua adalah sosok penuh kasih.
  • Mendidik si Kecil tanpa menggunakan kekuatan yang bisa menimbulkan ketakutan atau teror dengan menyakiti, melecehkan, atau menelantarkan anak secara fisik maupun emosional.

 

Sayangnya, beberapa orang tua percaya bahwa satu-satunya cara untuk mendisiplinkan anak adalah dengan bersikap keras. Padahal, bersikap tegas dan keras nyatanya sangat berbeda, lho. Mums bisa membuat si Kecil patuh tanpa berteriak, mempermalukan, atau berdebat bolak-balik dengan bersikap tegas.

 

Penulis buku parenting, Dr. Scott Turansky, mengatakan bahwa umumnya seorang ibu beranggapan anak-anak tidak akan melakukan apa pun kecuali dimarahi. Padahal, cara seperti ini justru mengacaukan batas antara kekerasan dengan ketegasan, yang mana keduanya bukanlah hal yang sama.

 

Jika didefinisikan, ketegasan adalah membantu anak-anak belajar menahan diri dan memahami sejauh mana batas yang aman. Hal ini disampaikan dengan cara yang jelas, masuk akal, dan seimbang antara memberi kebebasan dan batasan. Kekerasan, di sisi lain, menggunakan kata-kata berisi kemarahan untuk membuat anak-anak percaya bahwa orang tua bersungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan.

 

Jika diibaratkan, pola asuh seperti karet gelang. Jika terlalu ketat, maka akan menyakiti pergelangan tangan saat dipakai, tetapi jika terlalu longgar akan terjatuh dan kita bisa kehilangan.

 

Pengasuhan yang tegas inilah yang akan membantu anak-anak belajar menahan diri dan membatasi, seperti halnya karet gelang yang efektif. Dengan kata lain, menjadi tegas bukan berarti menjadi orang tua yang keras.

 

Baca juga: Kenali Gangguan Bicara dan Bahasa di Setiap Tahapan Usia

 

 

Cara Menguasai Pola Asuh yang Tegas 

Jika pada sikap keras mengandalkan suara yang menggelegar, berbeda ketika Mums bersikap tegas. Nada suara yang tegas adalah yang tidak berteriak, kuat, jelas, tajam, dan pasti. Pada saat yang sama, diikuti bahasa tubuh yang percaya diri, kontak mata yang kuat, serta posisi tubuh yang berhadap-hadapan, bukan dengan sikap marah, seperti mengepalkan tangan atau menunjuk anak untuk mengintimidasinya. 

 

Lalu, bagaimana membedakan bahwa kita termasuk orang tua yang tegas atau keras? Ada beberapa kriteria dan contoh yang bisa menjadi gambarannya:

 

Tegas

Keras

Memberikan batasan dengan kasih sayang


Contoh: “Sayang, Mama tahu Adik pingin makan cokelat. Tapi, karena sudah malam enggak boleh, ya."

Bersumber dari rasa marah yang meledak-ledak


Contoh: “Enggak boleh! Adik enggak boleh makan cokelat!”

Memvalidasi perasaannya


Contohnya: “Nak, Mama tahu Adik masih mau main. Tapi, sekarang saatnya makan. Ayo, sudah dulu mainnya.”

Orang tua menyampaikan sesuatu tanpa bisa mengendalikan diri.


Contoh: “Adik, ayo makan! Main aja dari tadi, nanti kamu sakit kalau enggak makan!”

Memberikan pemahaman


Contoh: “Adik lagi asyik ya nontonnya? Mama tahu Adik ingin nonton TV daripada mandi. Tapi, karena sudah sore, Adik harus mandi dulu, ya.”

Berpotensi merusak hubungan orang tua-anak


Contoh: “Adik, ayo mandi atau nanti Mama tinggal pergi!”

  

Baca juga: Sebaiknya Hindari Gula dan Garam Tambahan pada Awal Masa MPASI

 

Terlihat dari contoh di atas bahwa kemarahan memang bisa efektif membuat anak tenang, menurut, atau melakukan tugasnya. Namun ingat, kemarahan dan kekerasan memiliki sisi negatif. Hal tersebut dapat membangun dinding perlawanan pada anak-anak dan selama bertahun-tahun menciptakan jarak pada hubungan orang tua dan anak.

 

Tak bisa dimungkiri, menjadi orang tua yang tegas memang membutuhkan latihan dan evaluasi. Ajukan pertanyaan penting ini kepada diri sendiri saat menghadapi si Kecil: Petunjuk apa yang sudah diberikan kepada si Kecil kalau Mums serius? Apakah itu kemarahan atau itu ketegasan? Jika Mums merasa telah bersikap keras kepada si Kecil, luangkan waktu untuk mengevaluasi kembali perilaku Mums. 

 

Yang perlu diingat, kunci untuk mendidik anak adalah dengan memperbanyak tindakan dan mengurangi teriakan. Para ahli sudah menjamin bahwa sikap seperti ini justru dapat membawa perubahan yang signifikan untuk anak. Siap untuk memulai perubahan, Mums? (AS)

 

Baca juga: Si Kecil Akan Tumbuh Jadi Anak Hebat Jika Ibunya Bahagia

 

Referensi

Parent Circle. Firm Parent

Family Education. Voice Tone

Lake Side. Firm Not Angry

Positive Discipline. Kind and Firm

Imom. Firmness

Thriving Kids Connection. Yelling Isn’t Necessary