Mums dan Geng Sehat pasti pernah mendengar istilah resistensi antibiotik? Istilah medis  resminya adalah resistensi antimikroba (Antimicrobial resistance/AMR). AMR adalah suatu kondisi di mana bakteri, virus, jamur atau mikroba lainnya sudah kebal dengan obat. Sederhananya, bakteri menjadi resisten dengan antibiotik, jamur sudah tidak mempan dengan antijamur, virus tidak mempan dibasmi dengan antivirus, dll.

 

Apa sih bahaya AMR ini? Kematian adalah risiko tertinggi, saat infeksi akhirnya tidak tertangani karena tidak ada satu obat pun yang bisa membasminya. Seram bukan? Nah, biar tidak terjadi hal seperti ini kita mesti bijak menggunakan antimikroba atau kita sebut saja dengan antibiotik, karena obat ini yang paling sering digunakan masyarakat. Simak penjelasn ahli berikut!

 

Apa itu Antimicrobial resistance?

Menurut dr. Vannesi T. Silalahi, Sp.An, MSc, KIC, dokter spesialis anestesi konsultan perawatan intensif dari Eka Hospital, Serpong, “AMR itu Antimicrobial resistance. Orang awam tahunya cuma antibiotik. Tapi sebetulnya antimikroba itu bisa untuk bakteri, jamur, virus, dan banyak hal lain yang bisa menyebabkan infeksi. Kalau penyebabnya bakteri maka obatnya antibiotik, kalau jamur diberikan antijamur, antivirus, dan sebagainya. Obat-obatan inilah yang disebut antimikroba.”

 

Masalah terkait penggunaan antimikroba, lanjut dr. Vanessi adalah resistensi atau kebal obat. “Kalau obat sudah resisten, maka sudah tidak mempan lagi. Mau dikasih segerobak (antibiotik) juga kalau sudah tidak mempan, pasien tidak akan sembuh. Ini yang sangat ditakuti,” tambah dr. Vanessi dalam seminar bertema “Peran Nakes dan Keluarga Pasien dalam Mewujudkan Tata Laksana Penggunaan Antimikroba yang Bijak & Rasional di ICU: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna” yang diselenggarakan Pfizer Indonesia bekerja sama dengan Eka Hospital, di Serpong, Tangerang Selatan, 6 September 2023.

 

Seminar ini menekankan penggunaan antimikroba di ICU, yang biasanya membutuhkan antimikroba dosis tinggi, spekturm luas, dan pemakaian yang lama. Mengapa ICU? Data menunjukkan sekitar 7 dari 10 orang yang dirawat di ICU menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik secara rasional sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya resistansi antimikroba di ruang ICU.

 

Data WHO tahun 2019 menunjukkan resistansi antimikroba sudah menyebabkan kematian 1,27 juta orang di seluruh dunia. Ini sudah menjadi isu di seluruh dinia. Menurut dr. Vanessi, untuk mencegahnya tidak hanya menjadi tugas tenaga kesehatan, namun juga keluarga pasien.

 

Komunikasi Penting, Jangan Ragu Bertanya ke Dokter

Butet Trivyantini, patient advocate menjelaskan, agar pemakaian antibiotik rasional dan bijak di ICU, dan untuk menghindarkan risiko AMR, maka perlu ada komunikasi yang intens antara kluarga pasien dgn nakes.

 

“Jadi ada kesepahaman mengenai terapi yang diberikan. Keluarga ikut berperan dalam memutuskan obat antibiotik apa yg diberikan dan kemudian mereka mengerti. Nakes juga lega karena keluarga sudah paham, supaya penanganan di ICU jitu dan tepat.

Ditambahkan dr. Vanessi, keluarga adalah bagian penting dari tim. “Ketika menangani pasien, kita itu bertiga jadi satu tim: pasien, dokter, dan keluarga. Keluarga pasien harus dilibatkan dalam rencana terapi dan ini meringankan pekerjaan dokter.”

 

Terkait pencegahan AMR, Pfizer Indonesia meluncurkan gerakan #JituDiICU dengan mendorong keluarga pasien untuk melakukan komunikasi yang terbuka dan konstruktif dengan tenaga kesehatan. Berikut 4 hal yang bisa ditanyakan ke dokter terkait penggunaan antibiotik:

 

1. Penggunaan antibiotik

Menurut dr. Vanessi, pasien di ICU adalah pasien kritis yang perlu distabilkan dulu kondisinya. Jadi pemberian antibiotik di awal adalah tindakan darurat untuk menstabilkan kondisi pasien. Keluarga atau pihak pasien dapat menanyakan jenis, dosis, lama penggunaan, cara pemberian, serta efek samping penggunaan antibiotik ini kepada tenaga medis agar mendapat pemahaman yang lebih baik

 

2. Tanyakan hasil kultur

Tes laboratorium (uji kultur) adalah tes untuk mengetahui secara tepat jenis bakteri penyebab infeksi pada pasien. Beberapa hal yang bisa ditanyakan kepada tenaga kesehatan antara lain adalah apakah akan dilakukan uji kultur, waktu keluarnya hasil uji kultur, alternatif perawatan yang bisa dilakukan setelah hasil uji kultur keluar, serta risiko pemberian antibiotik empirik apabila ternyata infeksi pasien bukan disebabkan oleh bakteri.

 

3. Perkembangan kondisi pasien

Tanyakan perkembangan kondisi pasien ICU, apakah membaik atau memburuk selama perawatan. Lebih spesifiknya, pertanyaan yang bisa diajukan antara lain adalah seberapa sering tenaga kesehatan akan memberikan informasi terbaru mengenai kondisi pasien, siapa saja yang dapat ditanyai mengenai perkembangan kondisi kesehatan pasien, tindakan lain atau perubahan pemberian antibiotik apa yang akan diterapkan jika kondisi pasien tidak kunjung membaik, dan sebagainya.

 

4. Bagaimana risiko resistansi antimikroba ditangani?

Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan ke tenaga kesehatan misalnya seberapa tinggi risiko terjadinya resistansi antimikroba di ICU, indikator terjadinya resistansi antimikroba terhadap pasien, risiko transmisi bakteri, jamur atau virus yang sudah kebal ke anggota keluarga lain, serta upaya-upaya lain yang bisa dilakukan untuk menekan risiko terjadinya resistansi antimikroba.