Tanggal 12 Juli 2021, penambahan kasus positif Covid-19 mencapai 40.000! Diperkirakan, angka ini belum mencapai puncaknya. Jadi, saat ini kita wajib memperketat protokol kesehatan dan tidak boleh lengah sama sekali.

 

Setelah lebih setahun kita mengenal virus Sars-CoV-2 penyebab Covid-19, pemahaman akan virus ini pun mulai membaik. Bahkan vaksin pun sudah diberikan secara massal. Namun, mutasi virus pun terus terjadi. Inilah yang menyebabkan kita seakan berlomba dengan waktu menaklukkan virus ini dengan vaksin.

 

Dalam siaran pers yang dibagikan ke media, awal Juli ini, Prof. Dr. Ari Fahrial Syam, yang merupakan Dekan FKUI sekaligus akademisi dan praktisi klinis menjelaskan, pemahaman yang lebih baik dalam ilmu biologi molekuler memungkinkan genom lengkap virus penyebab Covid-19 sudah diketahui.

 

“Hal tersebut memungkinkan vaksin dan obat-obatan yang berpotensi bisa digunakan sebagai pengobatan sementara walaupun obat-obatan yang ada memang belum spesifik untuk menghilangkan virus ini dari tubuh. Begitupun vaksin yang benar-benar efektif juga belum ditemukan.” jelas Prof. Ari.

 

Baca juga: Benarkah Penyebab Kematian Pasien Covid-19 Akibat Interaksi Obat?

 

Masa Inkubasi, Masa yang Krusial

Virus tetaplah virus. Saat virus masuk ke dalam tubuh, daya tahan tubuh akan melawan keberadaan virus tersebut yang kita sebut masa inkubasi, sebelum seseorang yang sudah terpapar infeksi tersebut mengalami gejala.

 

Menurut Prof. Ari, penting sekali mengobservasi diri kita sendiri untuk mengetahui perubahan yang dialami pada tubuh di masa pandemi ini. “Minggu pertama saat seseorang sudah bergejala merupakan kunci penting, apakah bisa sembuh atau sebaliknya kondisi menjadi semakin buruk,” jelasnya.

 

Pasien Tanpa Gejala

WHO sudah mengeluarkan rekomendasi untuk pasien yang terinfeksi virus dan tanpa gejala cukup isolasi mandiri selama 10 hari dan setelahnya sudah dikatakan sembuh dan bisa lepas isolasi.

 

“Jika dalam 10 hari masih tetap tanpa gejala, bisa dikatakan daya tahan tubuh sudah bisa menghancurkan virus tersebut. Makanya untuk pasien tanpa gejala tidak perlu minum antivirus, cukup dengan vitamin saja,” ungkap Prof. Ari.


Pasien Gejala Ringan-Sedang

Bagaimana dengan pasien dengan gejala ringan? Pasien diusahakan tetap mempertahankan kesehatannya sehingga gejala tidak menjadi berat atau memburuk, khususnya pada minggu pertama setelah muncul gejala.

 

Masa isolasi adalah 10 hari ditambah tiga hari setelah gejala hilang. Saat itulah pasien dianggap sudah berhasil mengatasi infeksinya dan tidak akan menularkan virus lagi, meskipun hasil PCR mungkin masih positif.

 

“Untuk menjaga agar gejala tidak memburuk, maka kuncinya adalah istirahat, banyak tidur, tidak stres, dan tetap makan dan minum yang cukup. Ketika badan sudah tidak nyaman, segera istirahat dan jangan dipaksakan untuk tetap bekerja atau beraktivitas,” jelas Prof. Ari.

 

Pada minggu pertama ini, daya tubuh kita sedang melawan virus. Oleh karena itu, pasien dengan gejala ringan dan sedang yang sedang isoman, boleh diberikan antivirus seperti favipiravir dan obat azitromisin.

 

Favipiravir adalah obat antivirusuntuk mengurangi jumlah virus, sedangkan azitromisin merupakan antibiotik yang juga memiliki sifat antiradang dan imunomodulator untuk membantu melawan virus tersebut.

 

Baca juga: Jika Anak Terinfeksi COVID-19, Berikut Panduan Isolasi Mandiri untuk Anak dari IDAI

 

Penyebab Gejala Covid-19 Memburuk

Menurut Prof. Ari, dari hasil observasi selama ini, salah satu penyebab kasus gejala Covid-19 yang awalnya bergejala ringan-sedang lantas memburuk adalah akibat mengonsumsi obat yang tidak tepat.

 

Obat yang dimaksud salah satunya adalah dexamethasone, baik generik maupun bermerek dagang. Saat ini, dexamethasone bahkan masuk daftar obat untuk pasien isoman dan banyak diresepkan melalui platform telemedicine.


Ilmu kedokterkan berbasis bukti menyebutkan bahwa dexamethasone tidak berguna untuk pasien tanpa gejala, begitupun untuk gejala ringan dan sedang.

 

“Saya pernah menyampaikan mengenai dampak buruk mengonsumsi dexamethasone ini, saya sebut obat ini sebagai pisau bermata dua. Untuk yang tanpa gejala, gejala ringan dan sedang khususnya di awal penyakit yang dibutuhkan adalah peningkatan daya tahan tubuh. Dexamethasone membuat daya tahan tubuh kita menjadi lemah, sehingga membuat virus menjadi semakin merajalela,” jelas Prof. Ari.

 

Pada pasien diabetes, dexamethasone bisa membuat gula darah menjadi tidak terkendali, dan untuk penderita hipertensi, dapat membuat tekanan darah menjadi tidak terkontrol. Hal ini akan memperburuk pasien dengan kedua penyakit ini yang memang menjadi komorbid untuk pasien Covid-19.

 

Efek samping dexamethasone juga menyebabkan pasien menjadi mudah cemas dan insomnia, hal yang harus dihindari saat seseorang menderita Covid-19. “Belum lagi dexamethasone membuat kita menjadi mual dan perih di lambung sehingga membuat nafsu makan berkurang,” jelas Prof. Ari.

 

 

Baca juga: Penjelasan Mengapa Saturasi Oksigen Pasien COVID-19 Turun