Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan mengenai beredarnya tablet PCC yang membuat puluhan remaja di Kendari, Sulawesi Tenggara, mengalami gangguan mental, seperti berhalusinasi. Bahkan, ada 2 orang remaja terpaksa kehilangan nyawa akibat mengonsumsi obat tersebut.


Tablet PCC adalah tablet ilegal yang mengandung 3 komponen obat, yakni parasetamol, kafein, dan carisoprodol. Tablet PCC dianggap ilegal karena salah satu komponennya, yaitu carisoprodol, sudah dilarang beredar di Indonesia sejak tahun 2013 oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. Alasannya, karena carisoprodol sangat tinggi risikonya untuk disalahgunakan.

Baca juga: 7 Fakta Carisoprodol yang Terdapat dalam Tablet PCC

 
Tahukah Kamu bahwa selain carisoprodol yang saat ini sedang marak menjadi perbincangan, di tahun yang sama BPOM juga mengeluarkan perintah pembatalan izin edar untuk obat lain? Obat tersebut adalah obat-obat yang mengandung dekstrometorfan (dextromethorphan) sediaan tunggal!

 

Obat apakah dekstrometorfan ini? Apa pula yang disebut dengan dekstrometorfan sediaan tunggal? Mengapa dekstrometorfan sediaan tunggal ditarik izin edarnya di pasaran? Yuk, cari tahu di bawah ini!

 

Dekstrometorfan adalah obat batuk

DIlihat dari efek kerja obatnya, dekstrometorfan adalah obat golongan antitusif. Antitusif adalah obat-obatan yang bekerja meredakan batuk. Obat ini bekerja dengan cara menekan pusat batuk yang ada di bagian medulla oblongata di otak, sehingga batuk bisa mereda.

 

Dekstrometorfan biasa terdapat dalam obat batuk dan pilek, baik dalam bentuk tunggal tanpa ada zat aktif lainnya maupun dikombinasikan dengan obat-obatan lain. Obat-obatan yang bisa dikombinasikan dengan obat ini antara lain parasetamol sebagai pereda demam, guaiafenesin sebagai pengencer dahak, serta berbagai antihistamin untuk mengatasi alergi yang memicu flu dan batuk.

Baca juga: PCC dan Dumolid, Mengapa Disalahgunakan?

 

Rentan disalahgunakan

Dosis lazim untuk penggunaan dekstrometorfan sebagai obat batuk adalah 20-30 mg setiap kali minum. Obat ini juga dapat dikonsumsi setiap 6-8 jam. Jika digunakan pada dosis yang dianjurkan, efek samping yang terjadi cukup kecil, yaitu kurang dari 1 persen saja. Efek samping tersebut antara lain mengantuk dan pusing.

 

Namun jika digunakan dengan dosis 5-10 kali lebih banyak dari dosis normal, dapat muncul efek sedatif-disosiatif, dengan manifestasi berupa halusinasi, perasaan linglung, dreamy state, hingga psikosis atau keinginan untuk melukai diri.

 

Efek inilah yang membuat banyaknya pelanggaran terhadap penggunaan dekstrometorfan. Sudah banyak laporan di seluruh dunia yang mendokumentasikan hal ini, salah satunya tertuang dalam Dextromethorphan Pre-Review Report, yang dikeluarkan oleh World Health Organisation (WHO) di tahun 2012.

 

Dalam laporan tersebut, WHO mencatat sudah terjadi tindakan abusive terhadap dekstrometorfan di Amerika Serikat, Swedia, Australia, Jerman, dan Korea. Penyalahgunaan dekstrometorfan kebanyakan dilakukan oleh anak usia remaja hingga dewasa muda, dengan rata-rata umur pelaku adalah 17 tahun.

 

Tindakan penyalahgunaan biasanya dilakukan dengan cara meminum obat batuk yang mengandung dekstrometorfan dalam jumlah yang besar. Dari kesaksian para abuser dekstrometorfan, ada 4 level atau plateau dari penggunaan dekstrometorfan di luar dosis yang lazim.

 

Pada dosis 100-200 mg, akan timbul stimulasi yang sifatnya masih mild atau ringan. Pada dosis 200-400 mg (sekitar 10-20 kali dari dosis normal), akan timbul efek euforia dan halusinasi. Sedangkan pada dosis 300-600 mg, akan terjadi distorsi atau gangguan persepsi visual dan hilangnya fungsi kontrol motorik. Sementara itu pada plateau keempat, yaitu pada dosis 500-1.500 mg, terjadi efek sedatif-disosoatif. Pengguna akan merasa fly dan seperti lepas dari dunia.

 

Yang ditarik adalah dekstrometorfan sediaan tunggal

Sebagai antitusif, dekstrometorfan sudah secara luas digunakan dalam berbagai merek obat batuk. Obat jenis ini pertama kali muncul di pasaran pada tahun 1960-an. Obat-obatan yang mengandung dekstrometorfan sendiri sebagian besar adalah obat bebas atau bebas terbatas, yang dapat diperoleh tanpa menggunakan resep dokter.

 

Namun melihat besarnya angka penyalahgunaan terhadap dekstrometorfan seperti yang sudah diungkapkan di atas, maka pemerintah melalui BPOM melakukan pembatalan izin edar terhadap semua obat dekstrometorfan sediaan tunggal pada tahun 2013.

 

Pembatalan izin edar ini membuat sekitar 170 merek obat dekstrometorfan sediaan tunggal yang saat itu beredar di Indonesia harus menarik semua produknya dari pasaran dan menghentikan kegiatan produksinya alias sudah tidak dapat lagi dipasarkan di Indonesia.

 

Yang disebut dengan dekstrometorfan sediaan tunggal adalah semua obat, baik dalam bentuk sirup maupun tablet, yang hanya mengandung satu zat aktif saja, yakni dekstrometorfan. Sedangkan obat yang mengandung dekstrometorfan dalam kombinasi dengan zat aktif lainnya tetap diizinkan beredar di Indonesia. Hal ini karena sediaan tunggal lebih mudah untuk disalahgunakan.

 

Itulah sekilas mengenai dekstrometorfan, yang seperti halnya carisoprodol juga sudah dibatalkan izin edarnya dalam bentuk sediaan tunggal .Dekstrometorfan sejatinya digunakan sebagai obat batuk, namun tindakan penyalahgunaan dengan cara meminum dekstrometorfan pada dosis hingga 10 kali lipat dari dosis lazim dapat menimbulkan efek sedatif-disosiatif, seperti halusinasi.

Baca juga: Narkoba, Dapat Membuat Sakau Hingga Merusak Otak!