Tidak semua bayi dilahirkan sehat dan cukup bulan. Ada bayi yang harus terlahir prematur atau mengalami komplikasi kesehatan sehingga harus dirawat di unit perawatan intensif neonatal (NICU). Sebagai orangtua, Mums dan Dads tentu mengalami gejolak emosi yang tidak ringan, melihat peralatan begitu banyak terpasang di tubuh mungil si Kecil di ruang NICU.

 

Stres, lelah, cemas, sudah pasti campur aduk ya, Mums. Setiap saat Mums harus memastikan kondisi si Kecil di NICU baik-baik saja. Namun seorang pakar psikologis mengungkapkan, respons yang diberikan oleh setiap orangtua berbeda-beda. Bagaimana sih cara memberikan dukungan pada keluarga atau teman yang harus menghadapi cobaan berat ini. Guesehat menemui seorang ibu yang pernah mendampingi perawatan anaknya di NICU.

Baca juga: Perlengkapan Ibu dan Bayi yang Perlu Dibawa ke Rumah Sakit

 

Jauhana Tjoa: Saat Buah Hati Harus Bermalam di NICU

Jauhana Tjoa adalah salah satu pembaca GueSehat yang pernah mengalami langsung bagaimana rasanya mendampingi bayinya di NICU. “Ketuban pecah di usia kehamilan 35 minggu, menjadi momen yang mengawali kelahiran anak saya,” Jauhana membagi cerita. “Dokter telah melakukan induksi, namun tetap tidak ada pembukaan yang terjadi. Alhasil, hanya ada operasi Caesar yang bisa ditawarkan sebagai opsi,” lanjut Jauhana.

 

Bayi Jauhana lahir dalam kondisi prematur dengan berat badan 2,1kg. Tak ayal, si Kecil pun harus dimasukkan ke ruang NICU. Kesulitan untuk bertemu dan menyusui buah hati yang tengah menjalani fototerapi, langsung menjadi tantangan pertama. Frustasi yang dirasakan, ikut memengaruhi produksi ASI yang tidak bisa keluar sama sekali. Ternyata perawatan si Kecil di NICU membutuhkan waktu lebih lama. 

 

Maka Jauhana pun mesti bolak-balik ke rumah sakit untuk menjenguk bayi hingga larut malam. Di sela-sela menemani bayinya, ia harus memerah ASI setiap dua jam sekali, untuk diberikan pada bayinya. Di hari kedelapan, bayi Jauhana diijinkan pulang. “Senang banget, tapi sekaligus stres, karena produksi ASI saat itu belum lancar. Si Kecil pun harus dicek suhu badannya setiap jam. Kondisi kesehatan bayi harus dijaga. Saya pun dituntut untuk menambah berat badan bayi,” paparnya.

 

Cobaan belum berhenti. Pada jadwal pemeriksaan rutin berikutnya, kadar bilirubin bayi Jauhana melonjak lagi. Akhirnya, bayinya dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki peralatan lebih lengkap. Si Kecil pun harus menginap lagi di rumah sakit. 

 

Beruntung, berkat dukungan keluarga, saat ini bayi Jauhana sudah semakin sehat dan stabil di usia 1 bulan. Jauhana tetap berusaha memberikan yang terbaik, termasuk memberikan ASI. 

 

"Sampai hari ini pun saya masih berjuang, karena semua belum berakhir. Masih ada jadwal pemeriksaan lanjutan. Namun sekarang, saya sudah jauh lebih siap. Karena bagaimanapun, jika ibu tenang, bayi juga akan tenang. ASI akan lancar dengan sendirinya,” pungkas Jauhana.

Baca juga: Perawatan Bayi di NICU

 

6 Kondisi Psikologis Orangtua yang Bayinya Dirawat di NICU

Menurut beberapa literatur, inilah kondisi psikologis yang umum dijumpai pada orangtua yang anaknya dirawat di NICU.

 

1. Rasa cemas 

Tidak hanya mencemaskan si Kecil, melihat anaknya mesti dirawat di NICU. Bahkan gerak-gerik, mimik muka dokter atau tim medis di NICU pun membuat orangtua cemas dan bertanya-tanya apakah ada kondisi darurat mendadak. Belum lagi, jika letak ruang NICU berdekatan dengan kamar bayi. Tak jarang, suara tangis bayi yang terdengar bergantian, membuat kekhawatiran dalam diri Mums dan Dads semakin tidak karuan.

 

2. Mengabaikan Pola makan dan waktu tidur

Mums dengan bayi yang dirawat di NICU wajar jika kurang memerhatikan jadwal makan dan tidur. Jika memungkinkan, 24 jam dihabiskan Mums dan Dads di samping si Kecil. Mums khawatir saat meninggalkan ruangan, ada informasi penting yang terlewatkan terkait perkembangan kondisi kesehatan si Kecil.

 

Tetapi dalam kondisi seperti ini, orangtua harus menjaga kondisi kesehatan. Usahakan makan tepat waktu agar kebutuhan nutrisi Mums tetap terjaga. Ingat, si Kecil butuh ASI dari Mums. Untuk jadwal tidur, sebaiknya bergantian dengan Dads. Pasanglah alarm atau mintalah suster untuk langsung menginfokan bila ada perkembangan tentang situasi di dalam NICU. 

 

3. Dorongan untuk menangis 

Menangis kadang menjadi solusi saat sedih tak tertahankan. Di saat seperti ini, ikatan antara suami istri sangat dibutuhkan untuk saling menguatkan dan membesarkan hati. Untuk membantu mengurangi beban kesedihan, Mums bisa sharing dan berbagi pengalaman dengan orangtua yang memiliki pengalaman serupa, misalnya dengan Mums lain yang anaknya juga tengah dirawat di NICU, atau teman yang sudah berhasil melalui cobaan yang sama. Dengan begitu, Mums tidak merasa sendiri. 

 

4. Rasa bersalah 

Perawatan bayi di NICU tak hanya berat secara medis dan fisik, tetapi juga finansial. Kompleksitas masalah terkadang membuat terselip perasaan bersalah pada diri orangtua. Wajar pastinya bila suasana hati Mums menjadi labil. Sedapat mungkin lawan semua pikiran negatif, dan fokus pada apa yang dibutuhkan si Kecil agar cepat pulih. Bila Mums merasa ingin melakukan sesuatu untuk si Kecil, maka bersikap positif, adalah satu-satunya pilihan terbaik. 

 

5. Tidak ada kepastian 

Salah satu pertanyaan paling umum yang kerap dilontarkan oleh teman dan keluarga pada orangtua jika si Kecil dirawat di ruang NICU, adalah kapan mereka bisa membawa pulang bayi mereka. Sayang sekali, jawabannya terkadang tidak pasti. Hal ini tergantung dari tingkat komplikasi yang dialami oleh si Kecil serta respons yang ditunjukkan oleh tubuh si Kecil terhadap proses pengobatan.

 

6. Pentingnya dukungan

Bagi orangtua yang harus mendampingi bayinya di NICU, yang mereka butuhkan sebenarnya adalah dukungan, baik fisik, emosional maupun finansial. Jika ada teman atau saudara anaknya dirawat di NICU, Kamu bisa membawakan makanan atau hal-hal favoritnya.

 

Jadilah pendengar yang baik bila sahabatmu ingin mencurahkan perasaan tentang anaknya. Namun, jangan memaksa ia bercerita bila ia belum sanggup bercerita. Kehadiran kerabat dan teman baik, adalah obat ampuh untuk mengalihkan risau hati setiap orang tua.

 

Karena siapapun yang tengah berhadapan dengan tekanan dan trauma, tidak memiliki energi lagi untuk meminta perhatian orang-orang terdekat. Tidak perduli sebagaimanapun ia membutuhkannya. (TA/AY)

Baca juga: Kisah Inspiratif Penderita Kebutaan Akibat Kelahiran Prematur