Pandemi Covid-19 rupanya meningkatkan angka kelahiran bayi di Indonesia. Data BKKBN menunjukkan, tahun 2020 ada tambahan 400-500 ribu kelahiran di Indonesia. Sedangkan rata-rata dalam satu tahun ada 4-5 juta kelahiran. Artinya, ada peningkatan angka kelahiran sekitar 10%. Putus kontrasepi atau drop out kontrasepsi yang tinggi diduga menjadi penyebabnya.

 

Ada banyak alasan yang mendorong pasangan usia subur akhirnya putus kontrasepsi. Selama pandemi, mereka enggan dan takut pergi ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi. Namun, ada beberapa alasan lain penyebab drop out kontrasepsi yang jika dibiarkan akan mengancam pengendalian penduduk di Indonesia. Bagaimana upaya mencegah drop out kontrasepsi ini? Simak selengkapnya ya!

 

Baca juga: Mungkinkah Hamil Meski Telah Menggunakan Alat Kontrasepsi?

 

Penyebab Putus Kontrasepsi dan Dampaknya

Kontrasepsi adalah metode yang efektif mencegah kehamilan atau menjarangkan kelahiran. Ada beberapa metode kontrasepsi yang sudah dikenal secara luas, di antaranya dengan kondom, suntik, pil, IUD atau implan. Semua metode kontrasepsi ini harus diperbaharui atau diulang secara berkala. 

 

Misalnya KB suntik, harus diulang atau diberikan setiap tiga atau sebulan sekali. Pil KB pun biasanya diberikan untuk satu bulan sekali. Bahkan metode kontrasepsi jangka panjang seperti IUD dan implan, harus diperbaharui dalam rentang 4-10 tahun sekali.

 

Sayangnya, selama pandemi ini ada banyak hambatan yang menyebabkan angka putus kontrasepsi meningkat. Menurut BKKBN, sebagian masyarakat keberatan untuk datang ke faskes sehingga terpaksa putus kontrasepsi.

 

Dalam satu kesempatan, Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menuturkan tahun 2020 angka drop out kontrasepsi mencapai 10% atau dinilai belum ada perbaikan dibanding tahun lalu.

 

Baca juga: Sudah Ada Suntik KB 2 Bulanan, Apa Keunggulannya?


Hambatan lainnya adalah kurangnya tenaga kader yang memberikan pelayanan Keluarga Berencana, terutama di daerah rural atau pedesaan. Contoh yang paling nyata misalnya di daerah pedalaman provinsi Jawa Tengah.


Dituturkan drg. Widwiono, M.Kes dari BKKBN Provinsi Jawa Tengah, area propinsi Jawa Tengah memiliki area pegunungan yang cukup luas. Di sana, masih banyak unmeet need terkait layanan kontrasepsi, yaitu pasangan usia subur yang ingin ber-KB namun tidak terlayani.

 

“Sekitar 50% calon peserta KB yang tidak terlayani ini ada di daerah pegunungan,” jelas Widwiono di sela-sela peresmian “Kampoeng Andalan” di Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, 20 November 2021. 

 

Widwiono menambahkan, sebenarnya, angka Total Fertility Rate (TFR) di Jawa Tengah sudah cukup baik, yaitu 2,2 atau lebih rendah dari TFR nasional yang masih berkisar 2,4. Jawa Tengah bersama provinsi Jawa Timur, Yogyakarta, dan Bali termasuk propinsi yang angka TFR-nya sudah di bawah angka nasional.

 

“Target kami adalah menurunkan TFR menjadi 2,1 di tahun 2024 dan selanjutnya dipertahankan di angka 2,1 karena kita juga harus mempertahankan bonus demografi. Kendalanya, di propinsi Jawa Tengah ini masih ada beberapa kota yang angka TFRnya masih di atas rata-rata nasional,” jelas Widwiono.



Penyebab angka kelahiran masih tinggi, terutama di area pegunungan seperti Wonosobo yang berada di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing, adalah tingginya perkawinan usia muda dan banyak pasangan usia subur yang tidak terlayani karena akses ke pelayanan kesehatan terbatas (unmeet need). Area rural pegunungan memang cukup sulit dijangkau. Unmeet need ini menjadikan angka drop out kontrasepsi menjadi tinggi.

 

“Padahal, metode KB suntik maupun pil itu angka kegagalannya sangat rendah selama tidak putus digunakan. Namun, jika putus sehari saja untuk suntik, sudah bisa disebut drop out,” jelas Widwiono.


Menurut Widwiono, kerjasama antara pihak swasta dan pemerintah akan bisa mengatasi kendala ini. Pemerintah menyediakan tenaga kesehatan dan kader, sedangkan pihak swasta menyediakan alat kontrasepsi. Kedua belah pihak sekaligus bisa memberikan edukasi tentang kontrasepsi secara bersama-sama. 

 

 “Edukasi ini penting karena masih banyak sekali mitos yang dipercaya masyarakat sehingga mereka ragu untuk menggunakan alat kontrasepsi. Misalnya, kalau pakai IUD tidak boleh mengangkat berat,” ujar Widwiono.

 

Baca juga: Kontrasepsi yang Aman untuk Ibu Menyusui

Kampoeng Andalan, Jadi Andalan Pasutri di Pedesaan

Salah satu bentuk kerja sama pemerintah dan swasta dalam meningkatkan pelayanan dan edukasi tentang KB adalah Kampoeng Andalan yang difasilitasi oleh DKT Indonesia.

 

Menurut Cut Vellayati, Marketing Manager DKT Indonesia, adanya Kampoeng Andalan bisa menjadi sarana bagi masyarakat di area rural (pedesaan) mendapatkan pelayanan dan edukasi KB secara gratis. “Kami memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berKB dengan pelayanan KB gratis yakni KB suntik dan juga edukasi kepada pasangan usia subur yang sudah menjadi akseptor maupun yang belum,” jelas.

 

Kampoeng Andalan di Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo ini bukan yang pertama. Sebelumnya, DKT Indonesia sudah membuka di Desa Batujajar Barat, Bandung pada bulan Mei 2021.

 

Desa Butuh dipilih mengingat desa ini memiliki jumlah penduduk yang cukup besar di Jawa Tengah yaitu sebanyak 3700 pria dan 3400 wanita, dengan jumlah pasutri sekitar 2000 pasangan, dengan rentang penduduk di usia produktif 15 hingga 39 tahun, dan merupakan di wilayah sub urban yang harus disentuh dengan sosialisasi program KB.

 

Selain meremajakan fasilitas kesehatan di desa tersebut, Andalan juga melakukan edukasi tentang protokol pencegahan Covid-19 dan juga KB melalui mobil keliling, memberikan KB suntik gratis kepada 400 perempuan usia subur di desa tersebut pada klinik Bidan Andalan yang ditunjuk, dan juga sosialisasi tentang perencanaan keluarga dan menjaga kebersihan kesehatan kewanitaan.

 

Widwiono berharap, “Kalau bisa Kampoeng Andalan seperti ini tidak hanya di desa Butuh tetapi desa lain. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan swasta ini sangat membantu karena jumlah penduduk usia subur sangat besar dan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.”


“Rencananya, kegiatan Kampoeng Andalan ini akan dilakukan di empat desa di Pulau Jawa hingga akhir tahun 2021. Selain Bandung dan Wonosobo, Jogja dan Malang juga akan menjadi target sasaran kegiatan ini, karena memiliki karakteristik penduduk usia subur yang tinggi,” pungkas Vellayati.

 

Baca juga: Pandemi COVID-19, Jumlah Kehamilan Tidak Direncanakan Meningkat!