Di balik masa karantina mandiri sebagai langkah pencegahan dan pengendalian penularan COVID-19, memang banyak sisi kehidupan lain yang terpaksa dikorbankan. Tak hanya ekonomi ikut melambat, pelayanan kesehatan pun ikut terdampak, termasuk pelayanan kontrasepsi. Bahkan, hal inilah yang diprediksi akan menimbulkan lonjakan angka kelahiran di tahun 2021 mendatang. 

 

Angka Lonjakan Kehamilan di Beberapa Daerah

Lonjakan angka kehamilan dilaporkan dari berbagai daerah. Dalam catatan Dinas Kesehatan Serang, pada Maret 2020 jumlah ibu hamil di ibu kota Provinsi Banten ada 1.730 orang. Kemudian, pada April jumlah kehamilan itu meningkat menjadi 2.066 orang.

 

Angka ibu hamil yang mendatangi Puskesmas untuk memeriksakan kehamilannya ikut pula bertambah, dari 935 orang di bulan Maret, menjadi 1.228 orang di bulan April 2020.

 

Peningkatan jumlah kehamilan juga tercatat di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berdasarkan laporan dari Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB). Terjadi peningkatan kehamilan sebanyak 12%, atau tercatat 444 orang hamil dalam kurun bulan Januari hingga Mei. Padahal biasanya, dalam satu bulan tercatat kehamilan tidak sampai 100 orang.

 

Belum lagi yang terjadi di Cirebon. Seperti yang dikutip dari CNN Indonesia, Rumah sakit Ibu dan Anak (RSIA) Cahaya Bunda Cirebon, Jawa Barat, mencatat kenaikan angka kehamilan baru hingga 10 persen di tengah masa pandemi COVID-19. Menurut penuturan dr. Yasmin Darmawan, SpOG, angka kunjungan pasien yang baru hamil meningkat 7,5-10% dalam 2-3 bulan terakhir.

 

Angka lonjakan kehamilan yang sudah disebutkan tadi, memang tidak sepenuhnya bisa mewakili kondisi di semua daerah. Seperti yang terlihat di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, angka ibu hamil malah menunjukkan penurunan sekitar 8,4% dibanding tahun lalu.

 

Baca juga:

 

Walau begitu, lonjakan kehamilan yang sudah terjadi di beberapa daerah lain, memang sesuai prediksi banyak ahli. Dengan pembatasan aktivitas untuk mengurangi laju penyebaran COVID-19 yang efektif diterapkan pemerintah sejak pertengah Maret 2020, maka otomatis semakin banyak waktu bagi pasangan suami istri untuk memiliki waktu berkualitas di rumah.

 

Di satu sisi, hal tersebut baik untuk meningkatkan kualitas pernikahan yang sering kali terdistraksi dengan rentetan aktivitas di luar rumah. Sayangnya, hal tersebut bisa saja menimbulkan masalah lain, terutama bagi pasangan orang tua yang belum berencana untuk menambah momongan, yaitu kehamilan tidak terencana.

 

Baca juga:

 

Efek Negatif Kehamilan Tidak Terencana

Dalam siaran pers webinar yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), IBI, dan UNFPA, bersama DKT Indonesia dengan tema “Urgensi Pelayanan KB Pada Masa New Normal”, dikatakan bahwa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah mengurangi akses ke layanan kesehatan reproduksi, serta membatasi sosialisasi dan penyuluhan KB. Akibatnya, Indonesia diperkirakan mengalami lonjakan angka kelahiran pada 2021. 

 

BKKBN mencatat setidaknya 10 persen pasangan usia produktif tak memakai alat kontrasepsi pada periode Maret hingga April 2020. Data BKKBN jua terbaru menyebutkan, dibanding tahun 2019 lalu, terjadi penurunan sebanyak 1.179.467 pelayanan KB selama Januari-April 2020. 

 

Penurunan sebanyak itu bisa terjadi karena pelaksanaan Program KB yang selama ini mengandalkan kegiatan tatap muka dalam sosialisasi, penyuluhan, dan pemberian layanan kontrasepsi. Tak heran, selama masa pandemi muncul kekhawatiran masyarakat untuk mengakses pelayanan KB di klinik bidan/dokter. Ditambah pula, banyak dokter dan bidan yang menutup kliniknya karena tak memiliki perlengkapan memadai untuk mencegah penularan COVID-19. 

 

Selain itu, kesadaran masyarakat untuk ber-KB secara mandiri selama masa pandemi  masih rendah. BKKBN mengungkap terjadinya penurunan drastis penggunaan kontrasepsi pada Maret 2020 dibandingkan Februari 2020. Penggunaan berbagai alat kontrasepsi di seluruh Indonesia pada periode itu mengalami penurunan 35% sampai 47%, yang bisa berimbas pada meningkatnya jumlah kehamilan tidak direncanakan sebesar 15% pada 2021.

 

Kenapa kehamilan tidak direncanakan ini perlu diwaspadai? Dalam kondisi biasa saja, ada beberapa konsekuensi serius di balik kehamilan tidak direncanakan, seperti:

  • Peningkatan risiko masalah untuk ibu dan bayi, yang berujung pada berat badan lahir rendah (BBLR), persalinan prematur, serta kematian maternal (ibu) dan neonatal (bayi).
  • Meningkatkan prevalensi depresi pada ibu.
  • Komplikasi kehamilan akibat terlalu dekat jarak kehamilan sebelumnya.
  • Peningkatan angka stunting akibat malnutrisi saat hamil dan hingga anak berusia 2 tahun.

 

Dan, khusus di era COVID-19 seperti sekarang ini, kehamilan yang tidak direncanakan bisa menyebabkan beberapa masalah, seperti:

  • Menambah beban ekonomi bagi keluarga di tengah lesunya perekonomian.
  • Walau hingga kini belum bisa dipastikan jelas apakah COVID-19 bisa ditularkan secara vertikal pada janin, namun perubahan kekebalan tubuh selama hamil membuat ibu hamil lebih rentan terhadap paparan COVID-19.
  • Keterbatasan mengakses fasilitas kesehatan selama kehamilan, karena anjuran untuk mengurangi kunjungan ke rumah sakit dan fasilitas publik lainnya.
  • Jika seandainya jumlah kelahiran dan kehamilan bertambah secara signifikan di tahun yang sama, beban BPJS Kesehatan akan besar, yang mana ini akan meningkatkan beban ekonomi negara. Menurut penuturan Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, saat ini tercatat banyak ibu hamil dan melahirkan yang ditanggung BPJS,



Baca juga:

 

Sumber:

CNN Indonesia. Lonjakan Ibu Hamil di Serang.

Lombok Post. Angka Kehamilan di Lombok Melonjak.

Republika. Angka Kehamilan di Bekasi.

BMC. Impact of Unintended Pregnancy on Maternal Mental Health.

Siaran Pers Webinar yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), IBI, dan UNFPA, bersama DKT Indonesia. Urgensi Pelayanan KB Pada Masa New Normal.