Di awal tahun 2019, angka kejadian kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia melonjak tajam. Musim penghujan menjadi salah satu faktor pendukung yang membuat nyamuk Aedes aegypti, vektor penularan penyakit DBD, berkembang biak dengan cepat.

 

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan imbauan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk siaga DBD. Tindakan pencegahan 3M (menguras, menutup, dan menggunakan atau mengubur barang bekas yang bisa digunakan nyamuk untuk bersarang) harus kembali digalakkan di lingkungan sekitar.

 

Baca juga: Jakarta Memasuki Status Waspada Demam Berdarah

 

 

Selain itu, jika ada orang terdekat mengalami gejala yang mengarah pada infeksi virus DBD, Geng Sehat perlu meningkatkan kewaspadaan dan membantu orang tersebut supaya mendapatkan penanganan yang tepat sekaligus meminimalisasi penularan penyakit.

 

Ingat, gejala DBD tidak khas sehingga sering tidak disadari!

Gejala utama pada infeksi virus DBD adalah demam. Demam merupakan gejala yang sangat tidak spesifik dan dapat dijumpai pada berbagai gangguan kesehatan. Inilah mengapa penyakit ini kerap tidak disadari sejak awal. Namun, demam yang muncul pada infeksi virus DBD umumnya relatif tinggi, bahkan bisa mencapai angka 40°C.

 

Kemungkinan demam akan disertai dengan beberapa gejala lain, seperti nyeri pada kepala, bagian belakang mata, persedian, otot, dan tulang, serta timbul bercak kemerahan pada kulit. Demam umumnya akan turun setelah 3-7 hari sejak gejala pertama muncul. Kendati demikian, justru pada saat itulah penderita memasuki masa kritis.

 

Pada masa kritis, terjadi gangguan pada sel darah serta sistem peredaran darah. Alhasil, penderita berisiko tinggi mengalami syok akibat kekurangan cairan tubuh, bahkan perdarahan spontan yang bisa saja berakibat fatal. Hiii.. serem banget kan, Gengs!

 

Baca juga: Manfaat Daun Jambu Biji untuk Meningkatkan Trombosit

 

 

Oleh karena itu, terkait dengan imbauan siaga DBD, semua demam dengan karateristik seperti di atas sebaiknya digolongkan sebagai suspek DBD. Suspek DBD berarti orang yang belum tentu positif menderita DBD tetapi harus diwaspadai kemungkinan mengalami penyakit tersebut.

 

Hal ini juga berarti orang yang tergolong suspek DBD diharapkan memiliki kesadaran untuk memeriksakan diri. Ini sebagai upaya mendapatkan kepastian diagnosis apakah penyakit yang dialaminya disebabkan oleh demam berdarah atau bukan. Diagnosis demam berdarah dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan parameter terkait. Jangan sampai karena demam mulai turun, kemudian merasa sudah sembuh dan tidak melakukan follow up lebih lanjut. Ingat risiko komplikasi yang menyeramkan tadi ya, Gengs!

 

Tangani demam dengan obat yang tepat!

Pada kasus infeksi virus DBD, periode demam tinggi dan beberapa gejala seperti yang disebutkan di atas termasuk periode atau fase awal penyakit. Yang harus kita lakukan adalah menangani demam yang terjadi, sehingga bisa mencegah komplikasi yang tidak diinginkan, contohnya kejang. Penanganan demam bisa dibantu dengan kompres air hangat. Namun untuk kasus demam yang tinggi, kompres saja tidak cukup. Itulah mengapa Geng Sehat harus selalu sedia obat penurun panas di rumah.

 

Jika pergi ke apotek untuk membeli obat penurun panas, maka Geng Sehat akan menjumpai banyak sekali merek obat. Hal terpenting yang harus Geng Sehat lakukan adalah memeriksa zat aktif yang terkandung di dalamnya. Umumnya, obat penurun panas yang tersedia di apotek memiliki kandungan zat aktif parasetamol (nama lainnya acetaminophen), ibuprofen, atau acetosal (nama lainnya acetylsalicylic acid atau aspirin).

 

Nama zat aktif ini biasanya akan tertera di bagian bawah merek obat tersebut atau Geng Sehat bisa memeriksanya di bagian komposisi obat. Contohnya, tiap 5 ml sirup merek “A” mengandung 160 mg parasetamol. Itulah zat aktif dari obat tersebut.

 

Baca juga: Demam Berdarah, Haruskah Dirawat?

 

Mengapa hal tersebut penting dilakukan? Pada orang yang menderita DBD, terjadi peningkatan risiko perdarahan akibat gangguan pada darah dan sistem peredaran darah. Obat penurun panas dengan kandungan zat aktif ibuprofen dan acetosal sebaiknya tidak diberikan kepada pasien yang demamnya mungkin disebabkan oleh infeksi DBD atau mereka yang tergolong sebagai suspek DBD.

 

Pasalnya, mekanisme kerja kedua obat ini berpotensi turut meningkatkan risiko perdarahan pada pasien. Oleh karena itu, jika demam dicurigai akibat DBD, obat penurun panas pilihan yang dapat diberikan hanya parasetamol.

 

Dosis parasetamol pada anak adalah 10-15 mg/kg berat badan sekali minum. Contoh, untuk anak dengan berat badan 20 kg, maka dosis paracetamol untuk sekali minumnya adalah 200-300 mg. Jika obat diberikan dalam bentuk sirup yang memiliki kandungan paracetamol sebesar 160 mg per 5 ml, maka pasien membutuhkan kurang lebih 1,5 sendok takar (7,5 ml obat yang mengandung 240 mg parasetamol). Selama demam masih ada, obat dengan kandungan parasetamol boleh diberikan setiap 6-8 jam sekali atau menurut petunjuk dokter.

 

Jadi Gengs, yuk kita tingkatkan kewaspadaan terhadap maraknya kasus DBD di sekitar kita! Semoga dengan tindakan pencegahan 3M, lingkungan kita terhindar dari nyamuk nakal pembawa penyakit. Selain itu, jika mengalami atau menjumpai kasus demam, tangani dengan obat dan dosis yang tepat, ya!

 

Baca juga: Cara Meningkatkan Trombosit pada Demam Berdarah

 

Ibu Hamil Waspada Nyamuk - GueSehat.com

 

 

Referensi:

Centers for Disease Control and Prevention: Symptoms and What To Do If You Think You Have Dengue

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Kemenkes Imbau Seluruh Daerah Siaga DBD

International Journal of Infectious Diseases: Effect of non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDS) on bleeding and liver in dengue infection

Medscape: Pediatric Acetaminophen Dosing 

WHO: Dengue/Severe dengue frequently asked questions