Anak-anak yang terlahir di tahun 2010 hingga 2024 merupakan bagian dari generasi alfa atau Gen Alpha. Terminologi ini diciptakan oleh Mark McCrindle, seorang social researcher, bersama timnya. Menurutnya, anak-anak generasi ini merupakan generasi milenial yang sesungguhnya karena mereka semua terlahir di abad ke-21.

 

Setiap minggunya, sekitar lebih dari 2,5 juta generasi alfa lahir. Diperkirakan jumlah mereka akan mencapai 2 juta di tahun 2025. Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S. Psi., menyebutkan generasi alfa adalah generasi yang lahir dalam era teknologi digital.

 

“Berbeda dengan generasi sebelumnya yang masih mengalami peralihan teknologi konvensional ke digital, Gen Alpha sudah merasa teknologi, seperti smartphone, augmented reality (AR), virtual reality, dan lain-lain, sebagai bagian dari kehidupan mereka sejak lahir. Jadi, mereka menganggap semua itu hal biasa dan tidak lagi terperangah dengan kecanggihannya,” ujar Vera.

 

Selain itu, meski generasi alfa yang tertua masih berusia 9 tahun, Mark mendefinisikan bahwa generasi alfa merupakan orang-orang yang paling banyak mengenyam pendidikan formal. Ini juga disetujui oleh Psikolog Ajeng Raviando. Ia menuturkan, “Kalau dari segi pendidikan, kesempatan akan semakin besar, sehingga edukasi pun akan semakin baik.”

 

Karakteristik Orang Tua saat Mengasuh Anak Generasi Alfa

Karakter orang tua sangat berperan dalam menentukan seperti apa karakter anak kelak. Jadi jika bicara seperti apa karakter anak-anak generasi alfa, maka kita perlu mengetahui karakter orang tua mereka yang kebanyakan berasal dari generasi Y atau generasi milenial.

 

Di tengah kemajuan teknologi seperti sekarang ini, orang tua memang lebih mudah dalam mencari informasi seputar pola asuh maupun tumbuh kembang anak. Berdasarkan survei yang dihimpun oleh GueSehat kepada 411 ibu dengan anak usia 0-9 tahun di seluruh Indonesia, 65,7% ibu mengaku paling banyak mendapatkan informasi seputar pola asuh dan tumbuh kembang anak melalui media dan internet, 22,1% dari keluarga, serta 5,1% dari dokter anak. Kebanyakan dari mereka pun tidak langsung menelan mentah-mentah informasi yang didapatkan dari internet dan akan mencari referensi lain terlebih dahulu.

 

Sayangnya, saking banyaknya informasi yang didapatkan, secara psikologis mereka menjadi lebih cemas terhadap kondisi anak ataupun cara mendidik anak. “Karena kebanjiran informasi, kadang-kadang mereka bingung memilahnya. Mereka tidak tahu pasti sebetulnya informasi mana yang benar dan yang mana yang sesuai dengan kondisi anak mereka. Mereka bingung, yang mana sih yang harus diikuti. Apalagi banyak hoaks juga,” ucap Ajeng.

 

Baca juga: Jonathan Kuo, Pianis Klasik Muda Asal Indonesia yang Sukses karena Cinta Ibunya

 

Masalah ini tampaknya memang menjadi dilema bagi para orang tua anak generasi alfa. Dalam survei, menyaring banyaknya informasi seputar tumbuh kembang dan pola asuh anak menduduki posisi kedua sebagai tantangan terberat bagi 30,1% ibu masa kini.

 

Lebih lanjut, orang tua cenderung memberikan lebih banyak keleluasaan atau kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan diri serta mencoba sesuatu yang baru. Gaya pengasuhan mereka, ujar Vera, cenderung bergaya drone parenting. Mereka lebih banyak mengawasi dari jauh, sehingga anak bebas menjadi diri sendiri. Anak juga lebih banyak diberikan aktivitas tak terstruktur.

 

Menariknya, peran ayah saat ini jauh lebih besar dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. “Kalau kita bicara generasi baby boomers atau generasi X, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak belum terlalu banyak. Berbeda dengan generasi-generasi di bawahnya, yakni generasi Y dan Z. Peran ayah sudah lebih besar dibandingkan sebelumnya,” jelas Ajeng.

 

Menurut Vera, ayah lebih banyak terlibat dan mau tahu tentang perkembangan anak-anak mereka. Misalnya, ayah lebih banyak datang ke seminar tentang perkembangan anak atau lebih sering datang ke sekolah untuk memenuhi kebutuhan anak.

 

Ditambahkan oleh Ajeng, cara bekerja di zaman dulu dengan zaman sekarang berbeda. Kalau dulu ayah harus ke kantor dari pagi hingga malam, sekarang mereka lebih fleksibel dalam bekerja. Inilah yang membuat keterlibatan orang tua dengan anak menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya, sehingga terjadi perubahan interaksi maupun emotional bonding dengan anak.

 

Pernyataan ini juga diperkuat dari hasil survei yang muncul. Sebanyak 53% ibu mengungkapkan bahwa suami mereka selalu mencari tahu seputar pola asuh dan tumbuh kembang anak. Sebanyak 44,8% menjawab kadang-kadang dan hanya 4% yang menjawab suami mereka tidak terlibat aktif.

 

Kemudian terkait peran ayah dalam mengasuh anak, 57,5% ibu mengaku suami mereka sangat aktif berperan dan 32,4% ibu mengaku suami mereka lebih sering menemani anak bermain. Sedangkan, 4,4% ibu mengaku suami mereka memenuhi kebutuhan material anak saja.

 

Anak Generasi Alfa Kurang Memahami Proses

Hal yang sangat berbeda dari zaman generasi alfa dengan generasi-generasi sebelumnya adalah kemajuan teknologi yang sangat pesat. Survei menunjukkan bahwa menurut 44,4% ibu yang berpartisipasi, karakteristik yang paling dominan dalam diri anak-anak mereka adalah kreatif. Mereka juga merasa anak mereka mandiri dan adaptif dengan teknologi.

 

Sayangnya, kecanggihan teknologi dan kemudahan zaman juga berdampak kurang baik terhadap karakter anak-anak generasi alfa. “Ada istilah yang namanya instant gratification. Jadi, anak-anak ingin segera dipuaskan. Kepingin apa, harus dapat sekarang. Alhasil, mereka jadi gampang bosan, ngambek, dan cranky,” ujar Ajeng.

 

Permasalahannya, orang tua dari anak-anak generasi alfa juga mudah mendapatkan hal yang diinginkannya. Ajeng menambahkan, ini membuat mereka jadi sulit menerangkan tentang proses kepada anak-anak mereka.

 

Baca juga: Apa Perbedaan Mengasuh Anak Laki-laki dan Perempuan?

 

“Umpamanya ketika mau makan nasi goreng, kan tidak langsung nasi goreng tersaji. Ada proses memasak nasinya, potong-potong sayur, dan sebagainya. Nah, itu yang agak terlewatkan di zaman sekarang. Anak tinggal telepon pesan antar saja. Pada akhirnya, itu mengubah cara berpikir mereka menjadi ingin semuanya serba cepat, kurang paham mengenai proses, dan tidak terasah karena tidak berproses tadi.”

 

Ini pun ditunjukkan dalam survei GueSehat. Sekitar 30,3% partisipan mengaku kalau karakter yang paling dominan dirasakan dari anak-anak mereka adalah tidak sabaran. Sedangkan 5,2% ibu mengakui anak mereka cenderung individualis.

 

Selain tidak sabaran, kurangnya memahami proses juga membuat anak-anak generasi alfa memiliki empati yang lebih rendah, keterampilan sosial tidak terasah, dan kurang tangguh. “Kalau orang yang memahami proses kan pernah salah, gagal, dan tahu kalau rasanya tidak enak. Dari kegagalan-kegagalan tadi, justru membentuk seseorang menjadi lebih banyak akal, tidak mudah menyerah, dan tidak mudah putus asa,” jelas Ajeng.

 

Segalanya Harus Seimbang

Meski terkesan sederhana, ternyata mengajarkan anak mengenai proses perlu dilakukan sejak dini demi masa depannya. Pasalnya, Vera menuturkan bahwa anak yang tidak terbiasa menjalani proses dan menghadapi kesulitan secara mandiri, selalu dilayani, dan sebagainya, cenderung mudah frustasi saat menghadap rintangan atau kegagalan.

 

Karenanya, anak harus dilibatkan dalam berbagai proses, supaya ia bisa lebih menghargai setiap hal dan merasakan apa arti dari sebuah pencapaian. “Mengenal tentang proseslah yang perlu kita coba tanamkan kepada anak-anak generasi alfa karena memang hal tersebut yang mereka butuhkan saat ini,” terang Ajeng.

 

Selain itu, orang tua juga harus tega membatasi penggunaan perangkat elektronik, salah satunya gawai, pada anak. Karena faktanya, meski berdasarkan survei hampir semua ibu tahu kalau penggunaan gadget yang berlebihan dan terlalu dini dapat mengganggu tumbuh kembang anak, sebanyak 33,1% ibu mengaku tantangan paling sulit saat ini bagi mereka adalah melepaskan anak dari gadgetnya.

 

“Ini sangat disayangkan karena anak belum bisa membatasi dirinya sendiri. Jadi, tetap orang tua yang memegang peranan untuk membatasi dan mengalihkan anak pada aktivitas yang lain,” ujar Vera.

 

Vera menganjurkan batasan penggunaan gadget untuk anak di bawah 18 bulan adalah hanya boleh melakukan video call. Sedangkan usia 18-24 bulan tidak boleh lebih dari 30-45 menit dan harus didampingi orang tua. Untuk usia 2-5 tahun, anak boleh menonton selama 1 jam tetapi tidak boleh bermain game. Sementara untuk usia 6 tahun ke atas (usia sekolah dasar), hanya 1-2 jam sehari. Itu pun hanya boleh menonton tetapi tidak boleh memasukkan aplikasi game apa pun di handphone. Kalau ingin bermain game, hanya boleh di akhir pekan.

 

Berdasarkan survei, hanya 58,6% ibu yang membolehkan anaknya bermain gawai kurang dari 1 jam dalam sehari. Sementara 20,1% ibu membiarkan anak bermain gawai 1-2 jam dan 2,2% ibu membebaskan anak bermain gawai sesuka hati.

 

Terkait pendampingan anak selama bermain gawai, masih ada ibu yang kadang-kadang mendampingi bahkan sama sekali tidak mendampingi anaknya ketika bermain gawai. Dan ketika anak dipisahkan dari gawainya, sebanyak 50,1% ibu menyebutkan bahwa buah hatinya akan uring-uringan tetapi perhatiannya bisa dialihkan dan 46,1% mengaku anak akan biasa-biasa saja. Namun, 3,7% ibu mengatakan anak mereka bisa sampai tantrum dan mengamuk.

 

Baca juga: Salah Asuh Menyebabkan Orang Dewasa Sulit Kendalikan Emosi

 

Menurut Ajeng, peneliti punya alasan mengapa anak, terutama di bawah usia 5 tahun, harus dibatasi menggunakan perangkat elektronik. Kalau dari awal anak sudah dikasih gadget (gawai), kemungkinan besar ada beberapa tahap tumbuh kembangnya yang tidak terasah dengan baik. Misalnya, kemampuan motorik kasar yang seharusnya terbentuk lebih dulu agar anak mandiri dalam melakukan berbagai hal sehari-hari.

 

“Kalau kita bicara anak zaman sekarang, banyak lho yang tidak bisa main sepeda. Belum tentu juga mereka bisa berenang. Padahal, hal-hal dasar itu dibutuhkan oleh anak untuk bisa mempertahankan diri dalam kondisi tertentu. Misalnya lagi kalau kita bicara koordinasi tangan dan mata. Jika itu tidak terlatih, ketika besar anak tidak bisa memperkirakan jarak antara kiri dan kanan seperti apa. Hal-hal seperti itu yang sering kali tidak terpikirkan sama orang tua zaman now,” tambah Ajeng.

 

Pada dasarnya, anak dari generasi mana pun memiliki kebutuhan yang sama. Prof. DR. dr. Rini Sekartini, SpAK, Ketua IDAI Jaya, menjelaskan bahwa kebutuhan anak agar tumbuh kembangnya optimal adalah dengan pemenuhan asuh, termasuk nutrisi, edukasi, imunisasi, aktivitas sosial, dan tidur. Anak juga membutuhkan kasih sayang dan stimulasi.

 

Terkait stimulasi, Prof. Rini menyebutkan, “Prinsip stimulasi harus 2 arah, antara orang tua atau pengasuh dengan anak di seluruh usia kehidupannya, baik sejak bayi hingga remaja. Namun, saat ini, banyak orang tua yang memberikan perangkat elektronik, termasuk gawai, kepada anak sejak usia bayi. Hal ini akan memberikan dampak bagi anak, salah satunya keterlambatan bicara yang sering dijumpai karena salah metode stimulasi.”

 

Gawai yang diberikan kepada anak akan membuat stimulasi terjadi hanya 1 arah. Komunikasi 2 arah pun tidak terjadi, sehingga anak cenderung diam serta tidak memberikan respons dan mengulang suara atau gerakan yang ia lihat dan dengar. Akhirnya, anak-anak pun akan mengalami keterlambatan perkembangan bicara.

 

Profesor Rini menganjurkan bahwa anak sebaiknya tidak diberikan stimulasi menggunakan perangkat elektronik sampai usia 3 tahun. Karena tidak hanya masalah keterlambatan perkembangan bicara yang bisa terjadi pada anak, dampak jangka panjang lainnya adalah anak bisa mengalami gangguan jarak pandang dan berisiko obesitas karena jarang bergerak aktif.

 

Kebanyakan partisipan survei sendiri mengakui kalau mereka mengajak sang Buah Hati bergerak aktif atau berolahraga dalam seminggu sekitar 60 menit, yakni sebanyak 43,4%. Sementara itu, 31,4% mengaku kurang dari 60 menit. Hanya 25,2% yang mengaku mengajak buah hatinya aktif bergerak lebih dari 60 menit dalam seminggu.

 

Memang kemajuan teknologi dan penggunaan gadget tidak bisa kita pisahkan dalam kehidupan masa kini. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan dengan melakukan stimulasi lain yang penting demi tumbuh kembang anak.

 

Sebagai penutup, Ajeng pun mengajak orang tua untuk perlu lebih mengasah kemampuan dalam menyaring informasi dan menyadari bahwa setiap anak memiliki keunikannya masing-masing.

 

“Orang tua perlu menganalisis pola asuh seperti apa yang sesuai dengan kondisi dan karakter anak,” sarannya. Jangan sampai orang tua terjerat dengan perkembangan dan perubahan dunia yang begitu cepat, sehingga kurang menyadari bahwa ada hal-hal yang sebaiknya tetap perlu dikuasai anak agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. (AS)

 

Baca juga: 8 Kesalahan yang Membuat Anak Laki-laki Sulit Dekat dengan Ayahnya

 

Referensi

Wawancara eksklusif dengan Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S. Psi., Psikolog Ajeng Raviando, dan Prof. DR. dr. Rini Sekartini, SpAK (Ketua IDAI Jaya).