Data Kementerian Kesehatan menyebutkan ibu rumah tangga menempati urutan terbesar sebagai kelompok dengan HIV-AIDS. Data yang dikumpulkan antara tahun 1987 hingga 2014 oleh Pusat Data Informasi HIV AIDS dari Kementerian Kesehatan pun mengungkapkan bahwa ibu rumah tangga justru lebih berisiko terinfeksi HIV daripada pekerja seks komersial (PSK).

 

Tingginya penderita HIV/AIDS pada ibu rumah tangga tentu membawa konsekuesi yang besar, yaitu penularan kepada bayinya. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak tahu bahwa dirinya sebenarnya terinfeksi HIV.

 

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi melalui kehamilan, persalinan, dan melalui pemberian ASI. Lantas apakah semua ibu dengan HIV tidak dapat memberikan ASI sama sekali kepada bayinya? Ternyata tidak, Gengs. Selama ibu dan anak sehat, dan tidak terdeteksi lagi muatan HIV di darah ibu, ASI adalah pilihan pertama untuk bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV.

 

Bagaimana persyaratan pemberian ASI dari ibu dengan HIV kepada bayinya? Berikut penjelasan Ketua Satuan Tugas ASI, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Elizabeth Yohmi, SpA, IBCLC., kepada GueSehat! 

Baca juga: Manfaat ASI Selain untuk Sumber Makanan Bayi

 



Perawatan Sejak Kehamilan

Untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah sudah menjalankan program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak). Sesuai Surat Edaran dari Menteri Kesehatan tahun 2013, semua ibu hamil wajib melakukan tes HIV dengan atau tanpa risiko tertular HIV.

 

Jika hasil pemeriksaan positif HIV, maka ibu hamil harus segera mendapatkan perawatan antenatal yang tepat, antara lain pemberian antiretroviral atau obat anti-HIV, agar tidak menulari janin yang ada di rahimnya. Perawatan tepat selama kehamilan dapat mengurangi risiko bayi lahir dengan HIV hingga kurang dari 1%. Hal ini karena dengan mengonsumsi ARV teratur, kadar HIV pada ibu hamil dapat “tidak terdeteksi”.

Baca juga: Hari Aids Sedunia: Yuk, Cegah Penularan HIV Melalui Metode PPIA!

 

Memilih Metode Persalinan yang Aman

Jika kadar virus HIV pada tubuh ibu hamil dinyatakan “tidak terdeteksi”, dokter dapat mempertimbangkan persalinan normal melalui vagina karena risiko penularan HIV kepada bayi selama persalinan akan sangat kecil.

 

Namun jika virus masih terdeteksi, ibu hamil akan ditawarkan untuk melakukan persalinan secara Caesar, karena prosedur ini memiliki risiko yang lebih kecil terhadap penularan HIV pada bayi dibandingkan dengan persalinan melalui vagina.

 

Pemberian ASI atau Pengganti ASI 

Tidak selamanya bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV tidak bisa mendapatkan ASI. Untuk menentukan apakah bayi dapat diberikan ASI atau makanan pengganti ASI, dokter akan melakukan penilaian secara menyeluruh.

 

Menurut dr. Yohmi, keputusan pemberian makan pada bayi dari ibu dengan HIV positif sebaiknya didiskusikan sejak kehamilan, agar kedua orang tua mengetahui sejak awal apa kelebihan dan kekurangan ASI maupun susu formula untuk bayinya.

 

Pilihan utama tetap ASI jika bayi lahir cukup bulan serta status kesehatan ibu dan bayi sangat baik. Untuk pencegahan, ibu dan bayi tetap rutin minum ARV. “Bimbingan dan pendampingan yang melekat harus diberikan pada kasus bayi yang diberikan ASI, agar tidak terjadi lecet pada puting ibu maupun infeksi pada payudara, karena luka berpotensi menularkan virus HIV," ujar dr. Yohmi.

Baca juga: 10 Pertanyaan Seputar Pemberian ASI

 

Jika ada satu persyaratan saja tidak terpenuhi, misalnya bayi atau ibu tidak sehat, CD4 ibu rendah, maupun ada luka di puting atau mulut bayi, maka dipertimbangkan pengganti ASI atau susu formula yang memenuhi kriteria AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable dan Safe). “Tetapi mencampur ASI dengan makanan lain sangat tidak dianjurkan, karena justru akan meningkatkan risiko bayi terhadap HIV."

 

Dokter Yohmi menutup dengan menyatakan bahwa semua keputusan sebaiknya melalui proses konseling, karena diperlukan riwayat lengkap dari status kesehatan ibu, kepatuhan minum obat, lama pemberian obat, dan hasil laboratorium terakhir. (AY/AS)