Obat tradisional adalah produk yang punya pesona tersendiri. Sebagai apoteker, tidak jarang terjadi ketika ada vonis penyakit berat seperti kanker, pasien kemudian memilih pengobatan alternatif dulu. Sebagian pengobatan alternatif itu menggunakan bahan baku dari alam.

 

Mirisnya, sebagian pengobatan dari bahan alam itu punya klaim yang luar biasa. Ada ekstrak daun A yang katanya dapat mengobati kanker, ekstrak akar B dapat menyembuhkan gagal ginjal, serta klaim-klaim lain yang dikeluarkan untuk menarik konsumen. Klaim sih boleh, tapi kalau berlebihan pasienlah yang dirugikan karena sudah kadung berharap lebih.

 

Nah, sebenarnya bagaimana pengaturan obat tradisional di Indonesia? Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menggunakan Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka sebagai landasan pengaturannya.

 

Menurut peraturan tersebut, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berbahan dasar tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari berbagai bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Baca juga: Bolehkah Ibu Hamil Konsumsi Jamu Lancar Bersalin?

 

Berdasarkan peraturan tersebut dan Peraturan Kepala BPOM nomor HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, kita dapat mengetahui bahwa ada 3 kelas obat tradisional, yakni jamu, obat herbal tradisional, dan fitofarmaka. Yuk, kita bahas!

 

Jamu

Jamu didefinisikan sebagai obat tradisional Indonesia. Kategorisasi jamu ini sangat luas, karena sekadar seduhan yang kita buat di rumah pun termasuk di dalamnya. Namun karena pesona jamu masih begitu kental di Indonesia, begitu banyak penjual jamu, mulai dari skala rumahan, warung, hingga industri yang besar. Untuk itulah, perlu ada regulasi.

 

Awal mulanya adalah pengalaman empiris. Akan tetapi kalau dibuat dalam partai besar dan dijual ke seluruh Indonesia, tentu saja jadinya tidak sederhana. Untuk itulah, pembuat jamu perlu mendaftarkan produknya di BPOM.

 

Di BPOM, umumnya jamu didaftarkan sebagai Obat Tradisional Lokal atau pada nomor izin edar produknya diawali dengan 2 huruf, yakni TR. Hingga tulisan ini dibuat, jika kita mengecek menu Cek Produk di laman resmi BPOM, ada 7.843 produk yang memiliki nomor register diawali huruf TR.

 

Obat Herbal Terstandar

Sering disingkat sebagai OHT, obat herbal terstandar didefinisikan sebagai obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah, dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Artinya, ada tingkatan yang lebih tinggi pada khasiat dan keamanan.

 

Kalau jamu khasiatnya sekadar empiris dan turun-temurun, pada OHT telah ada uji yang dilakukan pada hewan. Artinya jika ada klaim mencegah diare, maka suatu obat tradisional yang berstatus OHT telah diujikan pada hewan yang sudah dibuat diare, kemudian setelah diberikan OHT diarenya mereda. Demikian juga dengan jenis-jenis klaim lainnya.

 

Di Indonesia, jumlah OHT tidak terlalu banyak. Hasil pencarian di Cek Produk BPOM, hanya ada 56 produk yang memiliki nomor izin edar yang diawali dengan HT. Kenapa jumlahnya sedikit, padahal kekayaan hayati Indonesia diklaim sebagai yang terbaik di dunia selain Brazil? Tentu saja karena untuk meningkatkan grade ke OHT diperlukan investasi yang lumayan untuk melakukan uji praklinik.

Baca juga: Obat Tradisional DBD Lebih Aman

 

Standarisasi bahan sendiri membuat harga bahan baku jadi lebih mahal, karena daun tumbuhan yang dipakai tidak bisa sembarangan. Demikian juga akar maupun batang dari tanaman, ada standar yang harus dipenuhi, seperti kadar airnya.

 

Fitofarmaka

Golongan ini adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah, dengan uji praklinik dan uji klinik. Jadi, bahan baku dan produknya telah distandarisasi. Nah, uji klinik adalah kunci. Dengan adanya uji klinik, dapat disebut bahwa keamanannya telah lebih terjamin.

 

Uji klinik sendiri adalah uji pada manusia, sebagaimana yang juga dilakukan pada obat sintetik. Di Indonesia sendiri, jumlah fitofarmaka baru ada 19 produk dengan 9 merek, yakni Stimuno, New Divens, Livitens, Residex, Rheumaneer, Inlacin, Nodiar, Tensigard, dan X-Gra. Fitofarmaka sendiri dikenal dengan 2 huruf, yaitu FF, di bagian depan nomor izin edarnya.

 

Obat herbal menjadi masalah ketika diklaim terlalu bombastis, apalagi langsung mengobati berbagai penyakit. Padahal, yang namanya obat tradisional itu tidak boleh disebut 'berkhasiat mengobati penyakit A', melainkan terapi pendukung penyakit tertentu.

 

Kemudian, ketika efek kerja dari obat herbal begitu cepat justru seharusnya kita waspada. Obat herbal seharusnya tidak memiliki efek secepat obat sintetis. Obat sintetis dibuat berdasarkan struktur kimia yang memang akan langsung bereaksi pada tempat yang sudah diarahkan. Hal tersebut berbeda dengan jamu.

 

Makanya jika ada jamu asam urat langsung bikin sembuh, justru patut dicurigai bahwa ada bahan kimia obat di dalamnya. Berdasarkan proses tersebut, obat herbal memang lebih baik digunakan untuk penyakit metabolisme, seperti diabetes melitus, kolesterol tinggi, dan lain-lain. Dan untuk obat tradisional yang lolos BPOM, sudah pasti tidak punya klaim nan bombastis pada kemasannya. Soalnya pasti ditolak duluan!

 

Nah, untuk membuat obat tradisional ini tentu tidak sembarangan. Indonesia telah memiliki Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) sebagai patokan pembuatan jamu, OHT, maupun fitofarmaka. Di dalam CPOTB ini, aneka rupa persyaratan juga dibuat guna menjamin setiap produk obat tradisional yang didaftarkan ke BPOM dan diloloskan nomor izin edarnya telah terjamin keamanan, mutu, dan khasiatnya. Untuk itulah, kita sebagai konsumen juga perlu lebih cerdas mengenali produk-produk obat tradisional, supaya kita jadi sehat dan bukannya malah jadi sakit!

Baca juga: Obat Herbal atau Obat Kimia, Mana yang Lebih Baik?