Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu “induk” dari banyak penyakit seperti serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal yang berakhir dengan dialisis. Semua penyakit ini butuh biaya tinggi. Dibutuhkan solusi dan terobosan untuk mengurangi biaya perawatan diabetes.

 

Dalam diskusi bertajuk “Economic of Diabetes Mellitus and Innovative Policy” di Bali, 6 November 2019, para pakar merancang strategi yang bisa dilakukan untuk mencegah komplikasi diabetes. Ini adalah salah satu isu yang dibahas dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan, Indonesian Health Economic Association (InaHEA) ke-6.

 

Seperti diketahui, Indonesia menduduki ranking 6 dunia untuk jumlah penyandang diabetes, dengan 10,4 juta penduduk menderita diabetes. Dikemukakan oleh . Prof. Budi Hidayat, S.KM., MPPM.,Ph.D, Ketua CHEPS-UI (Center for Health Economics and Policy Studies – Universitas Indonesia), 73% penyandang diabetes di Indonesia tidak sadar bahwa dirinya menderita diabetes.

 

“Mereka yang saat ini tidak sadar menderita diabetes, dalam 4-6 tahun ke depan akan mengalami komplikasi, seperti stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Sehingga terkesan, penyakit-penyakit inilah yang menghabiskan dana JKN. Kita harus stop hulunya,” tegas Prof. Budi.

 

Baca juga: Sambut Hari Diabetes Sedunia, Ayok Cek Gula Darah!

 

Biaya Perawatan Diabetes Sangat Tinggi!

Studi terkini yang dilakukan oleh CHEPS UI menemukan, dari 1.658 pasien diabetes tipe 2 yang disurvei, 66% komplikasi berupa mikrovaskular seperti kerusakan ginjal (nefrofati) dan kerusakan saraf mata (retinopati). 22% lainnya mengalami kompllikasi makrovaskular (stroke dan penyakit jantung).

 

Rata-rata komplikasi muncul 4 tahun setelah pasien didiagnosis, dan paling lama 6 tahun. Komplikasi ini menjadi tersangka utama yang menghabiskan dana JKN.

 

“Diabetes tidak pernah disebut, padahal inilah biang keroknya. Kalau pemerintah betul-betul serius menurunkan beban penyakit tidak menular (PTM), stop dari hulu sampai ke hilir. Artinya meliputi pencegahan primer dan sekunder yakni mencegah terjadinya komplikasi pada diabetes,” lanjut Prof. Budi.



Pada tahun 2016 total biaya yang dikeluarkan JKN untuk menangani diabetes mencapai 7,7 triliun. 74% tersedot untuk membiayai pasien diabetes yang mengalami komplikasi. Adapun total biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi diabetes tanpa komplikasi mencapai Rp 5,4 juta/orang/tahun (perempuan) dan Rp 5,7/orang/tahun (laki-laki).

 

Biaya perawatan diabetes yang disertai komplikasi yakni Rp 11 juta/orang/tahun (perempuan) dan Rp 14 juta/orang/tahun (laki-laki). Bila dikalikan dengan sekitar 60% penderita diabetes yang memiliki komplikasi, maka dibutuhkan 59 tiliun untuk pembiayaannya. Bila semua pasien telah didiagnosis, mungkin dibutuhkan biaya pengobatan hingga 199 triliun.

 

Baca juga: Penderita Diabetes Ini Sehat Meski Tak Minum Obat, Apa Kiatnya?



Pemeriksaan HbA1c Mencegah Biaya Perawatan Diabetes yang Tinggi

Ketua Umum PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD - KEMD, menyayangkan, selama ini tenaga medis hanya memfokuskan perhatian kepda hal-hal yang bersifat medis, misalnya pengobatan. “Sayangnya, usaha ini belum mencapai hasil yang maksimal. Di sisi lain, pembiayaan kesehatan kita masih sangat rendah,” ungkapnya.

 

Pola pasien diabetes di Indonesia memang cukup unik, dan cukup menyulitkan untuk usaha penanggulangan diabetes. Pola ini antara lain tingginya pra diabetes dan DM2 yang tidak terdiagnosis, gangguan fungsi sel beta pankreas yang cepat muncul, banyak yang tidak diobati dengan baik atau tidak patuh berobat, dan angka komplikasi tinggi. Di sisi lain, pembiayaan masih rendah.




Ia melanjutkan, untuk menurunkan angka komplikasi, HbA1c harus bisa mencapai target <7%. “Dengan menurunkan HbA1c hingga di bawah 7%, berbagai komplikasi bisa dicegah, baik mikrovaskular maupun makrovaskular,” ujarnya. Namun faktanya, nilai HbA1c pasien diabetes di Indonesia adalah yang terburuk di dunia, yakni 9,2%.




HbaA1c adalah hemoglobin yang berikatan dengan gula darah. Tes HbA1c dapat memberikan gambaran nilai rerata gula darah dalam 3 bulan terakhir, dan sebaiknya diperiksa tiap 3-6 bulan. Tanpa HbA1c yang terkontrol, komplikasi akan muncul, dan inilah yang menelan ¾ pembiayaan diabetes.


Menurut Prof. Suastika, pengelolaan diabetes di Indonesia cenderung lamban dan konservatif. “Kita cenderung menunggu. Kalau sudah HbA1c naik, baru obat ditambah, dan ini lama sekali. Padahal, satu pil tidak akan bisa memelihara kadar gula darah lebih dari 1-2 tahun. Kita perlu lebih agresif,” tuturnya.

 

Tahap awal, diabetes bisa diatasi dengan perbaikan gaya pola makan dan aktivitas fisik. Namun begitu tampak gula darah pasien tak kunjung terkontrol, harus segera diberi obat. Saat satu obat tidak berhasil, harus segera ditambah obat lain (kombinasi), atau insulin.


Baca juga: HbA1c Lebih dari 9% Sebaiknya Mulai Terapi Insulin

 

 

Sumber:

Paparan Prof. Budi Hidayat, S.KM., MPPM.,Ph.D, Ketua CHEPS-UI (Center for Health Economics and Policy Studies – Universitas Indonesia), dan Ketua Umum PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD - KEMD pada diskusi bertajuk “Economic of Diabetes Mellitus and Innovative Policy” di Bali, 6 November 2019