Dalam rangka Hari Diabetes Sedunia atau World Diabetes Day yang diperingati setiap 14 November, kita harus paham bahwa angka penyandang diabetes terus meningkat. International Diabetes Federation (IDF) Atlas 2017 melaporkan bahwa epidemi Diabetes di Indonesia masih menunjukkan kecenderungan meningkat. Saat ini Indonesia menempati peringkat keenam di dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil dan Meksiko dengan jumlah penyandang Diabetes usia 20-79 tahun sekitar 10,3 juta orang.

 

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) memperlihatkan peningkatan angka prevalensi diabetes yang cukup signifikan, yaitu dari 6,9% di tahun 2013 menjadi 8,5% di tahun 2018. Estimasi jumlah penderita di Indonesia mencapai lebih dari 16 juta orang.

 

Masalahnya, diabetes bukan penyakit yang berdiri sendiri. Penderita diabetes berisiko memiliki komplikasi penyakit lain, seperti serangan jantung, stroke, kebutaan, dan gagal ginjal bahkan kematian. Fakta ini pula yang menyebabkan biaya perawatan diabetes sangat mahal.

 

Data IDF juga menunjukkan bahwa biaya langsung penanganan diabetes mencapai lebih dari 727 Milyar USD per-tahun atau sekitar 12% dari pembiayaan kesehatan global. Data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan pembiayaan pelayanan Diabetes di Indonesia dari 135.322 kasus dengan pembiayaan Rp 700,29 Milyar di tahun 2014 menjadi 322.820 kasus dengan pembiayaan Rp 1,877 Trilliun di tahun 2017. Tahun 2020 sudah tentu jumlahnya lebih tinggi lagi.

 

Baca juga: Jangan Kaget, Biaya Perawatan Diabetes Sangat Tinggi!

 

Berbagai Kendala Pengelolaan Diabetes

Dr. dr. Em Yunir, dokter spesialis penyakit dalam dan Staf Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM memaparkan, setidaknya ada empat kendala mengapa kebanyakan pasien diabetes di Indonesia gagal mengelola penyakitnya.

 

Pertama, sebagian besar penderita diabetes tidak paham bahwa diabetes adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

“Diabetes adalah penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan, bahkan cenderung memburuk jika tidak dikelola dengan baik,” jelas dr. Em Yunir. Diabetes, yambah dr. Em Yunir, adalah penyakit yang tidak stagnan, namun akan terus memburuk seiring waktu.

 

Misalnya, saat terdiagosis pertama kali, seorang penyandang diabetes bisa jadi sudah mengalami kerusakan pada pankreas sebesar 50%. Pankreas adalah organ yang menghasilkan insulin, hormon yang bertanggung jawab mengelola gula darah di tubuh. Seiring waktu, kerusakan di pankreas akan bertambah buruk. Gula darah semakin sulit dikendalikan karena insulin yang dihasilkan semakin berkurang bahkan berhenti sama sekali.

 

“Pada awal penyakit mungkin kadar gula darah masih bisa dikontrol dengan olahraga dan mengatur pola makan, lama-kelamaan pasien membutuhkan obat. Mulai dari 1 obat antidiabetes, kemudian meningkat menjadi 2 obat, kemudian dosis obat dinaikkan, dan akhirnya pasien terpaksa menggunakan insulin, bagi yang gula darahnya tidak terkontrol,” jelas dr. Em Yunir.

 

Kendala kedua berkaitan dengan kepatuhan berobat.

Penyandang diabetes tak jarang harus mengonsumsi lebih dari 1-2 obat setiap hari seumur hidupnya. Bagi yang menggunakan terapi insulin, bisa sampai 4 kali suntikan dalam sehari. Belum lagi jika mereka juga memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, penyakit jantung, atau kolesterol tinggi. Jumlah obat yang harus diminum sudah pasti bertambah banyak.

 

Kepatuhan berobat ini menjadi tantangan sendiri. Pasien yang bosan minum obat, akan berdampak pada kontrol gula darah yang buruk dan mendatangkan komplikasi diabetes yang berbahaya.

 

Baca juga: Gula Darah Stabil, Bolehkah Berhenti Minum Obat Diabetes?
 

Kendala ketiga, sulitnya mengubah gaya hidup

Secara teori, mengendalikan diabetes bisa dilakukan dengan mengubah gaya hidup, terutama mengurangi asupan karbohidrat dan gula. “Pada kenyataannya, ini adalah langkah paling sulit untuk pasien. Tidak semua orang bisa mengubah perilaku. Tidak semua orang secara psikologis siap melakukan perubahan itu. Apalagi saat mereka terdiagnosis di usia 40 tahun, tentu sulit mengubah kebiasaan makan yang sudah dijalani selama 40 tahun itu,” jelas Em Yunir.

 

Kendala Keempat terkait dengan pencapaian Karir (kondisi sosial ekonomi pasien)

Fakta yang kerap ditemui adalah, seseorang yang terdiagnosis diabetes di puncak karirnya, akan lebih sulit mengelola penyakitnya. “Dengan status sosial ekonomi yang berada di puncak, wajar seseorang ingin menikmati hidup. Diabetes dianggap menjadi penghalang untuk menikmati hidup, misalnya tidak bisa makan enak, apalagi jika pasien tingga; di kota besar,” jelas dr. Em Yunir.

 

Semua faktor tersebut berkontribusi pada kegagalan pasien mencapai target terapi, yakni kadar gula darah yang terkontrol di kisaran normal.

 

Baca juga: Kenali Komplikasi Diabetes Sejak Dini

 

Kadar Gula Darah Tidak Terkontrol, Komplikasi Datang

Gagalnya kendali gula darah akhirnya mendatangkan komplikasi penyakit lain. Komplikasi diabetes bisa berupa penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, kebutaan, atau luka diabetes yang berujung amputasi. “Komplikasi jantung dan gagal ginjal diperkirakan dialami 30-40 persen orang dengan diabetes,” jelas dr. Em Yunir.

 

Penanganan diabetes yang disertai komplikasi tentu menjadi lebih kompleks dengan biaya lebih tinggi. Oleh karena itu, mencegah komplikasi harus dilakukan sedini mungkin, dengan mengendalikan kadar gula darah. Caranya dengan menerapkan gaya hidup sehat, minum obat teratur, dan tidak mengobati sendiri penyakitnya dengan obat atau ramuan yang tidak bisa dibuktikan efektivitasnya.

 

Menurut Em Yunir, edukasi dan dukungan bagi penyandang diabetes juga tidak kalah pentingnya. “Dukungan keluarga sangat penting. Pasien perlu dimotivasi terus menerus agar tidak putus berobat atau berhenti melakukan pola hidup sehat,” ujar Em Yunir.

 

Pengobatan Diabetes Disertai Penyakit Jantung

Bagi pasien diabetes yang sudah mengalami komplikasi, pengobatan dan pengelolaan diabetes harus lebih agresif.  Penyebab kematian tertinggi pasien diabetes adalah komplikasi penyakit kardiovaskular, baik itu penyakit jantung koroner maupun gagal jantung.

 

Terobosan dalam terapi untuk pasien diabetes dengan komplikasi penyakit karddiovakular bisa menjadi harapan baru, untuk mencegah semakin memburuknya kondisi. Terapi terbaru dengan obat antidiabetes Empagliflozin, terbukti bisa mencegah perburukan komplikasi penyakit jantung sehingga pasien tidak lagi berkali-kali dirawat di rumah sakit. Terapi terbaru dengan obat antidiabetes Empagliflozin, berpotensi untuk mengobati gagal jantung.

 

 

 Saat ini BPOM memberikan ijin Empaglifozin untuk megobati pasien diabetes tipe 2 yang disertai penyakit kardiovaskular. Obat ini memiliki indikasi utama menurunkan gula darah, tetapi di dalam risetnya ditemukan penderita diabetes yang mengonsumsi obat ini memiliki angka kematian lebih rendah. Salah satunya karena bisa mengatasi kondisi gagal jantung yang diderita pasien. 

 

“Pasien yang diberikan obat ini angka kejadian atau kasus serangan jantungnya lebih sedikit. Artinya, obat ini juga memiliki dampak terhadap kerja otot jantung, sehingga selain gula darahnya terkontrol, fungsi jantungnya juga bisa dipertahankan lebih baik,” jelas dr. Em Yunir.

 

 

Dalam dunia medis, fenomena ini disebut beyond effect, yakni obat yang memiliki manfaat tambahan di luar manfaat utamanya. “Jadi untuk penyandang diabetes tipe 2 yang memiliki risiko atau pernah mengalami serangan jantung, memiliki penyakit jantung koroner, atau gagal jantung, bisa diberikan obat ini karena terbukti angka kekambuhan lebih rendah,” tambah Em Yunir.

 

Baca juga: Mengenal Obat Inhibitor SGLT2 untuk Diabetes Tipe 2

 

 

Sumber:

Wawancara dengan Dr. dr. Em Yunir, dokter spesialis penyakit dalam dan Staf Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.