Tingkahnya yang lucu nan menggemaskan di media sosial, khususnya Instagram membuat selebgram anak menyita perhatian banyak orang. Tak mengherankan pula jika selebgram anak memiliki banyak pengikut atau followers di media sosial dan kerap kali mendapat banyak tawaran endorsement.

 

Alhasil, anak pun sudah bisa menjaring pundi-pundi rupiah atau memiliki penghasilan sendiri di usia dini. Meski begitu, orang tua tentu tidak boleh memaksa anak untuk melakukan endorsement karena hal tersebut bisa mendekatkan anak dengan eksploitasi. 

 

Lantas, bagaimana pandangan ahli mengenai selebgram anak dan eksploitasi? Benarkah menjadikan anak sebagai selebgram dapat dikatakan sebagai eksploitasi? Apa sajakah dampak psikologis menjadikan anak sebagai selebgram? 

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Teman Bumil melakukan wawancara eksklusif dengan beberapa ahli dan salah satu orang tua dari selebgram anak. Tulisan ini juga dibuat untuk memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan setiap 25 November hingga 10 Desember. 

 

Baca juga: Jangan Asal Menyentuh Kulit Bayi dan Anak-anak

 

 

Perlukah Orang Tua Membuatkan Media Sosial untuk Anak?

Seperti yang diketahui, Instagram merupakan salah satu media sosial yang banyak digunakan saat ini. Hal inilah yang membuat banyak orang menggunakan atau memanfaatkan Instagram untuk menjadi populer dan dikenal sebagai selebriti Instagram (selebgram). 

 

Di era digital seperti saat ini, siapapun bisa terkenal atau menjadi selebgram tanpa mengenal usia. Tidak hanya orang dewasa, anak pun bisa menjadi selebgram. Meski begitu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Teman Bumil selama sepekan dan diikuti oleh 400 responden, 84,4% orang tua tidak merasa perlu membuatkan akun media sosial untuk anak. 

 

Selain itu, 80,7% orang tua juga tidak ingin anaknya menjadi selebgram. Adapun beberapa alasan orang tua yang tidak ingin anaknya menjadi selebgram di antaranya takut mengganggu tumbuh kembang dan privasi anak, khawatir terjadinya kejahatan pada anak, hingga tidak ingin memaksa atau mengeksploitasi anak.  

 

Menanggapi hal tersebut, menurut Psikolog Denrich Suryadi, M.Psi, pada dasarnya anak tidak memahami konsekuensi mengenai dunia media sosial, terlebih pada usia dini. “Anak mungkin awalnya memiliki kegemaran untuk tampil, punya rasa percaya diri sehingga berani untuk tampil,” ungkap Denrich.

 

Denrich menambahkan, membagikan aktivitas anak atau hal-hal lain seputar anak di media sosial sebenarnya sah-sah saja, namun yang perlu diperhatikan ada juga dampak negatif publisitas yang bisa berisiko pada anak nantinya. “Anak yang masih berusia dini (0-10 tahun) tidak seharusnya memiliki akun media sosial sendiri karena anak belum memahami konsekuensinya,” jelasnya. 

 

Sehingga, menurut Denrich, seluruh risiko tersebut sepenuhnya harus ditanggung orang tua yang mengelola akun media sosial anak. “Kembali lagi, dampaknya dapat berimbas pada anak, apalagi jika anak nantinya tidak ingin profilnya sebenarnya disebarluaskan di media sosial,” tambahnya. 

 

Baca juga: Mengajarkan Anak tentang Toleransi dengan Cara Ini, Yuk!

 

 

Menjadikan Selebgram Anak Bisa Berpotensi Eksploitasi 

Orang tua biasanya memanfaatkan foto atau video yang menampilkan tingkah menggemaskan anak untuk meningkatkan jumlah pengikut (followers). Setelah memiliki banyak pengikut (followers), selebgram biasanya akan menerima banyak tawaran endorsement

 

Dari situlah, pundi-pundi rupiah diperoleh selebgram anak. Saat jumlah pengikut akun Instagram anak sudah banyak dan mencuri perhatian banyak orang, peluang anak menjadi endorser pun semakin tinggi. Anak yang menjadi selebgram tentu harus menjalankan kewajiban untuk melakukan permintaan endorsement

 

Lalu, apakah menjadikan anak sebagai selebgram bisa dikatakan sebagai eksploitasi? Menurut Psikolog Anak Theresia Michelle A., M.Psi, menjadikan anak sebagai selebgram tidak bisa langsung dinilai sebagai eksploitasi, perlu dilihat kasus per kasus, dan membutuhkan telaah yang lebih jauh. 

 

“Jika orang tua yang seharusnya memberikan perlindungan bagi anak, ternyata menunjukkan sikap memaksa agar anak melakukan aktivitas yang berhubungan dengan selebgram dan memanfaatkan keuntungan anak, maka bisa berpotensi sebagai eksploitasi,” jelas Michelle. 

 

Lebih jauh, Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, M.Si mengungkapkan, penjelasan mengenai eksploitasi pada anak bisa dilihat dari berbagai aturan perundang-undangan, seperti UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan, dan Konvensi ILO. 

 

“Dalam konteks anak-anak sebagai selebgram dan kaitannya dengan meng-endorse produk, hal ini diatur dalam Kepmenakertrans RI No. 115 Tahun 2004 tentang perlindungan bagi anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat,” ungkap Ai saat diwawancarai Teman Bumil. 

 

Ai menambahkan, kalau menghasilkan uang dengan cara-cara yang melanggar perlindungan anak, bahkan orang tua hingga memaksa anak, anak merasa tidak nyaman, muncul keterpaksaan, dan tidak ada kesukarelaan dari anak, maka jelas orang tua telah melakukan pelanggaran dan bisa berpotensi sebagai eksploitasi. 

 

“Prinsip pelanggaran hak anak dan eksploitasi memang erat kaitannya. Namun, selebgram anak tidak dapat serta-merta dikatakan sebagai eksploitasi, butuh verifikasi data-data faktual atau alat bukti pendukung. Kalau ada unsur yang berpotensi mendekatkan anak pada eksploitasi, seperti keterpaksaan, pengekangan, apalagi pelanggaran hak anak, maka silakan melakukan pengaduan ke KPAI,” jelas Ai. 

 

Jika memang ada ruang yang mendekatkan anak dengan eksploitasi, Ai mengungkapkan bahwa KPAI sudah bekerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kekominfo) untuk mendeteksi dan menelaah lebih jauh hal tersebut. 

 

KPAI juga akan memberikan perlindungan bagi selebgram anak jika memang ada indikasi atau unsur yang berpotensi terhadap eksploitasi. “Pada anak, rehabilitasi sangat dimungkikan, baik bersifat konseling dengan psikolog atau pendampingan psikologis,” ujar Ai. 

 

Namun, jika anak merasa nyaman tampil sebagai selebgram atau merasa tidak terpaksa dan terkekang untuk melakukan endorsement, serta orang tua pun memperhatikan kebutuhan, hak-hak dasar, dan perlindungan anak, maka tidak bisa dikatakan bahwa menjadikan anak sebagai selebgram adalah bentuk eksploitasi. 

 

Nianirmala (34), ibu dari Eri Claire Fuji (@ericlaire.fujie) yang merupakan selebgram anak dengan 150 ribu lebih pengikut mengungkapkan bahwa yang terpenting baginya ialah anaknya senang dan nyaman saat diminta untuk melakukan permintaan endorsement

 

“Kalau ada klien yang permintaannya yang ribet atau aneh, saya akan berpikir ulang untuk melakukan kerja sama. Saya tidak mau memaksa Eri dan harus melihat mood anaknya. Biasanya saya berikan terms and conditions kalau saya membutuhkan waktu dan tidak bisa langsung post dalam sehari. Saya juga tidak mau endorsement ini mengganggu waktu Eri untuk bermain, belajar dan sebagainya,” cerita Nia. 

 

Nia menambahkan, ia juga begitu mempertimbangkan tawaran endorsement pada anaknya. “Kalau baju misalnya, harus nyaman dan bahannya tidak mengganggu Eri, seperti tidak gatal. Kalau mainan atau buku, biasanya juga akan saya pilih yang cocok dengan Eri atau sedang disukai oleh Eri,” jelasnya. 

 

Lantas, apa yang harus diperhatikan orang tua jika anak menjadi selebgram? Menurut Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah, M.Si, negara sebenarnya sudah mengatur hal tersebut dalam Kepmenakertrans RI No. 115 Tahun 2004 tentang perlindungan bagi anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat. 

 

“Dalam Kepmenakertrans RI tersebut disebutkan bahwa maksimal anak bekerja 3 jam dalam sehari dan harus terlindungi hak-haknya, seperti kesehatannya, hak untuk belajar atau sekolah, tidak mengganggu tumbuh kembang  atau kehidupan sosial anak, dan sebagainya,” tutup Ai. 

 

Baca juga: Mengatasi Kecanduan Gadget pada Anak

 

 

Dampak Anak Menjadi Selebgram Terhadap Psikologis dan Tumbuh Kembang

Menurut Psikolog Anak Theresia Michelle A., M.Psi, pekerjaan menjadi selebgram tidak seperti pekerjaan yang umum. Saat seseorang sudah memutuskan menjadi selebgram maka hal tersebut sudah menjadi bagian dari identitas dirinya dan semakin banyak orang yang ingin mengetahui privasi dari selebgram tersebut. 

 

Michelle menambahkan, dampak menjadi selebgram pun bisa beragam, salah satunya efek terhadap publisitas. Pada kasus-kasus tertentu, Instagram terkadang dapat memberikan tekanan sosial bagi penggunanya bahkan yang dewasa sekalipun.

 

“Saat ada komentar yang menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, apakah orang tua dan anak dapat siap menerimanya? Umumnya orang rentan terpengaruh terhadap hal tersebut. Selain itu, apakah orang tua dan anak siap ketika foto atau data anak tersebar ke mana-mana, apakah orang tua dan anak siap mengemban label selebgram ke mana pun dan kapanpun?” ungkap Michelle. 

 

Adapun dampak positif dari anak menjadi selebgram anak terhadap psikologis dan tumbuh kembangnya menurut Psikolog Denrich Suryadi, M.Psi di antaranya anak menjadi lebih percaya diri, menjadi mandiri dan kreatif dalam menunjukkan bakatnya, serta anak dapat mengasah minatnya di bidang seni ataupun hiburan. 

 

“Sedangkan, dampak negatifnya seperti anak kehilangan masa kecilnya untuk bermain dan belajar dengan bebas, sulit memahami identitas diri yang sebenarnya, kehilangan hak pribadi mengenai publisitas hidupnya, sulit mengelola emosi, dan memiliki risiko cyber-bullying nantinya,” tutup Denrich.