Apa yang terjadi di dalam otak si Kecil ketika kejang? Ini penjelasan sederhananya. Otak terdiri dari jutaan sel saraf bernama neuron, yang akan saling berkomunikasi melalui impuls listrik kecil. Kejang akan terjadi jika sel dalam jumlah yang banyak mengirimkan muatan listrik pada saat yang bersamaan. Kondisi abnormal ini akan membuat otak kewalahan dan kejang, sehingga menyebabkan kejang otot, hilang kesadaran, perilaku aneh, dan gejala lainnya.

 

Si Kecil dapat mengalami kejang karena berbagai kondisi, seperti demam tinggi, kekurangan oksigen, trauma kepala, atau penyakit tertentu yang menyebabkan kejang. Seseorang dapat didiagnosis epilepsi jika mengalami kejang lebih dari sekali tanpa penyebab yang spesifik. Dilansir melalui webmd.com, sekitar 7 dari 10 kasus kejang tidak bisa diidentifikasi penyebabnya. Tipe kejang ini disebut juga dengan idiopatik atau kriptogenik. Masalahnya bisa saja terjadi karena neuron tidak terkontrol di dalam otak, sehingga memicu kejang.

Baca juga: Waspada Tanda-tanda Kejang pada Bayi
 

Para peneliti masih terus mencari tahu penyebab berbagai tipe kejang. Dahulu, kejang dapat dikategorikan berdasarkan gejala-gejala yang muncul dan bagaimana pola EEG (rekam listrik otak atau electroencephalogram) yang terlihat. Penelitian lebih lanjut mengenai genetika kejang akhirnya membuahkan hasil bagi para ahli untuk menentukan berbagai jenis kejang. Ini kemudian membantu mereka menentukan penanganan setiap jenis kejang yang disebabkan oleh epilepsi.

 

Risiko Kejang pada Anak

Walau kelihatannya menyakitkan, kejang sebenarnya tidak terlalu menyebabkan rasa sakit. Kejang parsial sederhana yang terjadi tiba-tiba pada anak umumnya hanya akan menimbulkan ketakutan atau panik pada orangtua. Sebagai contoh, salah satu masalah kejang parsial yang kompleks akan membuat anak tidak bisa mengontrol perilakunya. Ini juga bisa menyakiti anak jika ia tiba-tiba terjatuh atau menimpa benda di sekitarnya.

 

Para ahli belum bisa memastikan efek jangka panjang kejang. Di masa lalu, kebanyakan ilmuwan mengira kejang tidak akan menimbulkan kerusakan pada otak. Namun, saat ini konsep tersebut mulai diragukan kebenarannya.

Baca juga: Kejang Pada Anak: Bagaimana Mengatasinya?
 

Dr. Solomon L. Moshe, Direktur Neurofisiologi Klinis dan Neurologi Anak di Albert Einstein College of Medicine, New York, adalah salah satu pakar yang tengah melakukan penelitian secara hati-hati mengenai masalah ini. “Saya rasa belum tepat jika kejang dinilai akan menyebabkan kerusakan jangka panjang. Menurut saya ini tergantung pada masing-masing kasus,” ungkapnya. Moshe menemukan bahwa otak anak-anak sangat fleksibel. Mereka kemungkinan tidak akan mengalami kerusakan otak akibat kejang selayaknya orang dengan epilepsi.

 

Tetap Harus Waspada!

Meski kebanyakan kejang tidak membahayakan dan memerlukan tindakan medis sesegera mungkin, Mums tetap tidak boleh lengah. Status epileptikus merupakan kondisi mengancam jiwa, yang membuat si Kecil mengalami kejang dalam waktu yang lama atau mengalami kejang berturut-turut tanpa sadarkan diri.

 

Kondisi ini lebih umum terjadi pada orang dengan epilepsi. Namun, 1/3 orang yang mengalaminya tidak pernah kejang sebelumnya. Risiko status epileptikus meningkat seiring lamanya kejang terjadi. Karenanya, Mums harus segera membawa si Kecil ke rumah sakit jika kejang yang dialami berlangsung lebih dari 5 menit.

Baca juga: Jika Anak Terdiagnosis Epilepsi
 

Mums mungkin juga pernah mendengar kondisi yang dikenal dengan nama Sudden Unexplained Death, yakni kematian mendadak tanpa diketahui alasannya. Ini bisa terjadi terhadap siapapun, tetapi lebih sering terjadi pada penderita epilepsi.

 

Oleh karena itu, jika si Kecil menderita epilepsi, Mums harus mewaspadai kondisi ini. Mengontrol terjadinya kejang, terutama selama si Kecil tidur, merupakan cara paling efektif untuk menghindari Sudden Unexplained Death. (AS/AY)