Keberhasilan pemberian ASI eksklusif adalah indikator utama kesehatan bangsa. Makin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kesehatan negara berawal dari 2 hal sederhana, yaitu cuci tangan dan memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. 

 

Di peringatan Hari Ibu Nasional ke-91, terungkap fakta bahwa dalam 15 tahun terakhir, kualitas pengetahuan dan perilaku laktasi ibu di Indonesia tidak signifikan membaik. Hal ini terhitung sejak Riskesdas 2003 hingga Riskesdas 2018, yang menunjukkan bahwa prevalensi ASI eksklusif Indonesia tidak membaik. Hanya berkisar antara 32% hingga 38%, yang mana masih sangat jauh dari target nasional, yaitu 80%.

 

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK., dari ILUNI Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengungkapkan fakta bahwa sebagian besar ibu pekerja di Indonesia masih memiliki pengetahuan dan perilaku yang kurang baik terhadap menyusui. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal internasional JKMS 2019 berjudul Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia.

 

Menurut peneliti, lebih dari 70% ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh (blue collar) dan masih dalam masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku penting yang bermanfaat bagi tumbuh kembang bayinya, serta kesehatan dirinya sendiri.

 

Hal tersebut juga berlaku bagi ibu bekerja kantoran (white collar), yang tidak mengetahui bahwa peraturan pemerintah bisa melindungi mereka untuk bebas menyusui atau memerah ASI di kantor tanpa takut mendapat sanksi. Mirisnya, kekhawatiran ini dirasakan oleh hampir 50% pekerja kantoran wanita.

 

Baca juga: Menyusui, Proses Alami yang Butuh Persiapan Matang

 

Kualitas Laktasi Ibu Indonesia Jalan di Tempat

Temuan dan kondisi terkait rendahnya pengetahuan ibu tentang laktasi ini, ironisnya masih mirip dengan temuan-temuan pada penelitian mengenai laktasi sejak lebih dari satu dekade silam.

 

“Artinya, status pengetahuan dan kualitas perilaku laktasi Ibu Indonesia, terutama ibu pekerja, tidak membaik secara signifikan. Perkembangan teknologi informasi dan digital di Indonesia yang terlihat semakin banyak mengomunikasikan menyusui dan laktasi, kenyataannya kurang efektif memberi daya ungkit terhadap pengetahuan laktasi, sehingga perilaku menyusui juga tidak membaik secara signifikan,” jelas Ray.

 

Dari 5 variabel sebagai faktor penentu keberhasilan atau ketidakberhasilan laktasi, ditemukan 2 poin paling berpengaruh. Yang pertama adalah status ibu sebagai pekerja penuh waktu. Artinya, jika seorang ibu menyusui kembali bekerja setelah cuti melahirkannya usai, 2 kali lipat lebih besar kemungkinan ia gagal untuk melanjutkan ASI eksklusif. 

 

Data yang didapat memperlihatkan bahwa 44% pekerja wanita khawatir meninggalkan pekerjaan selama jam kerja, sebagai alasan utama perilaku laktasi seorang ibu kurang baik. Padahal, mengutip penelitian dan publikasi ilmiahnya terdahulu, ibu yang mendapatkan hak laktasinya dengan baik justru dapat mempertahankan status produktivitas bekerjanya.

 

Poin kedua yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses laktasi adalah pengetahuan tentang menyusui. Yang mana, jika ibu tersebut bekerja dan pengetahuannya rendah, maka akan sulit untuk sukses memberikan ASI eksklusif. 

 

Baca juga: Drama Menyusui Para Ibu Baru

 

Fasilitas Laktasi di Tempat Kerja Belum Memadai

Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2013, mencatat bahwa terjadi peningkatan jumlah dan partisipasi kerja dari pekerja wanita di Indonesia sebanyak 55%. Bahkan, tingginya angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah pekerja wanita di Asia Pasifik.

 

Sayangnya, dukungan di  tempat kerja yang belum kondusif juga menjadi salah satu faktor terhambatnya angka keberhasilan memberikan ASI eksklusif bagi ibu bekerja. Fakta yang terkumpul adalah:

  • Hanya sekitar 21% tempat kerja di Indonesia yang memberikan dukungan fasilitas memadai untuk laktasi.
  • Hanya 7,5% pekerja di Indonesia yang bisa menikmati program promosi laktasi di tempat kerja.
  • Hanya 2 dari 10 buruh berhasil ASI eksklusif.
  • 5 dari 10 pekerja wanita memerah ASI di toilet tempat kerja mereka.

 

Kebijakan pemerintah tentang ASI Eksklusif dan laktasi sebenarnya sudah sangat jelas. Seperti yang tercantum dalam UU Tenaga Kerja 1979 dengan menetapkan masa cuti melahirkan 3 bulan, Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang peningkatan pemberian ASI di tempat kerja, serta aturan ruang laktasi di Permenkes No. 15 tahun 2013. Namun sayangnya, semua komponen hukum tersebut belum maksimal melindungi hak laktasi ibu.

 

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai ibu menyusui dan ingin memperjuangkan hak fundamental kita untuk memberikan ASI kepada si kecil? Satu-satunya cara adalah rebut hak laktasi kita. Keterbatasan fasilitas laktasi di kantor bukanlah hambatan karena Mums bisa menyiasatinya dengan cara berikut:

  • Menggunakan apron dan cari ruangan di kantor yang tertutup untuk memerah.
  • Sedari awal meminta izin kepada atasan untuk memerah ASI setiap 3 jam sekali.
  • Rela repot dengan membawa beragam keperluan memerah di kantor. 

 

Adakah cara lain yang Mums ingin tambahkan? (AS)

 

Baca juga: Tips Sukses Menyusui dari Para Ibu Bekerja