Tak ada habisnya bila bercerita tentang menyusui, apalagi jika dialami oleh Mums yang baru pertama kali menyusui. Ada banyak cerita dramatis dari para ibu. Jadi jika saat ini Mums merasakan menyusui itu sulit, tak seindah kelihatannya, atau banyak tantangannya, Mums tak sendirian! Yuk, cek di bawah ini!

 

Mengejar Target Berat Badan dengan Metode Suplementasi

“Sampai sekarang masih suka terharu kalau ingat-ingat masa awal saya menyusui Fatih. Dari mulai sempat kuning karena kekurangan ASI, dilema sama saran orang sekitar yang memberikan saran untuk diberikan susu formula, sampai pertumbuhan berat badan Fatih yang sempat kurang.

 

Jadi, ceritanya Fatih lahir caesar dan saya alergi beberapa obat. Efeknya, saya jadi muntah-muntah dan muka saya ruam merah saat proses operasi berlangsung. Karena itulah IMD-nya nggak bisa terlalu lama. Saya ingat, waktu itu ngomong ke suami buat cepat-cepat angkat Fatih dari dada saya karena enggak kepingin dia kena muntah. 

 

Setelah persalinan, saya dirawat di Intensive Care Unit (ICU) selama 2 hari, sehingga harus berpisah sama Fatih. Padahal hari-hari pertama pasca-persalinan seperti itu, penting banget rutin skin-to-skin untuk menstimulasi produksi ASI.

 

Barulah di hari ke-3 saya bisa ketemu dan menyusui Fatih. Kondisinya saya belum bisa maksimal menyusui karena jumlah ASI yang keluar belum mencukupi dan belum paham benar pelekatan yang benar bagaimana. 

 

Cerita lanjutannya, Fatih dinyatakan kuning. Selama menjalani fototerapi, saya mencari donor ASI buat mempercepat penyembuhannya. Keluar dari rumah sakit, saya memutuskan untuk menyusui Fatih tanpa bantuan donor ASI. Saya pikir mau sampai kapan terus bergantung dengan orang lain?

 

Sayangnya, niat saya buat mandiri berdampak pada pertambahan berat badan Fatih. Saat diperiksa oleh dokter, penurunan berat badan Fatih sangat drastis dan kurvanya hampir merah.

 

Saya pun direkomendasikan oleh dokter laktasi untuk melakukan metode suplementasi, agar bisa mencapai target meningkatkan berat badan Fatih sebanyak 500 gr dalam 10 hari. Caranya, saya perah ASI.

 

Lalu waktu menyusui Fatih, saya tempelkan selang tersebut di puting. Jadi, sekali isap Fatih mendapat asupan nutrisi dobel dan saya pun mendapat stimulasi ganda agar produksi ASI meningkat.

 

Cara ini saya lakukan kurang lebih 2 bulan. Selama masa itu, saya istilahnya bener-bener kejar tayang. Habis menyusui, lanjut pompa, lalu mengulangi proses seperti itu. Syukurlah, kerja keras saya terbayar dan target berat badan tercapai. Sekarang, Fatih sudah masuk fase MPASI dan berat badannya sudah cukup.

 

Pengalaman menyusui saya memang jauh dari kata lancar. Namun, enggak ada satu hari pun saya berpikir untuk menyerah. Dan, hadiah terindah yang saya dapatkan dari proses menyusui ini adalah bonding dengan anak yang sangat erat.”

 

Asteria, ibu rumah tangga, 27 tahun.

 

Baca juga: Inilah Kunci Agar Mums Gembira Menyusui!



Terlalu Percaya Diri

“Berprofesi sebagai bidan, menguasai ilmu-ilmu kebidanan, plus dapat ilmu dari rekan seprofesi membuat saya percaya diri banget kalau saya pasti berhasil menyusui setelah melahirkan. Apalagi di usia kehamilan 26 minggu, ASI saya sudah sempat keluar. Makanya saya berpikir nanti kuantitasnya akan semakin banyak setelah melahirkan. 

 

Setelah melahirkan dengan proses normal, saya selalu menyusui bayi secara langsung, tidak pernah memompa. Baru ketika sudah di rumah, saya mencoba pompa. Yang saya kira ASI saya banyak, ternyata jumlahnya sangat sedikit. Bahkan bisa dibilang hanya mengotori pantat botol. Paling banyak jumlahnya 5-10 ml. Di hari kelima anak saya lahir, dia kuning. Makin kalutlah saya. 

 

Kalau diingat-ingat, kasus hiperbilirubin bukan barang bagi saya dan terbilang umum di pekerjaan saya. Namun ketika harus menghadapinya secara langsung, rasanya berbeda. Saya bersikap layaknya ibu dari pasien yang selama ini saya biasa temui.

 

Bawaannya panik, khawatir berlebihan, dan merasa bersalah. Namun, badai itu untungnya bisa saya lewati. Saya rutin susui bayi saya untuk terus menstimulasi produksi ASI dan tak pernah alpa untuk menjemurnya di pagi hari. Kurang lebih 10 hari, usaha saya untuk merawat bayi sendiri di rumah tanpa fototerapi di rumah sakit berbuah manis.

 

Pengalaman ini benar-benar membuka mata saya bahwa perjuangan menyusui itu nyata buat ibu mana pun. Tak terkecuali untuk seseorang yang sehari-hari dekat dengan urusan kebidanan. Jadi kalau saya pernah gagal dan akhirnya bisa, maka ibu lain pun pasti bisa. Semangat!”

 

Mega, bidan, 24 tahun

 
Baca juga: Bidan atau Dokter Kandungan, Mana yang Dipilih Para Calon Ibu Masa Kini?

 

Drama di Bandara

“Dua bulan setelah melahirkan, saya harus pergi ke luar negeri untuk bekerja. Kesulitan enggak saya temui dalam proses memerah karena ASI saya syukurlah banyak. Hotel tempat saya menginap pun menyediakan freezer untuk menyimpan ASIP. Drama justru dimulai ketika ASIP itu saya bawa pulang. 

 

Dimasukkan ke dalam cooler bag dan dibawa sebagai bagasi kabin, ASIP saya dipermasalahkan oleh kru bandara Tiongkok saat pemeriksaan keamanan. Pasalnya, itu dinyatakan melebihi batas cairan yang bisa dibawa di kabin.

 

Saran mereka adalah ASIP saya dibuang. Marah? Sudah pasti. Ibu mana pun pasti akan menolak untuk melakukan itu. Walau ASI akan terus diproduksi, bukan berarti air susu saya bisa dengan mudahnya dibuang. Setelah melewati proses negosiasi yang cukup alot, Puji Tuhan ASIP saya diizinkan untuk dibawa dan selamat sampai tanah air.

 

Yakin deh, menyusui itu memberi kita kekuatan untuk memperjuangkan hak ASI yang patut didapatkan oleh anak kita. Menurut saya, semua orang bisa menyusui, tetapi harus diupayakan.”

 

Yovita Lesmana, Puteri Indonesia 2016

 

Baca juga: Perlengkapan Memerah ASI yang Wajib Dimiliki Ibu Bekerja

 

Nasib Ibu Menyusui di Rantau

“Saya bukan termasuk ibu beruntung yang langsung dapat pendampingan, baik dari orang tua, konselor laktasi, maupun tenaga tambahan seperti baby sitter. Karena waktu melahirkan anak pertama dulu, posisi saya di Bandar Lampung. Modal yang saya punya cuma tekad kuat buat menyusui.

 

Karena pengalaman pertama, bisa dibilang saya termasuk ibu baru yang kurang baca, kurang terpapar informasi, ditambah enggak ada konselor laktasi yang bisa ditemui di sana. Jadilah saya cuma mengikuti naluri. Ternyata dari segi pelekatan yang salah, efeknya puting jadi berdarah parah lalu darahnya terminum oleh bayi. 

 

Puncaknya, waktu saya baru selesai menyusui dan sedang menyendawakan anak saya, dia muntah darah. Walaupun saya dokter, mengalami peristiwa seperti itu pada anak sendiri, kejadiannya di pagi buta pula, tentu bikin panik. Belum lagi, enggak ada dokter anak yang mudah dihubungi seperti di ibu kota. 

 

Syukurlah ketika mencoba menelepon dokter kandungan yang menangani selama saya hamil, dia menjawab. Dia menenangkan saya dan bertanya, ‘Kamu putingnya berdarah, enggak? Kalau iya, kemungkinan besar darahnya dari puting kamu yang terminum bayi. Kamu tenang dulu. Enggak usah ke IGD sekarang, nanti pagi saja ke rumah sakitnya.” Ditenangkan seperti itu, saya memang jadi cukup tenang, terlebih melihat kondisi anaknya pun sebenarnya baik-baik saja, khas bayi kekenyangan gitu.

 

Pelajaran yang didapat dari drama menyusui saya adalah penting banget buat didampingi oleh pasangan yang mendukung perjuangan menyusui kita. Ayah ASI itu nyatanya bukan sekadar tren, tetapi diperlukan banget. ASI memang ada di badan saya sebagai ibu, tetapi buat kelancaran dan kecukupan ASI sampai usia anak 2 tahun terletak pada dukungan para suami.”

 

Meri, general practitioner, 28 tahun.

 

Baca juga: 11 Fakta Puting Payudara Wanita yang Jarang Diketahui