Tidak banyak yang tahu saat ini ibu rumah tangga menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan mengidap HIV/AIDS. Data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan dari tahun 2009 hingga 2019, terhitung ada 16.854 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS. Ini menjadi jumlah kedua terbanyak setelah tenaga non-profesional atau karyawan, yang mencapai 17.887 jiwa.

 

Meski hingga saat ini topik mengenai penyakit HIV/AIDS masih menjadi fokus dalam dunia kesehatan, tak bisa dipungkiri jika stigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih terbilang cukup tinggi di Indonesia. Timbulnya stigma tersebut tentu saja akibat dari kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit yang menyerang sistem imunitas tubuh ini.

 

Baca juga: Kenali Gejala HIV-Aids

 

Yurike Ferdinandus, Awalnya Tak Percaya Mengapa Dirinya Bisa Mengidap HIV

Seorang ibu rumah tangga, Yurike Ferdinandus atau lebih akrab disapa Yoke, hidup dengan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam tubuhnya sejak tahun 2008. Ketika diwawancarai secara eksklusif, ibu dari tiga orang anak ini bercerita mengenai awal mula dirinya diketahui terinfeksi HIV.

 

Ketika itu di bulan September 2008, sepeninggalan sang Suami, salah seorang keponakan yang kebetulan bekerja sebagai perawat di RSUD Denpasar mengajak Yoke berbicara mengenai kondisi sang Suami sebelum meninggal.

 

"Waktu itu, keponakan suami saya narik ke kamar. Terus dia bertanya, 'Tante, ini saya boleh enggak lihat hasil laboratorium Pakde?' Ya sudah dia lihat semua. Kemudian dia bilang, 'Duh kalau Tante diwarisi harta sih saya enggak masalah, tapi kalau diwarisi penyakit saya enggak mau'”, ujar Yoke.

Mendengar itu, Yoke tentu merasa kaget. Pikirnya hanya penyakit seperti diabetes atau sejenisnya. 

 

Namun, fakta justru mengungkapkan bahwa sang Suami mengidap HIV. Hal ini tentu saja membuat dirinya sebagai istri sangat berisiko dan perlu melakukan pemeriksaan sesegera mungkin.

 

Yoke akhirnya diajak menemui dokter yang merawat sang Suami. Ia pun mengetahui mengenai penyakit yang dimiliki almarhum suaminya.

 

"Dokternya bilang ke saya kalau beliau pernah tanya dan melakukan konseling dengan almarhum. Dia nanya ke suami pernah ke panti pijat atau enggak, suka minum minuman keras atau enggak, memakai narkoba atau enggak. Semua jawabannya enggak.  Lantas beliau nanya, apakah suami saya pernah berhubungan dengan perempuan lain selain ibu (Yoke)? Beliau mengiyakan, dan ketika itu tahun 2004," lanjut Yoke.

 

Tahun 2004 menjadi waktu di mana almarhum suami Yoke menjalani tugas di Bandung. Kota tersebut ia tinggali sebelum menikah.

 

Di bulan yang sama, Yoke akhirnya langsung menjalani rangkaian tes pemeriksaan HIV guna mengetahui status kesehatan dirinya. Mengingat putri ketiga Yoke masih berusia di bawah 5 tahun saat itu, dokter juga menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan pada sang Anak.

 

Meski begitu, bukan hal yang mudah bagi Yoke untuk menerima kenyataan tersebut. Dirinya bahkan mengaku sempat kabur dari rumah sakit tanpa ingin mengetahui hasil tes.

 

"Iya saya kabur, saya enggak mau lihat hasilnya dan enggak mau kembali lagi ke rumah sakit. Buat saya waktu itu, ngapain saya ke rumah sakit, toh suami saya juga meninggal akhirnya walaupun sudah dirawat di rumah sakit," ungkapnya.

Layaknya mimpi buruk, setelah mengetahui dirinya terinfeksi HIV, Yoke hanya bisa menyendiri. Ia mengaku sempat memisahkan diri dari ketiga buah hatinya, Yoga, Wisnu, dan Nyoman. Dalam momen sendirinya tersebut, Yoke berusaha merawat dirinya seorang diri tanpa pengobatan.

 

"Anak yang kecil tuh dirawat sama adiknya mertua di seberang rumah saya menyendiri. Yang pertama dan kedua juga cuma saya kasih uang. Mereka belanja dan masak sendiri. Saya cuma nengokin kalau pas malam mereka sudah tidur. Saya merawat diri saya sendiri. Kalau badan saya panas, ya sudah cuma minum paracetamol."

 

Sejak tahun 2008 hingga bulan Februari 2010, Yoke masih menyembunyikan statusnya yang mengidap HIV dari ketiga anaknya. Hingga akhirnya, Nyoman, putri ketiga Yoke, diajak oleh kerabat ipar Yoke untuk melakukan pemeriksaan, mengingat usianya masih di bawah 5 tahun dan sangat rentan terinfeksi. 

 

Keputusan untuk memeriksakan si Kecil diambil Yoke dengan perjanjian dirinya tidak ingin mengetahui apa hasilnya. Menurut Yoke, dirinya belum cukup kuat untuk mengetahui kondisi sang Anak.

 

Namun, pada akhirnya pemeriksaan Nyoman menjadi suatu awal titik terang bagi Yoke. Yoke bertemu dengan konselor Nyoman yang bisa meyakinkan dirinya juga untuk menjalani terapi pengobatan ARV.

 

"Waktu itu, konselor ini cuma nanya simpel ke saya, 'Mimpimu apa sih Yurike?' Saya bilang kalau mimpi saya ingin tua, ingin mendampingi anak-anak saya. Saya ingin lihat mereka punya anak, saya punya cucu. Terus katanya kalau memang itu mimpi saya, berarti saya harus mengambil kesempatan untuk terapi minum obat ini," kenang Yurike. Sejak saat itulah Yurike melakukan terapi pengobatan HIV menggunakan obat ARV.

 

Baca juga: Hari Aids Sedunia: Yuk, Cegah Penularan HIV Melalui Metode PPIA!