Sudah menjadi naluri seorang ibu untuk menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi anaknya, terutama soal kesehatan. Demikian pula saya. Sesudah menjalani 40 minggu masa kehamilan, yang merupakan kehamilan pertama saya, akhirnya saya diberi rahmat oleh Yang Maha Kuasa untuk dapat melahirkan buah hati ke dunia.

 

Hari-hari pertama menjadi ibu baru membawa kebahagiaan yang tak terkira untuk saya. Saya begitu menikmati setiap momen bersama bayi, dan sudah tidak sabar untuk memulai ‘petualangan’ baru dalam hidup saya.

 

Namun, kebahagiaan itu harus ‘tercemar’ di hari ketiga pasca-melahirkan. Dokter spesialis anak yang menangani bayi saya mengatakan bahwa ia kuning dan kadar bilirubinnya ada di atas batas normal. Saya tidak dapat membawa buah hati pulang. Ia harus tinggal lebih lama di rumah sakit untuk menjalani fototerapi, agar kadar bilirubinnya turun.

 

Duh, tak terlukiskan perasaan sedih yang menyergap saya kala itu. Saya sudah menyiapkan baju terbaik bagi saya dan bayi untuk pulang ke rumah. Sudah terbayang pesta penyambutan kecil yang disiapkan oleh keluarga di rumah, tetapi ternyata semuanya buyar.

Baca juga: 4 Cara Mengatasi Bayi Kuning

 

Lewat tulisan ini, saya ingin sharing mengenai pengalaman saya menghadapi fototerapi bagi bayi baru lahir yang mengalami kuning alias hiperbilirubinemia. Semoga dapat berguna bagi Mums lain yang mungkin mengalami hal serupa dengan saya!

 

Penyebab bayi baru lahir mengalami kuning

Kondisi kuning mengacu pada warna kulit, sklera mata, dan membran-membran mukosa lain yang berubah warna menjadi kuning. Di dalam dunia media, kondisi ini disebut jaundice (berasal dari kata jaunce dalam bahasa Prancis, yang artinya 'kuning'). Ini sering juga disebut icterus (berasal dari bahasa Yunani, icteros).

 

Penyebabnya adalah kadar bilirubin dalam serum yang melebihi normal, atau disebut juga hiperbilirubinemia. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, 60 persen bayi yang lahir dengan usia kehamilan lebih dari 35 minggu dapat mengalami kondisi hiperbilirubinemia ini. Bilirubin sendiri adalah hasil pemecahan sel darah merah yang akan dibuang keluar dari tubuh melalui feses atau urine, setelah sebelumnya mengalami proses metabolisme di organ hati.

 

Pada bayi baru lahir, kondisi hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya peningkatan produksi bilirubin dan penurunan ekskresi alias pengeluarannya dari tubuh. Salah satu hal yang cukup membuat saya lebih tenang adalah dokter anak yang merawat bayi saya berkata bahwa umumnya kondisi hiperbilirubinemia ini normal. Hanya 10 persen kasus saja yang bersifat patologis alias dipandang sebagai penyakit.

 

Pemberian ASI memengaruhi terjadinya kondisi kuning

Menurut keterangan di situs resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menjadi acuan saya, kondisi kuning dapat berhubungan dengan pemberian air susu ibu atau ASI. Dalam kasus saya, yang terjadi adalah breastfeeding jaundice atau BFJ.

 

Breastfeeding jaundice terjadi akibat kurangnya asupan ASI kepada bayi. Pemberian ASI akan membantu meningkatkan gerak peristaltik bayi, agar bilirubin dapat dikeluarkan dari dalam tubuh lewat feses atau urine. Breastfeeding jaundice umumnya terjadi di hari kedua hingga ketiga setelah melahirkan, dan biasanya disebabkan oleh produksi ASI yang belum adekuat.

 

Fototerapi untuk bayi kuning

Jika bayi mengalami hiperbilirubinemia, dokter akan memberi rekomendasi agar bayi menjalani fototerapi. Fototerapi dilakukan dengan menyinari bayi menggunakan sinar yang ada di gelombang biru-hijau (panjang gelombang berkisar antara 430-490 nanometer). Sinar ini akan ‘menembus’ ke dalam tubuh lewat kulit bayi. Sinar ini akan membuat bilirubin yang ada di dalam tubuh terpecah menjadi senyawa yang lebih mudah dieliminasi lewat feses atau urine.

 

Saat anak saya menjalani fototerapi, ia dibaringkan di semacam inkubator hanya menggunakan popok sekali pakai. Hal ini memang bertujuan agar semakin luas permukaan tubuh bayi yang terpapar sinar. Matanya dilindungi dengan kacamata khusus, karena sinar yang digunakan dapat berdampak buruk bagi mata bayi jika tidak dilindungi secara tepat.

Baca juga: Pahami Arti Tangisan Bayi dan Cara Mengatasinya

 

Dalam kasus anak saya, dokter memberikan fototerapi selama 2 kali 24 jam. Setelah itu, kadar bilirubin dalam darahnya akan diukur kembali. Apabila sudah turun ke batas yang disyaratkan, maka fototerapi dapat dihentikan. Syukurlah, setelah disinar selama 2 malam, kadar bilirubin anak saya turun dan dokter memperbolehkan kami untuk membawanya pulang!

 

Tetap tenang, fokuskan perhatian pada pemberian ASI

Kalau ada satu hal yang paling saya sesali dari ‘drama’ fototerapi ini adalah saya panik dan tidak mampu berpikir dengan jernih. Padahal, sebagai ibu seharusnya saya tetap tenang. Biarlah anak menginap lebih lama di rumah sakit, yang penting demi kebaikannya. Daripada memaksakan diri untuk pulang, saya rasa hal tersebut dapat berbahaya. Karena jika kadar bilirubin sudah terlampau tinggi, dapat menyebabkan bayi hilang kesadaran.

 

Fokus terutama harus diberikan pada pemberian ASI. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, pemberian ASI yang adekuat akan membantu penurunan kadar bilirubin. Pasalnya, ASI mendorong pencernaan bayi untuk mengeluarkan bilirubin lewat feses dan urine.

 

Saat anak sedang menjalani fototerapi, saya rutin pumping ASI selama 2 jam sekali. Tak peduli sedikit apapun hasilnya, saya bahagia sekali. Saat bayi sedang fototerapi, biasanya ibu hanya bisa menengoknya selama beberapa jam dalam sehari.

 

Jangan berkecil hati, Mums! Meskipun tidak bisa direct breastfeeding dengan leluasa, yakinkan diri bahwa ASI Mums akan berguna bagi si Kecil agar kadar bilirubinnya cepat turun! Oleh karena itu, singkirkan jauh-jauh rasa sedih dari diri Mums, karena stres berlebihan justru akan makin menghambat keluarnya ASI.

Baca juga: Si Kecil Mengisap Jari, Haruskah Mums Khawatir?

 

Penyesalan saya yang lainnya adalah saya kurang melakukan perlekatan atau latch on selama jam-jam pertama kelahiran bayi. Faktor kelelahan setelah melahirkan (kebetulan saya menempuh persalinan normal), dan rasa sakit pada jahitan episiotomi membuat saya lebih ingin tidur daripada intensif melakukan latch on dengan bayi.

 

Padahal, latch on berperan penting untuk menstimulasi keluarnya ASI. Tak heran ASI saya baru keluar kurang lebih 48 jam setelah melahirkan. Itu pun dengan kuantitas yang minim dan hasilnya anak saya mengalami breastfeeding jaundice.

 

Mums, demikianlah pengalaman saya dalam mendampingi bayi fototerapi akibat kondisi kuning yang dialaminya. Seperti yang sudah saya paparkan, kuncinya adalah tetap tenang. Fokuskan saja diri Mums untuk memberikan yang terbaik bagi bayi, salah satunya lewat pemberian ASI. Kepanikan hanya akan menimbulkan masalah baru yang tidak perlu! Saya harap sharing ini dapat berguna bagi Mums lain, yang mungkin sedang menghadapi kondisi serupa. Salam sehat!