Awalnya saya tidak pernah sadar kalau ada benjolan kecil di leher sebesar kelereng. Benar-benar seperti kelereng, dan yakin itu berada di bawah kulit. Setelah itu, saya browsing dan baca-baca tentang benjolan di area tersebut. Apalagi waktu itu saya juga sedang hamil anak pertama dan usia kandungan sudah masuk 6 bulan. Khawatir ya pasti, karena itu kali pertama terjadi dan lagi hamil pula.

 

Saya dan suami menunggu 1 minggu untuk melihat apakah benjolan itu akan hilang dengan sendirinya atau tetap ada. Dan ternyata, itu tetap ada sampai saya terus memikirkannya dan menangis semalaman. Suami menenangkan sih, tetapi bagaimanapun tetap saja khawatir.

 

Besok paginya saya dan suami sama-sama izin kerja untuk ke RS Umum Daerah. Kita menggunakan jalur umum saja biar lebih cepat penanganannya dan memilih ke Poli THT. Saya berpikir positif kalau semua akan baik-baik aja.

 

Awalnya, saya hanya mau berkonsultasi dan menanyakan ini benjolan apa, kenapa ada di sini, dan harus bagaimana. Kenapa memilih ke dokter THT karena kita berpikir letak benjolannya di leher bagian dalam. Jadi tidak berpikiran untuk pergi ke poli lain.

Baca juga: Inilah Perbedaan Antara Kista dan Tumor

 

Setelah antre di dokter THT, saya berkonsultasi kepada perawat jaga. Saat ditanya keluhannya, ia langsung memindahkan berkas saya ke Poli Bedah. Kaget, dong. Saya bertanya dan ingin menangis lagi, kenapa saya dirujuk ke Poli Bedah? Ada apa? Apa seberbahaya itu?

 

Selama itu, saya tidak bilang kepada perawat kalau sedang hamil 6 bulan. Ia sepertinya tidak sadar, karena kehamilan saya tidak terlalu kelihatan. Jadi, saya diamkan saja. Sambil mengantar saya ke Poli Bedah, perawat tidak menenangkan saya, sehingga saya agak panik. Ia hanya menjelaskan tentang banyak hal dan prosedur operasi yang berat, yang terus terang membuat saya semakin tidak mengerti.

 

Sampai di Poli Bedah, saya dan suami bertemu dengan dokter bedah. Ia langsung memeriksa benjolan di leher saya dan menanyakan keluhan saya. Saya pun berusaha menjelaskan kondisi saya yang sedang hamil. Saya berharap itu cuma benjolan biasa, yang akan hilang sendiri.

 

Namun sejak hari itu, rasanya cara saya melihat dunia berbeda. Saya merasa down hampir 2 minggu, mood swing, dan menangis setiap teringat apa yang dokter katakan. Ia mengatakan kalau itu struma (kelenjar gondok yang bengkak). Ini bisa karena perubahan hormon selama hamil atau memang ada masalah.

 

Dokter bedah mulai menjelaskan hanya kepada suami saya di ruangannya, sementara saya berada di ruang periksa. Sekilas saya mendengar tentang biopsi, USG massa, pemeriksaan panjang, dan lain sebagainya. Saya down, diam, dan menatap dalam mata suami. Ia menguatkan saya dan berkata, "Insya Allah ada obatnya."

 

 

Saya bertemu dengan dokter dan ia menjelaskan jika pengobatan dilakukan secara medis tentu tidak bisa, karena akan berpengaruh pada janin. Pilihanya hanya diobati tetapi harus diluruhkan atau ditunggu sampai melahirkan dengan risiko yang tidak bisa diprediksi.

 

Kita pulang dan saya menangis sendiri. Saya bingung harus bagaimana. Baru 2 minggu lalu kita USG kehamilan dan tahu calon buah hati kita laki-laki. Ia pun bergerak aktif di dalam kandungan. Dan hari ini, tiba-tiba dokter bedah menjelaskan demikian. Gelap rasanya dunia di mata saya.

 

Di satu sisi, saya ingin diobati karena struma mulai tumbuh dan membesar. Namun di sisi lain, saya mau si Kecil tetap dilahirkan karena ini putra pertama kita. Dua minggu saya mengatur dunia dan jalan pikiran, untuk memutuskan hal dengan risiko apapun.

 

Saya memilih putra kita dan saya yakin ia anak yang kuat. Tak apa saya berjuang menghadapi struma di sisa 3 bulan terakhir kehamilan dengan segala risikonya. Saya tetap menjalani hari seperti biasa, meski ada sensasi aneh di leher.

 

Saya tetap USG dan menyembunyikan struma itu dari dokter kandungan. Semua berjalan normal setiap pemeriksaan demi pemeriksaan terkait kandungan. Maha besar Allah dengan segala kekuasaan-Nya.

 

Benjolan itu terus tumbuh seiring dengan usia kehamilan. Saya pun tahu risiko apa yang dihadapi dengan struma di leher saya. Tiga bulan kemudian, saya melahirkan secara normal dengan bantuan bidan desa. Putra saya sehat, sempurna, dan kuat.

Baca juga: Mengenal Bahaya Penyakit Gondok

 

Benjolanku masih ada, dan risiko kelahiran normal dengan struma adalah kelelahan (kehabisan napas) karena ada sekat antara struma dan jalur napas. Ada pula risiko kelainan janin dan lain-lain, tetapi saya abaikan. Saya yakin bisa menang dengan putra saya, meski harus bertaruh nyawa. Tak ada yang akan saya sesali untuk berjuang demi putra saya, kehidupan, dan harapan baru keluarga. Tugas saya sebagai ibu untuk diberi amanah menjaga si Kecil apapun taruhannya. 

 

Setelah putra saya lahir, berbagai keluhan terkait struma satu persatu muncul. Saya bertekad kuat untuk sembuh, untuk memastikan putra saya tak kehilangan kasih seorang ibu. Saya menunggu 2 bulan dan mencari second opinion. 

 

Saya pindah rumah sakit untuk pemeriksaan selanjutnya. Saya dan suami memutuskan datang ke salah satu rumah sakit swasta daerah. Di sana, kita diarahkan untuk ke Poli Penyakit Dalam. Pemeriksaan selanjutnya menunjukan semua hormon normal dan tidak ada yang harus diobati. Dokter terheran-heran mendengar cerita saya hamil 6 bulan dengan struma, kondisi janin baik-baik saja, dan proses kelahiran normal. Hanya Allah yang maha berkuasa dan berkehendak.  

 

Tidak ada yang bisa diobati. Itu berarti benjolannya harus diangkat  melalui operasi. Hari itu juga, saya pindah ke Poli Bedah. Saya diminta untuk melakukan pemeriksaan hormonal ulang dan menjadwalkan pembedahan. Kaget karena tidak terbayang pertemuan kedua di Poli Bedah langsung dijadwalkan operasi.

 

Kita disuruh pulang dan diminta mempersiapkan diri jika dipanggil sewaktu-waktu untuk operasi pengangkatan struma. Telepon itu datang berdering setelah salat maghrib. Saya harus segera masuk ruang rawat inap di rumah sakit tersebut untuk operasi keesokan harinya.

 

Meninggalkan putra saya di usianya yang masih 2 bulan membuat saya terharu. Saya pamit kepadanya, menciumnya, dan berjanji kembali dengan keadan yang lebih baik. Entahlah janji tersebut pasti akan ditepati atau itu jadi waktu terakhir saya menatapnya.

 

Saya menangis selama perjalanan ke rumah sakit dan terus terdiam ketika akhirnya berbaring di tempat tidur rumah sakit. Saya terbayang wajah putra mungil saya yang biasanya tidur disamping saya. Bagaimana tidurnya malam ini? Apa ia menangis? Apa ia sama tidak tenangnya seperti saya? Saya pun memantapkan hati dan niat untuk sembuh demi dirinya.

 

Keesokan paginya, jadwal operasi saya mundur sampai di sesi ke-3. Sekitar pukul 15.00 sore, saya baru masuk ke ruang operasi. Perasaan saya tak menentu dan keluar dalam kondisi setengah sadar. Saya melihat baik-baik wajah penuh cemas abah, suami, dan kerabat lain.

 

Namun, yang paling saya perhatikan adalah suami. Wajahnya yang teduh dan hatinya yang penyabar membuat saya kuat. Saya beruntung dikelilingi orang-orang hebat. Tiga hari kemudian, saya sudah boleh pulang, dengan catatan pemeriksaan lanjutan dan sampel struma akan diperiksa di laboratorium deteksi kanker. Saya harus menunggu 2 minggu kemudian untuk mengetahui hasilnya dan memeriksa bekas operasi di leher. Saya pun dinyatakan bebas kanker!

 

Saya berjuang karena yakin akan ada jalan dalam setiap usaha. Jangan berhenti dan lelah meski ada di titik terendah. Mulai ubah mindset saat menghadapi sesuatu. Saya bisa memastikan semua baik-baik saja selama Geng Sehat yakin. Kamu masih punya tuhan dalam berkehendak. 

 

Saya bisa dan berusaha. Saya menang dalam proses dan putra saya menang dalam awal kehidupannya. Kita memberi nama putra kita Faaza Fauzan Adziima, yang berarti 'menang dalam kemenangan yang agung'. Kini, usianya memasuki 1,5 tahun. Itu berarti saya berjuang sekitar setahun yang lalu.

Baca juga: Payudara Kamu Normal atau Tidak, Ya?