Kendala Penanggulangan Penyakit Langka di Indonesia 

Berdasarkan hasil data dari IMERI, saat ini baru sekitar 120 pasien penyakit langka yang masih hidup dan terdiagnosis secara resmi di RSCM. Dari 120 tersebut, 5 kasus terbanyak adalah MPS (33 anak), glycogen storage disease (10 anak), x-linked adrenoleukodystrophy (11 anak), Niemann-Pick disease (7 anak), dan Gaucher disease (8 anak).

Menurut dr. Damayanti Rusli Sjarif SpA(K), sedikitnya diagnosis dan ketersediaan obat masih menjadi tantangan utama dalam penanganan penyakit langka di Indonesia. Secara lengkap, beliau menjelaskan tentang hal-hal yang masih menjadi masalah terkait penanggualangan penyakit langka di Indonesia:

 

Kemampuan untuk Mendiagnosis 

Saat ini, akses di Indonesia masih kurang untuk mendapatkan diagnosis yang benar. Bahkan, 40% dari penderita penyakit langka mengalami salah diagnosis setidaknya sekali. Tidak hanya itu, fasilitas screening juga belum tersedia di Indonesia. 

“Masalahnya negara kita tidak punya diagnosis. Pemeriksaan awal screening juga belum ada di Indonesia, jadi biasanya kita kirim ke luar negeri,” kata dr. Damayanti, saat ditemui di acara Rare Disease Day 2018 pada 28 Februari lalu. Ia mengatakan, untuk diagnosis resmi, anak penderita penyakit langka harus dikirim ke laboratorium diagnostic di Belanda, Australia, Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Amerika Serikat atau Jerman.

Menurut dr. Damayanti, sebenarnya beberapa dokter di Indonesia bisa melakukan screening dan diagnosis. Namun, fasilitasnya masih belum tersedia. Saat ini, di IMERI sudah didirikan laboratorium, namun karena baru mulai maka masih belum maksimal.

 

Keterbatasan dan Tingginya Biaya Obat serta Pengobatan 

Selain kurangnya akses untuk diagnosis, penyediaan obat dan pengobatan juga masih kurang. Obat utama dari penyakit langka adalah berupa susu yang disebut orphan products. Susu tersebut mengandung bahan-bahan yang disesuaikan dengan kebutuhan kondisi penderita penyakit langka sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup. 

“Kita gak punya pabrik susu seperti di Jepang, jadi mesti impor. Nah tentu kalo impor kan harganya bertambah mahal,” kata dr. Damayanti. Untuk kisaran biayanya, orang tua harus menyiapkan uang sekitar 7.5 juta setiap bulan untuk membeli susu tersebut. Sedangkan, kebanyakan penduduk Indonesia tidak mampu membayar biaya tersebut. 

“Makanya, kita inginkan, tolong masukkanlah susu ini ke bawah BPJS. Toh anak-anak ini jumlahnya tidak banyak seperti penderita penyakit lainnya. Tetapi buat mereka susu ini adalah hidup mereka. Susu ini bukan makanan namun obat,” jelas dr. Damayanti.

Ia mengatakan, di negara tetangga lainnya, sudah ada kemajuan dalam hal penyediaan susu. Di Malaysia misalnya, semua susu dan obat-obatan di rumah sakit pemerintah dibayar oleh pemerintah. Di Vietnam, pemerintahnya bekerja sama dengan perusahaan untuk menekan harga sehingga bisa dicover oleh pemerintah. Di Taiwan dan Jepang, seluruhnya dibayar oleh pemerintahnya. 

Di sisi lain, dr. Damayanti mengatakan bahwa di Indonesia sudah tersedia terapi sulih enzim, yang merupakan pengobatan untuk penyakit langka. Namun, harganya juga sangat mahal. Untuk terapi sulih enzim, dibutuhkan biaya 3 miliar setiap 6 bulan untuk setiap anak.

 

Baca juga: Deteksi Kelainan Genetik Anak

 

Meskipun pada umumnya penanggulangan penyakit langka di Indonesia masih harus ditingkatkan, dr. Damayanti mengatakan, sudah ada kemajuan yang yang dilakukan pemerintah. Salah satu kendala utama impor susu orphan adalah biaya bea cukai yang membuatnya semakin mahal dan proses penahanannya yang mahal. Namun, sehak tahun 2018, pemerintah mengubah regulasi agar setiap susu orphan yang masuk ke Indonesia bebas bea cukai dan bisa langsung masuk.

Selain itu, untuk fasilitas pengobatan terapi sulih enzim juga sudah diringankan. Dahulu, fasilitasnya masih harus menerima pajak sekitar 17.5%. Namun, berbagai macam pihak sudah bekerja sama dengan bea cukai, BPOM, dan Kemenkes, sehingga saat ini sudah bebas pajak, Yang dahulu biayanya sekitar 7 miliar, sekarang sudah ditekan menjadi 3 miliar.

Jadi, pada umumnya, pemerintah sudah mulai melakukan upaya peningkatan penanggulangan penyakit langka. Namun, tentu saja masih banyak yang harus ditingkatkan supaya beban anak-anak penderita penyakit langka bersama keluarga bisa berkurang. (UH/AS)