Munculnya jeda atau henti sejenak ketika bernapas selama tidur merupakan hal yang normal terjadi. Namun bila napas sering terhenti atau dalam waktu yang cukup lama, maka kondisi ini dikenal dengan nama sleep apnea atau apnea tidur. Ketika seseorang mengalami sleep apnea, kadar oksigen dalam tubuh akan berkurang dan menyebabkan tidur jadi terganggu, bahkan menimbulkan dampak lebih fatal lagi.

 

Apa yang Terjadi?

Umumnya, masalah tidur ini terjadi pada orang tua. Kendati demikian, anak-anak dan remaja juga bisa mengalaminya. Sleep apnea biasanya disebabkan oleh adanya hambatan atau sumbatan di saluran pernapasan atas. Hal tersebut dikenal sebagai obstructive sleep apnea (OSA). 

 

OSA merupakan kondisi serius yang kerap mengganggu tidur anak dan membuatnya mudah jatuh sakit. Jika tidak ditangani secara tepat, maka OSA akan menimbulkan masalah dalam penyerapan pelajaran, perilaku, pertumbuhan, serta masalah jantung. Dalam kasus yang langka, masalah tidur ini bahkan dapat mengancam nyawa!

Baca juga: Melatih Si Kecil Tidur Sendiri
 

Apa Penyebabnya?

Ketika si Kecil tidur, seluruh otot-otot pada tubuhnya akan merasa rileks. Salah satunya adalah otot di bagian belakang tenggorokan, yang membantu jalur pernapasan tetap terbuka. Saat mengalami OSA, otot-otot tersebut bisa saja terlalu rileks dan menutup jalur pernapasan, sehingga ia jadi sulit bernapas. Ini khususnya terjadi pada orang-orang yang mengalami pembesaran tonsil (amandel) atau adenoid (jaringan di belakang rongga hidung yang berfungsi melawan kuman), sehingga dapat menutup jalur napas selama tidur. Dan faktanya, amandel dan adenoid yang membesar adalah penyebab paling umum OSA pada anak-anak.

 

Faktor-faktor risiko OSA antara lain:

  • Ada riwayat keluarga yang mengalami OSA.
  • Memiliki berat badan berlebih.
  • Riwayat kesehatan, seperti down syndrome atau cerebral palsy.
  • Kelainan struktur mulut, rahang, atau tenggorokan.
  • Ukuran lingkar leher yang besar, 43 cm atau lebih pada pria dan 40 cm atau lebih pada wanita.
  • Ukuran lidah yang besar.

 

Sleep apnea juga dapat terjadi ketika seseorang tidak mendapatkan cukup oksigen selama tidur, sebab otak tidak mengirimkan sinyal pada otot-otot yang mengontrol pernapasan. Kondisi ini disebut juga dengan central sleep apnea. Selain itu, cedera kepala dan kondisi tertentu yang memengaruhi kerja otak meningkatkan risiko apnea jenis ini, terutama pada orang-orang dewasa.

Baca juga: Waktu Tidur yang Dibutuhkan Sesuai Usia Anak

 

Apa Tanda dan Gejalanya?

Ketika napas berhenti, kadar oksigen dalam tubuh menurun. Ini biasanya memicu otak untuk membuat tubuh terjaga, supaya jalur napas kembali terbuka. Kejadian tersebut kebanyakan berlangsung dengan cepat, sehingga penderitanya akan kembali terlelap tanpa tahu kalau ia terbangun. Pola tidur ini akan terus terjadi sepanjang malam. Alhasil, penderita sleep apnea tidak mendapatkan tidur yang berkualitas.

 

Dilansir melalui kidshealth.org, pada anak-anak tanda OSA adalah:

  • Mendengkur, dan terkadang diasosiasikan dengan jeda napas sejenak, mendengus, atau terkesiap.
  • Napas terasa berat saat terlelap.
  • Posisi tidur aneh dan tidur tidak nyenyak.
  • Mengompol, terutama jika anak sebelumnya tidak lagi mengompol.
  • Mengantuk sepanjang hari atau mengalami masalah perilaku.

 

Karena OSA membuat anak tidur tidak nyenyak, maka ia akan:

  • Kesulitan bangun di pagi hari.
  • Kelihatan lelah sepanjang hari.
  • Sulit fokus dan lain-lain.

 

Sleep apnea pun bisa memengaruhi performa si Kecil di sekolah. Dan tidak jarang, orang lain akan mengira ia mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau masalah belajar.

 

 

Bagaimana Mendiagnosis Sleep Apnea?

Jika si Kecil sering mendengkur, tidurnya tidak berkualitas, mengantuk sepanjang hari, atau mengalami tanda-tanda sleep apnea lain, maka segeralah konsultasikan kepada dokter. Dokter kemungkinan akan merujuk si Kecil ke spesialis tidur atau merekomendasikan sleep study. Selama sleep study dengan menggunakan alat polisomnogram, dokter akan mengecek kemungkinan OSA dan merekam fungsi tubuh ketika si Kecil tertidur. Sleep study juga akan membantu dokter mendiagnosis central sleep apnea atau masalah tidur yang lain.

 

Sensor akan ditempelkan di beberapa bagian tubuh si Kecil menggunakan perekat atau selotip. Sensor tersebut akan terhubung dengan komputer, untuk memberikan informasi selama ia terlelap. Sleep study tidak sakit dan tidak berisiko, tetapi biasanya pasien perlu menginap di rumah sakit atau sleep center.

 

Selama sleep study, dokter akan memonitor:

  1. Pergerakan mata.
  2. Detak jantung.
  3. Pola napas.
  4. Gelombang otak.
  5. Kadar oksigen dalam darah.
  6. Dengkuran dan suara-suara lain.
  7. Pergerakan tubuh dan posisi tidur.
Baca juga: Tips Tidur Nyenyak untuk Ibu Hamil 
 

Tangani dengan Tepat

Jika pembesaran amandel atau adenoid menjadi penyebab sleep apnea, dokter akan merujuk si Kecil ke dokter THT. Dokter THT kemungkinan akan merekomendasikan untuk melakukan operasi pengangkatan amandel dan adenoid. Ini umumnya cukup efektif dalam menangani OSA. Jika penyebabnya bukan kerena itu atau OSA tetap terjadi meski si Kecil sudah dioperasi, dokter akan merekomendasikan terapi continuous positive airway pressure (CPAP). Terapi ini dilakukan dengan cara memakaikan si Kecil masker yang menutupi hidung dan mulut selama ia tidur. Masker akan dihubungkan dengan mesin yang memompa udara secara terus-menerus, untuk membuka jalur napas.

 

Apabila berat badan berlebih menjadi faktor penyebab OSA, dokter akan meminta si Kecil mengubah pola diet dan berolahraga. Dalam kasus yang ringan, dokter akan memonitor si Kecil untuk melihat apakah gejala-gejala sleep apnea meningkat sebelum memutuskan penanganan apa yang tepat baginya.

 

Itulah yang perlu Mums ketahui tentang sleep apnea. Apabila tanda-tandanya terlihat pada si Kecil, segeralah menghubungi dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat. (AS/AY)