Tak perlu dipertanyakan, semua orang tua tentu ingin melakukan dan memberikan pengasuhan yang bahagia dan sehat untuk buah hatinya. Namun tak bisa dimungkiri, orang tua tetaplah manusia. Terkadang, mereka ingin melakukan yang terbaik, tetapi ternyata tanpa disadari itu bukanlah hal yang tepat dan malah berpotensi melukai hati anak-anak. 

 

Beririsan dengan tujuan mulia tersebut, terjadi sistem pola asuh yang justru dapat mengganggu mental anak hingga disebut sebagai toxic parenting. Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix pada 212 responden ibu berusia 20-35 tahun, 83% di antaranya mengetahui apa itu toxic parenting. Namun, apakah itu berarti mencegah terjadinya toxic parenting? Berikut hasilnya.

 

Apakah Saya Orang Tua yang Toksik? Cara Mengenali Toxic Parenting

Toxic parenting datang dari perilaku yang dilakukan oleh toxic parents. Istilah orang tua yang toksik atau toxic parents tidak hanya berlaku untuk orang tua yang berperilaku buruk, seperti melakukan kekerasan fisik atau verbal.

 

Menjadi orang tua yang bisa meracuni kondisi psikologis anak, sehingga terjadi kekerasan psikis, juga termasuk ke dalam kategori orang tua yang toksik. Definisi tersebut diutarakan oleh Psikolog Klinis sekaligus Dosen Psikologi Islam IAIN Kediri, Tatik Imadatus Sa’adati, M. Psi., Psikolog, saat diwawancarai oleh Teman Bumil. 

 

Pemahaman tentang toxic parenting juga tercermin dari hasil survei. Hampir semua responden atau sekitar 90% ibu, tahu tentang toxic parenting. Mereka mengatakan perilaku egoisme orang tua, serta kekerasan verbal dan fisik merupakan contoh dari toxic parenting

 

Ada beberapa ciri-ciri khas yang biasa ditemukan pada pola asuh yang toksik, seperti:

  • Membicarakan keburukan anak, terutama di depan anak.
  • Egois, dengan selalu mengukur sesuatu berdasarkan perasaan orang tua. Perasaan orang tua adalah tolok ukurnya.
  • Bertindak kasar pada anak. Melakukan kekerasan fisik seperti memukul, mencubit, dan lain-lain menjadi kriteria yang paling mudah terlihat dan dikenali untuk dikategorikan sebagai toxic parenting. 
  • Menagih balas budi.
  • Mengejek, baik fisik maupun sifat anak.

 

Baca juga: Kylie Jenner Hamil Anak Kedua, Cari Tahu Bedanya Kehamilan Pertama dan Kedua

 

Penyebab dan Efek Toxic Parenting

Pertanyaan “Kenapa seseorang bisa menjadi orang tua toksik untuk anak-anaknya?” pasti muncul. Dalam ilmu neuropsikologi, satu faktor yang paling berpengaruh adalah bagaimana pola asuh orang tua kita sebelumnya.

 

“Seseorang yang dibesarkan oleh orang tua yang toksik, kebanyakan akan menjadi orang tua yang toksik pula untuk anaknya. Pasalnya, tubuh menyimpan luka emosional dan fisik. Semua hal dan informasi yang dirasakan dan dialami saat kecil melalui panca indra, akan terekam di dalam sel-sel otak dan tubuh. Di saat terjadi sesuatu terhadap kita, maka akan dikelola oleh persepsi di otak dan disimpan di dalam memori sel dan otak. Trauma dan kesedihan masa lalu itu lalu dapat tinggal di dalam diri kita untuk waktu yang lama dan ketika ada trigger tertentu, dapat kembali timbul ke permukaan. Akhirnya, akan cenderung mengulangi pola perasaan yang sudah dikenal, tidak peduli seberapa menyakitkan dan merugikannya itu untuk diri sendiri,” jelas Tatik.

 

Dengan kata lain, anak-anak dari orang tua yang toksik mencoba untuk menghidupkan kembali pengalaman lama mereka yang menyakitkan, dalam hubungan dewasa lainnya.  Tertinggal “goresan” abadi pola asuh yang salah dan pengaruhnya akan bertahan lama terhadap perilaku. Dari sini sudah terlihat, bahwa kerusakan ganda akan terjadi. Tumbuh dalam keluarga yang disfungsional dapat menyebabkan masa dewasa yang sama disfungsionalnya. 

 

Efek lain dari pola asuh yang toksik antara lain:

  • Mengalami kesulitan untuk mengatakan tidak karena terbiasa batasan tidak dihormati.
  • Menjadi lebih rentan untuk mengembangkan gangguan kecemasan.
  • Bekerja keras untuk menyenangkan orang lain agar diterima.
  • Mengalami kesulitan untuk menjadi diri sendiri.
  • Memiliki toleransi yang tinggi terhadap perlakuan buruk dari orang lain.
  • Memiliki perasaan bersalah dan malu yang melumpuhkan. Hal ini sebagian besar karena perilaku toksik orang tua yang berulang membuat si Kecil terbebani dan harus bertanggung jawab atas perasaan orang tuanya.
  • Memiliki harga diri yang rendah.
  • Anak-anak dari orang tua yang kasar juga cenderung menjadi pelaku kekerasan bagi diri mereka sendiri dan menjadi pelaku kekerasan terhadap orang lain di kemudian hari.

 

Baca juga: Postpartum Depression pada Ibu Setelah Melahirkan

 

 

Cara Mencegah dan Memutus Siklus Toxic Parenting

Hasil survei menunjukkan bahwa 57% responden merasa dirinya adalah orang tua yang tegas, tetapi penyayang. Hal tersebut paling banyak ditunjukkan dengan memberikan pelukan dan ciuman kepada si Kecil. 

 

Nah, ada fakta unik dari toxic parenting yang ditemukan oleh para ahli psikologi. Orang tua yang beracun datang dalam berbagai bentuk. Beberapa sangat jelas terlihat, sementara beberapa melakukannya dengan cara yang implisit dan lebih halus. Namun, semuanya sama: bersifat destruktif. 

 

“Bahkan toxic parents terkadang bisa penuh kasih, hangat, atau mengasuh. Mereka bersungguh-sungguh mencintai anaknya. Tetapi ingat, cinta melibatkan lebih dari sekadar perasaan yang diungkapkan. Cinta sejati terhadap anak-anak juga merupakan cara berperilaku,” papar Tatik. 

 

Oleh karena itu, Tatik memberikan beberapa langkah yang bisa orang tua lakukan untuk mencegah atau memutus pola asuh beracun, antara lain:

 

Jika orang tua sudah telanjur kehilangan kesabaran dan melakukan kesalahan, misalnya mengeluarkan kata cacian, mau tidak mau orang tua harus meminta maaf dulu kepada anak. Selanjutnya, bicarakan dengan bahasa yang dipahami anak. Ingatkan anak bahwa ibunya sangat mencintainya dan jelaskan kepadanya mengapa ibunya kehilangan kesabaran. Penting untuk menjelaskan bahwa situasi itu terjadi bukan karena si Kecil anak yang nakal.

 

  • Menurunkan ekspektasi

Ketika memiliki ekspektasi yang tinggi dan hal yang diinginkan tidak bisa terwujud, seseorang akan cepat lelah, lalu menjadi toxic parent. Meluangkan waktu untuk me-time adalah salah satu wujud seorang ibu dapat menurunkan ekspektasinya karena ia menerima bahwa kondisinya bisa lelah dan butuh waktu untuk re-charge dirinya sendiri.

 

  • Mengelola stres

Dengan ekspektasi yang disesuaikan dengan kondisi, maka seorang ibu akan lebih mudah untuk mengelola pikirannya, yang dapat menjadi sumber stresnya. 

 

  • Bangun komunikasi efektif dengan suami

Berdasarkan survei, 68% responden mengakui bahwa pasangan yang sibuk sendiri sering menjadi pemicu konflik saat mengasuh si Kecil. Para ibu menyadari bahwa kurangnya istirahat dan bantuan suami untuk mengurus tugas rumah tangga menjadi dua faktor yang memengaruhi suasana hati ketika mengasuh anak.

 

Dari sini semua responden setuju bahwa suami berperan penting dalam kewarasan Istri. Ingat, komunikasi akan efektif jika kedua pihak mendinginkan pikiran terlebih dahulu dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.

 

Yang penting dipahami, perilaku beracun orang tua bukanlah kesalahan atau tanggung jawab anak. Jika lingkaran toxic parenting datang dari pola asuh orang tua di masa kecil, siapa pun masih mungkin untuk mengubah dan memutusnya.

 

Ada dua cara agar sejarah toxic parenting dapat memberikan pengaruh. Yang pertama adalah mengulangi apa yang telah dialami. Yang kedua adalah menjadi pendorong untuk melawannya dan melakukan pola asuh dengan cara yang sama sekali berbeda. Yang penting adalah komitmen untuk memutus siklus toxic parenting tersebut. (AS)

 

 Baca juga:  Duh, Kok Anak Masih Suka Ngompol?

 

Referensi

Wawancara dengan Tatik Imadatus Sa’adati, M. Psi., Psikolog

Survei kualitatif dengan responden Teman Bumil