Berawal dari Benjolan Kecil

Masih membekas di benakku, yaitu pada Januari 2017, wajahmu tidak lagi dapat kusentuh sembarangan. Kamu terbaring lemah, tetapi Kamu tidak menangis. Kala itu usiamu baru 1 tahun 4 bulan. Usia yang sangat muda untuk merasakan semua ini.

 

Oh anakku, andai saja mama dapat menggantikan posisimu kala itu. Kamu tak perlu menahan derita akibat alat-alat medis yang terpasang di tubuhmu. Hari demi hari, Kamu lewati dengan tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal tubuhmu semakin mungil, karena tidak lagi mampu mengonsumsi makanan.

 

Anakku, Caroline Christabelle Hasan atau yang terkenal dengan nama Fang Fang, menderita neuroblastoma saat usianya masih 1 tahun 3 bulan. Hari itu, di penghujung tahun seperti saat ini, adalah masa-masa yang tidak akan pernah kulupakan.

 

Aku tengah mengandung 3 bulan, saat Fang Fang berjuang melawan sakitnya. Sejak November 2016 hingga akhir Desember, dokter sendiri pun belum dapat memastikan penyakit Fang Fang. Yang kami tahu, aku, suami, dan ibuku, Fang Fang hanyalah digigit serangga.

 

Di wajahnya terdapat sebuah benjolan kecil kemerahan. Namun setelah beberapa hari kuberikan minyak sebagai pengobatan, ternyata benjolan itu tak kunjung hilang. Justru semakin besar dan membuatku khawatir.

 

Tidak ingin mengamibil risiko, saat itu juga kubawa Fang Fang menemui dokter di RSCM. Letak rumah sakit itu tidak begitu jauh dengan rumah kami. Selain itu, kami dapat menggunakan kartu BPJS Kesehatan di sana. Setelah diperiksa, Fang Fang didiagnosis terserang virus.

 

Dokter mengatakan, Fang Fang perlu melakukan beberapa tes untuk mengetahui jenis penyakitnya secara spesifik. Mendengar hal itu, hatiku benar-benar khawatir. Benjolan kecil yang berada tepat di area mata sebelah kirinya kian membesar dan mengeras. Tidak mungkin hanya virus, pikirku.

 

Sejak hari itu, hari-hariku terasa berat. Banyak sekali pikiran yang menggangguku, mulai dari kondisi Fang Fang, kondisi kehamilanku, hingga pikiran-pikiran buruk tentang Fang Fang. Dokter menyarankan untuk melakukan rawat inap, karena kondisi Fang Fang yang kian memburuk.

 

Pasalnya, benjolan di matanya kian membesar bahkan mengeras. Selama perawatan, kuputuskan untuk tidak menemani Fang Fang di rumah sakit. Suamiku yang awalnya bekerja pun akhirnya meminta izin pada atasan untuk merawat Fang Fang.

 

Selama di rumah, untuk mengobati rasa khawatir dan kangenku pada Fang Fang, aku pun menceritakan semuanya melalui media sosialku. Awalnya, aku tidak bermaksud untuk meminta bantuan dana, tetapi hanya ingin berkeluh-kesah ketika suami dan ibuku tidak ada di rumah. Namun, kenyataannya foto Fang Fang menjadi viral dan banyak sekali bantuan dana yang kami terima. Bahkan, ada yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia.

 

Kurang lebih sebulan berlalu, kondisi Fang Fang belum juga membaik. Aku menguatkan hati untuk bertemu dengannya. Kangen, satu kata itu yang seakan mendorongku. Meskipun hatiku belum siap untuk melihat kenyataan, aku mencoba kuat di hadapannya.

 

Aku tidak akan menangis, karena aku sadar tangisanku justru akan membuatnya semakin lemah. Saat bertemu, yang pertama kulihat adalah benjolan itu kian besar, bahkan seperti menjalar ke bagian wajah yang lainnya. Saat itu, hatiku pun hancur.

 

Sungguh tak kuasa melihat anakku yang kulahirkan dengan sempurna, kini terbaring lemah dengan alat-alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, ketika aku melihatnya tersenyum dan tidak menangis, air mataku pun tak dapat kubendung lagi.

 

Fang Fang disaat kritis 

 

Tak menunggu lama, aku segera berlari menghampiri perawat dan dokter jaga di rumah sakit itu. Aku meminta penjelasan mereka tentang penyakit Fang Fang. Virus apakah yang menginfeksi Fang Fang dan apa dampaknya di kemudian hari. Namun, lagi-lagi aku tidak mendapatkan apa yang kucari.

 

Saat itu kebetulan hanya ada dokter praktik dari universitas yang berjaga di sana. Mereka tidak dapat menjelaskan lebih lanjut, karena tidak ada wewenang untuk melakukannya. Rasanya sudah cukup aku menunggu penjelasan selama sebulan dan sangat sabar melihat anakku terbaring lemah dengan jarum suntik di tubuhnya. Akhirnya dengan dana yang kami miliki, aku pun memberanikan diri untuk memutuskan agar Fang Fang mendapat perawatan dokter di Malaysia.

 

Tepat di pertengahan Januari 2017, aku membawa Fang Fang ke salah satu rumah sakit di Malaysia. Aku merasakan perbedaan yang sangat signifikan dengan perawatan yang Fang Fang dapatkan di Indonesia. Menurut perawat dan para dokter di sana, kondisi Fang Fang sudah sangat kritis.

 

Namun, mengapa aku tidak merasakannya? Sungguh anak ini benar-benar kuat, pikirku. Selama ini yang kulihat, Fang Fang masih tetap tersenyum bahkan sempat melambaikan tangan saat ingin naik pesawat menuju Malaysia.

 

Dokter-dokter di sana begitu sigap. Fang Fang segera dilarikan menuju ruang tindakan dan diberikan obat dengan dosis tinggi. Intinya yang kulihat, mereka mengupayakan kesembuhan Fang Fang. Selama tindakan itu pun yang dapat kulakukan hanya berdoa.

 

Tiada lagi yang kumohon selain kesembuhan Fang Fang. Besar harapanku pada dokter kala itu, tetapi keberuntungan memang sedang tidak berpihak padaku. Fang Fang dipanggil Tuhan setelah dokter berupaya untuk kesembuhannya. Tangisanku pun menjadi-jadi. Satu-satunya anak perempuanku telah berpulang ke sisi-Nya.

 

Fang Fang saat meninggal 

 

Baca juga: ASI juga Dapat Mengobati Kanker Pada Anak, lho!