Setiap 3 menit, 1 anak balita di Indonesia meninggal dunia. Dan setiap jam, 1 wanita meninggal dunia ketika melahirkan atau karena masalah selama kehamilan. Peningkatan kesehatan ibu di Indonesia, yang merupakan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) kelima, berjalan lambat dalam beberapa tahun terakhir.

 

Rasio kematian ibu tetap tinggi, yang diperkirakan sekitar 228 per 100.000 kelahiran hidup selama dekade terakhir, meskipun telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu. Hal ini bertentangan dengan negara-negara miskin di sekitar Indonesia, yang menunjukkan peningkatan lebih besar pada MDG kelima.

 

Indonesia telah melakukan upaya yang jauh lebih baik dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita, yang merupakan MDG keempat. Tahun 1990-an, terlihat perkembangan dalam penurunan angka kematian balita, bayi, dan bayi baru lahir.

 

Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir, penurunan angka kematian bayi baru lahir (neonatal) tampaknya berhenti. Jika tren ini berlanjut, Indonesia mungkin tidak dapat mencapai target MDG keempat (penurunan angka kematian anak), meskipun nampaknya Indonesia berada dalam arah yang tepat pada tahun-tahun sebelumnya.

 

Pola-pola Kematian Anak

Sebagian besar kematian anak di Indonesia saat ini terjadi pada masa baru lahir (neonatal), yaitu di bulan pertama kehidupan. Kemungkinan anak meninggal pada usia yang berbeda adalah 19 per 1.000 selama masa neonatal, 15 per 1.000 dari usia 2-11 bulan, dan 10 per 1.000 dari usia 1-5 tahun.

 

Seperti di negara-negara berkembang lainnya yang mencapai status pendapatan menengah, kematian anak di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi dan penyakit anak-anak lain telah mengalami penurunan, seiring dengan meningkatnya pendidikan ibu, kebersihan rumah tangga dan lingkungan, pendapatan, serta akses mendapatkan pelayanan kesehatan. Kematian bayi baru lahir kini merupakan hambatan utama dalam menurunkan kematian anak lebih lanjut. Pasalnya, sebagian besar penyebab kematian bayi baru lahir ini dapat ditanggulangi.

 

Baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, dan untuk seluruh kuintil kekayaan, kemajuan dalam mengurangi angka kematian bayi telah terhenti dalam beberapa tahun terakhir. Survei Demografi dan Kesehatan 2007 (SDKI 2007) menunjukkan bahwa baik angka kematian balita maupun angka kematian bayi baru lahir telah meningkat pada kuintil kekayaan tertinggi. Tetapi, alasannya sendiri tidak jelas.

 

Baca juga: 6 Masalah Kesehatan Terbesar di Indonesia

 

Meskipun angka kematian balita di pedesaan masih sepertiga lebih tinggi daripada angka kematian balita di perkotaan, sebuah studi menunjukkan bahwa angka kematian di pedesaan mengalami penurunan lebih cepat daripada di perkotaan. Angka kematian di perkotaan bahkan telah mengalami peningkatan pada tingkat neonatal.

 

Anak-anak dari ibu yang kurang berpendidikan umumnya memiliki angka kematian yang lebih tinggi daripada mereka yang lahir dari ibu yang lebih berpendidikan. Selama kurun waktu 1998-2007, angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang tidak berpendidikan adalah 73 per 1.000 kelahiran hidup.

 

Sedangkan angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang berpendidikan menengah atau lebih tinggi adalah 24 per 1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini disebabkan oleh perilaku dan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik di antara wanita-wanita yang berpendidikan.

 

Indonesia mengalami peningkatan feminisasi epidemi HIV/AIDS. Proporsi wanita di antara kasus-kasus HIV baru telah meningkat dari 34 persen pada tahun 2008 menjadi 44 persen pada tahun 2011. Akibatnya, Kementerian Kesehatan telah memproyeksikan peningkatan infeksi HIV pada anak-anak.

 

Kesenjangan Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas dapat mencegah tingginya angka kematian. Di Indonesia, angka kematian bayi baru lahir pada anak-anak yang ibunya mendapatkan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh profesional medis adalah seperlima dari angka kematian pada anak-anak yang ibunya tidak mendapatkan pelayanan ini.

 

Indonesia menunjukkan angka peningkatan proporsi persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Dari 41 persen pada tahun 1992, menjadi 82 persen pada tahun 2010. Indikator tersebut hanya mencakup dokter dan bidan atau bidan desa. Di 7 provinsi kawasan timur, 1 dari setiap 3 persalinan berlangsung tanpa mendapatkan pertolongan dari tenaga kesehatan apapun. Mereka hanya ditolong oleh dukun bayi atau anggota keluarga.

 

Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan masih rendah, yaitu sebesar 55 persen. Lebih dari setengah wanita di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun. Sebagai gantinya, mereka melahirkan di rumah.

 

Wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan memungkinkan untuk memperoleh akses ke pelayanan obstetrik darurat dan perawatan bayi baru lahir, meskipun pelayanan ini tidak selalu tersedia di semua fasilitas kesehatan.

Baca juga: Perkembangan Kesehatan dan Imunisasi di Indonesia dari Masa ke Masa

 

Sekitar 61 persen wanita usia 10-59 tahun melakukan 4 kunjungan pelayanan antenatal yang disyaratkan selama kehamilan terakhir mereka. Kebanyakan dari ibu hamil, yaitu sekitar 72 persen, di Indonesia melakukan kunjungan pertama ke dokter.

 

Sayangnya tindakan ini berhenti sebelum 4 kunjungan yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan. Kurang lebih 16 persen wanita (25 persen dari pedesaan dan 8 persen dari perkotaan) tidak pernah mendapatkan pelayanan antenatal selama kehamilan terakhir mereka.

 

Kualitas pelayanan yang diterima selama kunjungan antenatal tidak memadai. Kementerian Kesehatan Indonesia merekomendasikan komponen-komponen pelayanan antenatal yang berkualitas sebagai berikut:

  1. Pengukuran tinggi dan berat badan.
  2. Pengukuran tekanan darah.
  3. Mengonsumsi tablet zat besi.
  4. Mendapatkan imunisasi tetanus toksoid.
  5. Pemeriksaan perut.
  6. Pengetesan sampel darah dan urine.
  7. Mendapatkan informasi tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan.

 

Kebanyakan ibu hamil telah diambil sampel darah dan diberitahu tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan. Akan tetapi, hanya 20 persen dari mereka yang mendapatkan 5 intervensi pertama secara lengkap, seperti dikutip dari Riskesdas 2010. Bahkan di Yogyakarta, provinsi dengan cakupan tertinggi, proporsi ini hanya 58 persen. Sulawesi Tengah memiliki cakupan terendah, yaitu  sebesar 7 persen.

 

Sekitar 38 persen wanita usia reproduktif menyatakan telah mendapatkan 2 atau lebih suntikan tetanus toxoid (TT2 +) selama kehamilan. Kementerian Kesehatan merekomendasikan agar wanita mendapatkan suntikan tetanus toksoid selama 2 kehamilan pertama, dengan 1 suntikan penguat pada kehamilan berikutnya untuk memberikan perlindungan penuh. Cakupan TT2 + terendah terdapat di Sumatera Utara (20 persen) dan yang tertinggi adalah di Bali (67 persen).

 

Kira-kira 31 persen ibu nifas mendapatkan pelayanan antenatal 'tepat waktu'. Ini berarti pelayanan dalam waktu 6-48 jam setelah melahirkan, seperti yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan. Pelayanan pasca-persalinan yang baik sangat penting, karena sebagian besar kematian ibu dan bayi baru lahir terjadi pada 2 hari pertama. Pelayanan pasca-persalinan ini diperlukan untuk menangani komplikasi setelah persalinan.

 

Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Papua menunjukkan kinerja terburuk dalam hal ini. Cakupan pelayanan pasca-persalinan tepat waktu hanya 18 persen di Kepulauan Riau. Dan, hanya sekitar 26 persen dari semua ibu nifas pernah mendapatkan pelayanan pascapersalinan.

 

Di antara pelayanan kesehatan yang tersedia bagi ibu, persalinan di fasilitas kesehatan menunjukkan kesenjangan. Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan daerah-daerah perkotaan sebesar 113 persen, lebih tinggi daripada proporsi di daerah-daerah pedesaan. Proporsi wanita dari kuintil kekayaan tertinggi yang melahirkan di fasilitas kesehatan sebesar 111 persen, lebih tinggi daripada proporsi dari kuintil termiskin.

 

Terkait dengan pelayanan-pelayanan lain, kesenjangan kesejahteraan lebih besar daripada kesenjangan perkotaan-perdesaan. Kesenjangan kota-desa adalah sebesar 9-38 persen untuk pelayanan yang berkaitan dengan pelayanan antenatal, TT2 +, dan pelayanan pasca-persalinan. Cakupan pelayanan pasca-persalinan tepat waktu yang relatif rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya prioritas di antara wanita untuk pelayanan ini, bukan oleh kesulitan akses atau ketersediaan pelayanan kesehatan.

 

Hambatan yang Dihadapi

Buruknya kualitas pelayanan kesehatan antenatal, persalinan, dan pasca-persalinan merupakan hambatan utama untuk menurunkan kematian ibu dan anak. Untuk seluruh kelompok penduduk, cakupan tentang indikator yang berkaitan dengan kualitas pelayanan (misalnya pelayanan antenatal yang berkualitas) secara konsisten lebih rendah daripada cakupan yang berkaitan dengan kuantitas atau akses (misalnya 4 kunjungan antenatal). Studi pada 2002 menunjukkan bahwa buruknya kualitas pelayanan merupakan faktor penyebab dari 60 persen per 130 kematian ibu yang dikaji.

 

Buruknya kualitas pelayanan kesehatan masyarakat menunjukkan perlunya meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengeluaran kesehatan terendah, yaitu sebesar 2,6 persen dari produk domestik bruto pada tahun 2010.

 

Pengeluaran kesehatan masyarakat hanya di bawah setengah dari total pengeluaran kesehatan. Di tingkat kabupaten, sektor kesehatan hanya menerima 7 persen dari total dana kabupaten. Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kesehatan rata-rata kurang dari 1 persen per total anggaran pemerintah daerah.

 

Proses perencanaan untuk DAK harus lebih efisien, efektif, dan transparan. Di tingkat pusat, wakil-wakil DPR memainkan peran penting dalam menentukan alokasi dana untuk kabupaten masing-masing. Dengan demikian, memperlambat proses DAK tersebut.

 

Dana kesehatan tersedia di tingkat kabupaten hanya pada akhir tahun anggaran. Berbagai hambatan menyebabkan wanita miskin tidak sepenuhnya menyadari manfaat Jampersal, program asuransi kesehatan pemerintah untuk ibu hamil.

 

Hambatan-hambatan tersebut meliputi tingkat penggantian biaya yang tidak memadai, khususnya biaya transportasi dan komplikasi, serta kurangnya kesadaran di antara wanita tentang kelayakan dan manfaat Jampersal. Berdasarkan permintaan, harus ada lebih banyak fasilitas kesehatan yang memberikan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) serta lebih banyak dokter kandungan dan ginekolog. Rasio fasilitas penduduk untuk PONEK di Indonesia (0,84 per 500.000), masih di bawah rasio 1 per 500.000 yang direkomendasikan oleh UNICEF, WHO, dan UNFPA (1997).

 

Indonesia memiliki sekitar 2.100 dokter kandungan-ginekolog (atau 1 per 31.000 wanita usia subur), tetapi tidak tersebar secara merata. Lebih dari setengah dokter kandungan-ginekolog melakukan praktik di Jawa. Perilaku yang tidak tepat dan kurangnya pengetahuan juga berkontribusi terhadap kematian anak, antara lain:

  1. Para ibu dan petugas kesehatan masyarakat tidak memiliki pengetahuan tentang penanggulangan atau pengobatan penyakit-penyakit umum anak. Di Indonesia, 1 dari 3 anak balita menderita demam (yang mungkin disebabkan oleh malaria, infeksi saluran pernapasan akut, dan lainnya), dan 1 dari 7 anak balita menderita diare. Sebagian besar kematian akibat penyakit-penyakit ini sebenarnya dapat dicegah. Akan tetapi untuk mencegah penyakit-penyakit ini, diperlukan pengetahuan, pengenalan tepat waktu, serta penanganan dan perubahan perilaku para ibu dan petugas kesehatan. Misalnya, SDKI 2007 menunjukkan bahwa hanya 61 persen anak balita yang menderita diare diobati dengan terapi rehidrasi oral.
  2. Para ibu tidak menyadari pentingnya pemberian ASI. SDKI 2007 menunjukkan bahwa kurang dari 1 dari 3 bayi di bawah usia 6 bulan diberi ASI eksklusif. Oleh karena itu, sebagian besar bayi di Indonesia tidak mendapatkan manfaat ASI terkait dengan gizi dan perlindungan terhadap penyakit.
  3. Praktik-praktik sanitasi dan kebersihan yang buruk sangat umum. Riskesdas 2010 menyatakan bahwa sekitar 49 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan cara-cara pembuangan kotoran yang tidak aman. Dan, 23-31 persen rumah tangga di 2 kuintil termiskin masih melakukan praktik buang air besar di tempat-tempat terbuka. Praktik tersebut dapat menyebabkan penyakit diare. Riskesdas 2007 menyatakan diare sebagai penyebab 31 persen kematian anak antara usia 1 bulan sampai 1 tahun, dan 25 persen kematian anak antara usia 1-4 tahun.
  4. Praktik pemberian makan bayi dan pelayanan lainnya yang buruk, mengakibatkan gizi kurang pada ibu dan anak-anak. Ini merupakan penyebab dasar kematian anak. Satu dari 3 anak bertubuh pendek (stunting). Dalam kuintil yang lebih miskin, 1 dari 4-5 anak mengalami berat badan kurang. Secara nasional, 6 persen anak-anak muda bertubuh sangat kurus (wasted), yang menempatkan mereka pada risiko kematian yang tinggi.

 

Peluang untuk Melakukan Tindakan

Secara keseluruhan, pengeluaran kesehatan di Indonesia perlu ditingkatkan, termasuk proporsi DAK untuk sektor kesehatan. Peningkatan pengeluaran kesehatan harus sejalan dengan penanganan hambatan keuangan dan hambatan lainnya, yang menghalangi wanita untuk mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas.

 

Diperlukan gambaran yang jelas antara tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kesehatan. Standar dan peraturan merupakan bagian dari fungsi pengawasan di tingkat pusat dan tidak boleh diserahkan pada tingkat daerah.

 

Pelayanan kesehatan ibu dan anak memerlukan pergeseran fokus pada kualitas, termasuk persalinan di fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED). Pergeseran pada kualitas tersebut memerlukan aksi di beberapa tingkat.

  1. Pemerintah tingkat pusat harus mengembangkan dan melaksanakan standar dan pedoman kualitas pelayanan. Diperlukan pengawasan ketat untuk memastikan implementasi standar oleh penyedia pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta.
  2. Pelayanan kesehatan swasta harus menjadi bagian dari kebijakan dan kerangka kesehatan pemerintah. Upaya-upaya yang dilakukan saat ini untuk meningkatkan standar kesehatan tidak secara proporsional menargetkan fasilitas pemerintah. Akan tetapi, persalinan yang berlangsung di fasilitas swasta 3 kali lebih banyak daripada di fasilitas pemerintah selama kurun waktu 1998-2007. Penyedia pelayanan kesehatan swasta dan fasilitas pelatihan telah menjadi bagian penting dari sistem kesehatan di Indonesia. Oleh karena itu, harus menjadi bagian dari kebijakan kesehatan, standar, dan sistem informasi pemerintah. Peraturan, pengawasan, dan sertifikasi harus memastikan kepatuhan penyedia pelayanan swasta dengan standar dan sistem informasi pemerintah.
  3. Perlu ditetapkan lebih banyak fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan PONEK. Sistem rujukan juga harus diperkuat untuk mempromosikan penggunaan fasilitas-fasilitas ini secara tepat. Langkah menuju peningkatan kualitas memerlukan sumber daya tambahan untuk mengembangkan dan memotivasi petugas kesehatan. Kinerja petugas kesehatan sangat ditentukan, baik dari segi keterampilan maupun motivasi. Untuk mengembangkan keterampilan, tidak hanya diperlukan pelatihan yang lebih banyak, tetapi juga pengawasan fasilitatif manajemen kasus. Dan bagi para profesional, penilaian sebaya, pengawasan berkala, dan peristiwa penting atau audit kematian. Sesi umpan balik, pemantauan dan pengawasan secara terus-menerus memainkan peran penting, tidak hanya dalam meningkatkan kualitas tetapi juga dalam memotivasi tim. Indonesia dapat mempertimbangkan untuk memberikan insentif kepada petugas kesehatan. Insentif ini dapat berbentuk nonuang (peningkatan tugas, kepemilikan, dan pengakuan profesi), uang (penambahan komponen berbasis kinerja pada gaji), atau kelembagaan dan berbasis tim (langkah-langkah seperti sistem akreditasi dan kompetisi terbuka).
  4. Sistem informasi yang kuat merupakan salah satu komponen pelayanan kesehatan yang berkualitas. Sistem informasi kesehatan di seluruh Indonesia tidak menunjukkan kinerja yang baik, seperti yang mereka lakukan sebelum desentralisasi. Data administrasi tidak memadai di banyak kabupaten, sehingga tidak mungkin bagi tim kesehatan kabupaten untuk secara efektif merencanakan dan menentukan target intervensi. Tingkat pusat memerlukan data yang kuat untuk melaksanakan fungsi pengawasannya. Situasi tersebut mungkin memerlukan sentralisasi ulang dan penyesuaian fungsi-fungsi khusus yang berkaitan dengan sistem informasi kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan proses, pelaporan, dan standar

 

Di tingkat nasional, standar pelayanan minimal (SPM) yang ada perlu dikaji ulang dan dirumuskan kembali. Banyak kabupaten miskin menganggap bahwa standar yang ada sekarang ini tidak dapat dicapai. Standar tersebut harus mengakomodasi kesenjangan yang luas dan dasar-dasar yang berbeda di Indonesia, misalnya dengan merumuskan perkembangan terkait dengan kenaikan persentase bukan tingkat yang tetap.

 

Hal ini akan memungkinkan kabupaten-kabupaten untuk mengembangkan rencana aksi yang lebih realistis. Penetapan standar tertentu harus mempertimbangkan realitas geografis, kepadatan penduduk, dan ketersediaan sumber daya manusia. Pemerintah harus mendukung kabupaten atau kota yang tidak memiliki infrastruktur untuk mencapai standar pelayanan minimal.

 

Untuk mewujudkan manfaat desentralisasi secara penuh, tim kesehatan kabupaten memerlukan dukungan dari pemerintah pusat dan provinsi dalam perencanaan dan implementasi berbasis bukti. Desentralisasi meningkatkan potensi pemerintah daerah untuk merencanakan, menyusun anggaran, dan melaksanakan program-program yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah.

 

Akan tetapi, hal ini akan tercapai hanya jika kapasitas daerah memadai. Pemerintah provinsi memerlukan sumber daya untuk membantu rencana kabupaten dan melaksanakan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas dan cakupan.

Baca juga: Harga Rokok Naik, Akankah Angka Kesehatan Juga Naik?

 

Program-program kesehatan preventif perlu dipromosikan dan dipercepat. Ini akan memerlukan promosi serangkaian pelayanan, mulai dari masa remaja dan prakehamilan, lalu berlanjut sampai kehamilan, persalinan, dan masa kanak-kanak.

 

Intervensi harus meliputi intervensi nyata dan hemat biaya, seperti manajemen kasus berbasis masyarakat tentang penyakit umum anak, promosi dan penyuluhan pemberian ASI, pemberian suplementasi asam folat pada tahap prakehamilan, terapi antelmintik ibu, suplementasi zat gizi mikro bagi ibu dan bayi, maupun penggunaan kelambu nyamuk bagi ibu dan bayi.

 

Untuk menghapus penularan HIV dari orang tua ke anak, diperlukan pengetesan dan konseling HIV yang diprakarsai oleh penyedia pelayanan bagi semua ibu hamil, sebagai bagian dari pelayanan antenatal secara tetap, tindak lanjut yang lebih kuat, dan pendidikan publik yang lebih baik.

Sumber: UNICEF