Yes. Seperti judulnya, menikah itu bukan hal yang bisa dianggap sepele. Hari ini saya mau sharing sedikit pengalaman saya. Meskipun umur pernikahan saya masih seumur jagung, segala lika-liku persoalan sudah saya dan suami alami.

 

Dulu, saya berpikir setelah menikah segalanya itu indah. Bisa berdua dengan suami tanpa takut digunjingkan orang-orang, bisa jalan-jalan tanpa harus memikirkan orang rumah. Soalnya dulu mama saya selalu menunggu saya pulang, jadi saya harus pulang on time, maksimal pukul sepuluh malam. Terus, saya bisa melakukan apa saja tanpa takut dosa. Hahaha.

 

Namun, ternyata menjalani pernikahan itu tidak seindah di film-film. Awalnya, saya berpikir setelah menikah tidak perlu kerja lagi. Biar suami saja yang cari uang. Lalu, saya bisa cepat-cepat keluar dari rumah orang tua supaya tidak diatur-atur lagi dan terbebas dari omongan orang-orang yang suka sok menasihati.

 

Namun, faktanya ini salah besar. Menikah adalah sebuah komitmen. Seumur hidup Kamu akan selalu bersama dengan pasangan yang sudah Kamu pilih, untuk menjalani kehidupan bersama-sama sampai akhir hayat.

Baca juga: 11 Ujian dalam Pernikahan yang Harus Dihadapi

 

Menikah itu sebuah janji suci yang mengikat Kamu dan pasanganmu di depan Tuhan untuk saling menyayangi satu sama lain. Menikah itu sakral. Bahkan, menikah itu artinya menjalani kehidupan yang baru antara Kamu dengan pasanganmu. karena itulah, pilih pasangan yang benar-benar klop di hati.

 

Setelah menjalani pernikahan, saya bisa berkata kalau menikah itu tidak seindah yang di film-film. Faktanya, setelah menikah kehidupan keuangan harus saling berbagi. Dan jika dulu mengerjakan pekerjaan rumah ada yang bantu, sekarang harus dikerjakan sendiri. Yang dulunya saya selalu makan masakan mama, sekarang saya harus masak sendiri untuk suami. Harus siapkan baju kerja suami dan bangun pagi-pagi untuk beres-beres rumah.

 

Bahkan di tahun pertama pernikahan, saya dan suami masih kesulitan dari segi keuangan. Jadi, saya harus bekerja dulu untuk membantu menutupi semuanya. Dan yang dulunya saya malas banget pulang ke rumah karena dinasihati ini-itu, akhirnya jadi kangen kepingin pulang ke rumah supaya tidak perlu masak.

 

Belum lagi setelah punya dua anak, repotnya double. Bukan hanya mengurus suami saja, tetapi juga anak-anak. Sampai-sampai saya lupa buat mengurus diri sendiri. Mungkin lebih tepatnya tidak ada waktu buat me time.

 

Beruntungnya, segalanya dimudahkan sama Tuhan. Setelah saya punya anak, rezeki saya mulai lancar. Bahkan, rezeki suami saya semakin berdatangan. Ketika anak kami yang kedua lahir, segalanya masih tercukupi tanpa saya harus bekerja.

 

Namun meski sudah menikah, terbebas dari gunjingan orang-orang tuh sepertinya tidak mungkin, deh. Maklum, setiap orang pasti berbeda-beda kan cara pikirnya. Jadi setelah menikah, pasti ada yang tanya kapan punya anak. Setelah punya anak pertama, ditanya kapan punya anak kedua. Ibaratnya tuh yang bertanya kepo maksimal! Saking tidak ada kerjaan kali, ya.

Baca juga: Bagaimana Cara Menyelamatkan Pernikahan ketika Terjadi Perselingkuhan?

 

Sedikit share, ya. Saya dan suami sudah berpacaran selama 5 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Perjalanan cinta kami sebenarnya tergolong standar saja. Ketika menjelang lamaran, saya dan suami sering putus. Akhirnya orang tuanya, lebih tepatnya seluruh keluarga suami, tidak setuju saya dan suami menikah.

 

Sakit? Otomatis, lah. Yang tertolak pihak wanita, bukan pihak pria. Sampai akhirnya, suami ngotot banget meyakini saya untuk tetap menikah dengannya, karena ia sayang sama saya. Akhirnya, saya dan suami berunding memikirkan jalan keluarnya.

 

Namun karena buntu, dengan modal nekat, saya dan suami memutuskan untuk tetap menikah tanpa restu dari orang tuanya. Untungnya, saat itu mama saya mendukung kita berdua dan tidak ada masalah sama sekali dengan hubungan yang kita jalani.

 

Alasan saya ditolak oleh keluarga suami hanya karena saya dan suami sering putus. Menurut mereka, kalau sudah sering begitu bagaimana nanti setelah menikah? Bisa-bisa minta cerai. Hmmm, amit-amit ya.

Baca juga: Manfaat Pernikahan bagi Kesehatan Mental

 

Bagi saya, ucapan mereka tuh seperti doa yang sengaja dilontarkan buat  saya dan suami. Namun tanpa memikirkan mereka semua, kita tetap menikah dengan restu dari mama dan restu yang terpaksa dari keluarga suami. Bayangkan saja, menikah dengan restu yang terpaksa tuh bagaimana?

 

Sampai akhirnya saya punya anak, barulah situasinya sedikit berubah. Ketika anak kita sudah dua, hubungan saya dengan keluarganya pun kembali seperti biasa. Memang kok menjalani sebuah pernikahan itu tidak mudah, membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menjadikan sebuah pernikahan itu berarti.