Baru-baru ini, beredar berita tentang seorang anak asal Banjarmasin yang diduga terkena sindrom sleeping beauty. Pasalnya, Siti Raisa Miranda, atau yang kerap disapa Echa, tidak berhenti tidur selama 13 hari. Bahkan, anak berusia 13 tahun tersebut hanya bangun sebentar lalu kembali tidur.

 

Menurut orang tuanya, awalnya Echa seperti anak-anak yang lainnya. Namun sejak 1 tahun lalu mengalami kecelakaan dan kepalanya terbentur ke aspal, psikologis Echa mengalami perubahan. Salah satunya adalah sering tidur dalam jangka waktu yang lama. Lalu, apa itu sindrom sleeping beauty yang diderita oleh Echa? Berikut penjelasannya menurut Sound Sleep Health!

Baca juga: Deteksi Kelainan Genetik Anak

 

Apa Itu Sindrom Sleeping Beauty? 

Sindrom sleeping beauty memiliki istilah ilmiah sindrom Kleine-Levin. Sindrom ini dialami ketika kondisi neurologis mengalami perubahan, yaitu jumlah dan lama tidur seseorang menjadi lebih panjang dan tidak masuk akal. Penderita sindrom sleeping beauty akan merasa mengantuk terus-menerus dan tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.

 

Awalnya, penderita sindrom sleeping beauty akan merasakan kantuk yang semakin lama semakin parah. Akhirnya, mereka bisa menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk tidur setiap harinya (hypersomnia). Penderita sindrom sleeping beauty hanya akan bangun jika harus ke toilet atau merasa lapar. Hal tersebut membuat penderita sindrom sleeping beauty tidak bisa beraktivitas.

 

Pada pria, sindrom sleeping beauty bisa menyebabkan: 

 

Hal-hal tersebut biasanya terjadi pada pria ketika mereka dalam keadaan setengah sadar atau dalam keadaan mengantuk. Ini bisa terjadi selama beberapa hari hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

 

Penderita sleeping beauty tidak bisa beraktivitas harian atau bahkan mengurus diri mereka sendiri. Jika sedang tidak kambuh atau sedang tidak mengantuk, kondisi-kondisi tersebut tidak akan terjadi dan penderitanya akan terlihat seperti orang normal biasa.

 

Siapa yang Berisiko Terkena Sindrom Sleeping Beauty?

Penyakit ini, meskipun langka, cenderung menyerang pria berusia remaja (sekitar 16 tahun). Bahkan menurut penelitian, dari seluruh kasus sindrom sleeping beauty, 70 persen di antaranya menyerang pria. Namun jika terjadi pada wanita, penyakit ini lebih lama sembuh.

 

Gejala dan Tanda Sindrom Sleeping Beauty

Seperti yang sudah disebutkan, penyakit ini menyebabkan waktu tidur menjadi sangat lama (mulai dari 20 jam per hari). Gejala-gejala yang dialami penderita sindrom sleeping beauty bisa berlangsung dari berhari-hari hingga berminggu-minggu. Bahkan, pada beberapa kasus gejalanya bisa berlangsung hingga 2 bulan.

 

Gejala lain dari sindrom sleeping beauty termasuk: 

  • Iritabilitas.
  • Disorientasi.
  • Mengonsumsi makanan berlebihan.
  • Dorongan seks yang kuat dan tidak normal.
  • Berhalusinasi.
  • Kekanak-kanakan.

 

Akibat penyakit ini, penderita sindrom sleeping beauty bisa menjadi depresi. Pasalnya meski tidak sedang kambuh, penderita sindrom sleeping beauty terlihat normal-normal saja. Mereka cenderung tidak bisa mengingat hal-hal yang terjadi ketika sedang mengalami kekambuhan. Umumnya, gejalanya baru akan kembali lagi hingga 3 minggu kemudian.

Baca juga: Sindrom Carpal Tunnel pada Ibu Hamil

 

Penyebab Sindrom Sleeping Beauty

Belum ada penelitian yang bisa memastikan penyebab utama penyakit ini. Namun menurut para ahli, kemungkinan penyakit ini diakibatkan oleh kerusakan beberapa bagian di otak (thalamus dan hypothalamus) yang mengatur proses tidur dan selera makan.

 

Banyak penelitian yang perlu dilakukan untuk memastikan apakah sindrom sleeping beauty terjadi akibat kondisi yang menular dan merusak hipotalamus, atau akibat cedera kepala. Namun, spekulasi-spekulasi tersebut belum bisa dibuktikan hingga saat ini.

 

Karena beberapa gejalanya mirip penyakit flu, ahil berspekulasi gejala-gejala tersebut diakibatkan oleh penyakit autoimun tertentu. Sebuah penelitian dari Stanford University pada 2005 menjabarkan, sekitar 72 persen kasus sindrom sleeping beauty terjadi setelah gejala infeksi menyerang. Selain itu, ada beberapa kasus penyakit ini menyerang lebih dari 1 anggota keluarga. Artinya, kemungkinan genetik juga bisa menjadi penyebab sindrom sleeping beauty.

 

Bagaimana Diagnosis Sindrom Sleeping Beauty?

Saat ini, memang masih sulit untuk memperoleh diagnosis dari penyakit ini. Pasalnya gejala utama sindrom sleeping beauty, yaitu hipersomnia, merupakan gejala umum dari beberapa penyakit. Maka dari itu, dokter harus teliti menemukan gejala-gejala yang dialami penderitanya.

 

Umumnya, penderita yang diduga terkena sindrom sleeping beauty perlu melewati beberapa tes medis, seperti: 

  • Tes masalah metabolisme (hipotroidisme, diabetes, ensefalopati).
  • Tes inflamasi atau tumor.
  • Tes multiple sclerosis.

 

Penyakit-penyakit di atas memiliki gejala yang mirip dengan sindrom sleeping beauty. Namun, penderita sleeping beauty juga bisa melakukan tes-tes lain, salah satunya MRI.

 

Pengobatan Sindrom Sleeping Beauty

Tidak ada pengobatan khusus untuk menyembuhkan sindrom sleeping beauty. Pengobatan yang diberikan biasanya hanya disesuaikan dengan gejala yang dialami penderitanya. Jadi, bisa berbeda-beda pada setiap pasien. Pengobatan akan dilakukan oleh dokter dan ahli profesional, seperti neurologis, psikiater, dokter anak, spesialis tidur, dan profesional lainnya.

 

Pada beberapa kasus, obat seperti amfetamin bisa diberikan oleh dokter untuk meredakan dan mengurangi gejala tidur berlebihan. Pada kasus lain, obat antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati epilepsi juga bisa digunakan. Selain itu, obat untuk meredakan gejala gangguan mood dapat pula diberikan kepada pasien.

Baca juga: Trisomi Adalah Kelainan Genetik Anak

 

Saat ini, memang masih dilakukan banyak penelitian untuk mempelajari lebih dalam tentang penyebab, pengobatan, dan dampak sindrom sleeping beauty pada penderitanya. Namun, jika ada gejala dan tanda-tanda yang serupa dengan sindrom ini, segera periksakan diri ke dokter ya, Gengs! (UH/AS)