"Jangan makan bakso yang itu, deh. Ada bahan kimianya."

 

Sering kali kita mendengar perkataan semacam itu. Ya, baksonya bisa diganti cilok, pempek, gorengan, dan lain-lainnya. Termasuk juga jajanan anak sekolah, ketika para Mums berpesan kepada anak kesayangannya, "Jangan jajan ya, ada bahan kimianya."

 

Baca juga: Makan Jajanan Kaki Lima? Waspadai 5 Masalah Ini

 

Bahan kimia, apalagi pada zaman now, adalah hal yang wajar terdapat pada makanan, apalagi makanan yang termasuk pangan olahan. Nama resminya adalah Bahan Tambahan Pangan atau lebih sering disebut BTP. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 menyebutkan bahwa BTP merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk memengaruhi sifat atau bentuk pangan.

 

Ini yang sering jadi salah kaprah. Seolah-olah apapun bahan kimia yang ditambahkan pada makanan itu salah. Termasuk mecin alias MSG. Padahal, BTP itu adalah hasil karya manusia yang ditujukan untuk kebaikan sesama manusia juga. Sederhananya, BTP adalah produk kemajuan teknologi pangan. Justru dengan adanya BTP, kita jadi bisa makan lebih banyak jenis makanan.

 

BTP paling sederhana adalah pengawet misalnya. Tanpa adanya bahan kimia jenis ini, kita enggak akan mudah mencari makanan instan di minimarket. Demikian juga dengan pemanis dan penguat rasa. BTP sendiri punya ketentuan yang harus dipenuhi. Pertama, BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung.

 

Namanya juga bahan tambahan, maka fungsinya bukanlah untuk dikonsumsi secara langsung. BTP juga dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan, untuk tujuan teknologi pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, dan atau pengangkutan pangan. Ini bertujuan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau memengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Jadi, sekali lagi setiap BTP pasti ada gunanya. Kan enggak mungkin produsen memasukkan benda-benda aneh ke dalam makanan kalau tidak ada gunanya. Satu lagi, menurut peraturan, BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

 

Baca juga: 4 Zat Kimia Berbahaya yang Sering Digunakan dalam Makanan

 

Jadi begini, dengan penambahan BTP, diharapkan kandungan nilai gizi dalam makanan bisa dipertahankan atau kualitas daya simpan meningkat. Bisa jadi juga agar makanan lebih mudah dihidangkan dengan adanya bentuk, tekstur, maupun rasa yang khas.

 

Atau juga dengan adanya BTP pengawet, diharapkan daya simpan jadi lebih lama hingga makanan dari pabrik di Cikarang bisa sampai ke Papua tanpa harus basi duluan. Termasuk juga mencegah mikroorganisme yang merusak bahan makanan beraksi dengan leluasa.

 

Contoh lain penggunaan BTP adalah membuat suatu produk makanan jadi renyah ataupun lembut di mulut. Cokelat biasa dengan agar-agar cokelat kan beda sensasinya, toh? Ada yang suka cokelat tetapi enggak suka agar-agar, begitu pun sebaliknya. Yang semacam ini tentu harus diakomodasi oleh produsen pangan.

 

BTP ini hanya boleh digunakan tidak melebihi batas maksimal penggunaan dalam kategori pangan. Aturannya dapat kita lihat di deretan Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Tambahan Pangan yang beragam jenisnya.

 

Beberapa jenis BTP yang sudah diatur adalah pemanis buatan, pembentuk gel, sekuestran, gas untuk kemasan, garam pengemulsi, propelan, antibuih, pelapis, pengembang, bahan antikempal, pengental, pengeras, pengatur keasaman, perlakuan tepung, pembawa, humektan, bahan pengkarbonasi, hingga perisa.

 

Untuk pangan-pangan yang mengandung BTP, diwajibkan lho untuk mencantumkan BTP yang dipakai pada labelnya. Bahkan untuk antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa malah wajib dicantumkan nama jenis BTP dan nomor indeks khusus untuk pewarna.

 

 

Baca juga: Bahaya Penyedap Rasa bagi Kesehatan

 

Jadi, kalau kebetulan bertemu tulisan 'Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui', itu bukan bikin-bikinan produsen, tetapi memang diwajibkan oleh pemerintah. Atau juga pada pangan olahan yang mengandung pemanis buatan jenis aspartam, sering juga kita baca peringatan 'Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketourik'.

 

Adapun yang sebenarnya berbahaya adalah jika penggunaan BTP-nya berlebihan atau bahan yang digunakan bukanlah bahan tambahan pangan, melainkan pewarna tekstil atau pengawet mayat. Itu baru keliru. Sekali lagi, tidak semua bahan kimia pada makanan itu berbahaya. Lihat dulu bahannya apa.

 

Salah satu yang harus kita perhatikan adalah Asupan Harian yang Dapat Diterima alias Acceptable Daily Intake (ADI), yang merupakan jumlah maksimal bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan. Ini dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup, tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan.

 

Biasanya sih, produsen memasukkan bahan itu dalam limit yang jauh sekali dari ADI, tetapi ada juga yang 'mepet'. Intinya sih sama, yaitu jangan berlebihan. Kontrol semacam itu yang perlu kita tanamkan pada diri sendiri, keluarga, hingga lingkungan dekat, dalam rangka menjadi konsumen yang cerdas.

 

Oh ya, untuk bisa memiliki kemampuan kontrol seperti itu, kebiasaan membaca label memang menjadi hal yang paling wajib untuk dilakukan. Yuk, kita bersama-sama jadi konsumen yang cerdas!