Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan, sebanyak 259 orang meninggal antara tahun 2011-2017, saat melakukan swa foto (selfie). Mungkin masih ada yang ingat, beberapa tahun lalu seorang mahasiswa tewas karena tergelincir masuk ke kawah gunung Merapi saat melakukan swa foto. Tak hanya di Indonesia. Kasus seperti ini cukup banyak juga dijumpai di luar negeri.

 

Kasus paling terkenal mungkin menimpa Gigi Wu, Pendaki profesional asal Taiwan. Wanita 36 tahun ini dalam waktu singkat menyedot ribuan perhatian warganet karena foto sensional Wu, mendaki gunung dengan hanya mengenakan bikini.

 

Sepanjang "karirnya" ia sudah berbikini sambil mendaki lebih dari 100 gunung di Asia. Foto yang dihasilkannya memang sangat mengagumkan. Sayang, di suatu hari naas ia terjatuh dari ketinggian 100 kaki, dan terjebak selama 43 jam sebelum petugas penyelamat menemukannya. Sayang, Wu tewas karena hipotermia.

Sebenarnya apa yang mendorong seseorang rela menggapai tempat-tempat sulit dan berbahaya untuk sebuah foto diri? Apakah semata-mata demi popularitas atau ada alasan psikologis di balik hobi baru yang kian digandrungi ini?

 

Baca juga: Terobsesi Upload Selfie, Benarkah Gangguan Mental?

 

 

Kematian Akibat Selfie Menjadi Endemik Baru

Karena semakin banyak memakan korban, beberapa pakar menyebut kematian akibat selfie kini menjadi endemik baru. Alih-alih berempati pada korban, kebanyakan orang justru mencibir. Sebagian menganggap itu adalah tindakan bodoh dan ceroboh, hanya demi sebuah popularitas di media sosial.

 

Tidak ada data resmi di dunia, berapa banyak korban tewas terkait selfie. Data terbaru adalah dari sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun 2018 di Journal of Family Medicine and Primary Care. Studi ini  menemukan 259 kematian yang terjadi saat pengambilan swa foto, dalam rentang waktu antara 2011 hingga 2017.

 

Lebih dari seperempat kematian tersebut terjadi saat korban tengah terlibat dalam penelitian tentang "perilaku tidak berisiko." Penelitian ini juga menemukan bahwa mayoritas kematian yang terjadi pada pria muda saat selfie sering dikaitkan perilaku yang berisiko. Sedangkan lebih dari 50% wanita yang meninggal saat selfie dianggap "tidak berisiko."

 

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Psikolog Sarah Diefenbach dari Ludwig-Maximilians University of Munich yang juga penulis penelitian The Selfie Paradox yang diterbitkan tahun 2017 mengatakan, ekstrem maupun tidak, banyak alasan orang melakukan selfie. Misalnya, untuk berkomunikasi dengan orang yang dicintai, untuk meningkatkan harga diri dan citra diri, atau sekadar mengabadikan momen pribadi. Sebagian lagi untuk keperluan komersial.

 

“Caranya saja mungkin yang baru, tetapi keinginan untuk meningkatkan citra diri dan berkomunikasi dengan orang lain sudah ada sejak dulu. Perilaku ini sudah ada dalam DNA manusia,” ujar Diefenbach.

 

Baca juga: Sering Selfie Ternyata Tanda Gangguan Mental ‘Selfitis’!
 

Narsis Identik dengan Selfie?

Sebuah penelitian pernah dilakukan untuk melihat kaitan antara nilai diri dengan sosial media. Mereka menemukan, orang yang sangat peduli dengan pendapat orang lain tentang citra dirinya, cenderung suka melakukan selfie. 

 

Penelitian lain mengungkapkan, sifat narsistik juga bisa menjadi prediktor seberapa suka seseorang melalukan selfie. Sebuah penelitian tahun 2016 yang dipublikasikan di jurnal Computers in Human Behavior menemukan bahwa jiwa narsistik sangat menentukan seberapa sering orang menampilkan foto dirinya di media sosial. 

 

Meskipun konotasinya buruk, namun menurut Pamela Rutledge, Ph.D, direktur Media Psychology Research Center, narsistik bukanlah perilaku yang jahat. Ini hanyalah pengembangan dari karakter-karakter lain, yang masih terus dipelajari. Nasristik sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan psikolog, seperti halnya selfie. Rutledge berpendapat, menjadi narsis tidak selalu merefleksikan karakter buruk seseorang.

 

Baca juga:13 Fakta Seputar Sifat Narsis yang Perlu Kamu Tahu!
 

Agar Selfie Tidak Membahayakan

Terlepas dari pribadi narsistik atau kepentingan menaikkan citra diri, siapa saja boleh melakukan selfie sepuasnya. Hanya saja lakukan dengan aman. Inilah yang terjadi mengapa selfie bisa berakhir bencana.

 

Perhatian seseorang saat melakukan selfie tentu hanya pada kamera dan sudut pengambilan gambar. Mereka hampir tidak mempedulikan kaki atau lingkungan sekitarnya. Apa yang ada di depan kaki untuk dipijak, seperti lubang besar atau tanah yang rapuh dan mudah longsor, kerap tidak disadari. Ketika sadar, semuanya sudah terlambat.

 

Maka waspada dan selalu memastikan ada di lokasi yang aman adalah tindakan pertama saat akan melakukan selfie terutama di lokasi-lokasi yang ekstrem. Selain himbauan untuk lebih waspada, pihak pengelola tempat wisata yang kerap diserbu pendatang untuk selfie juga harus ikut berperan.

 

Bahkan sebuah artikel di Journal of Travel Medicine merekomendaikan agar dokter mulai mengingatkan pasien tentang bahaya selfie ini. Di beberapa negara, departemen pariwisata mulai memasang peringatan bahaya selfie di tempat-tempat tertentu. Bahkan sekarang ada aplikasi Saftie, yang bisa menampilkan peringatan di teleppon genggam jika lokasi selfie tidak aman.

 


Semua langkah tadi diharapkan bisa mengurangi cedera atau kematian akibat jatuh saat mengabil foto diri. Nah jika Geng Sehat suka selfie, jangan abaikan keselamatan ya! Sebagus apapun foto yang dihasilkan, akan sia-sia jika Kamu cedera. (AY) 

 

Baca juga: Deretan Seleb Ini Memutuskan Berhenti dari Media Sosial
 

 

Sumber:

Bustle.com. The Psychological Reasons Why we Post Selfies.

Outsideonline.com. Selfie Death Are An Endemic.