Ada banyak peringatan hari besar kesehatan setiap tahunnya, salah satunya Wishbone Day yang jatuh pada tanggal  6 Mei. Hari ini hadir untuk meningkatkan kesadaran setiap orang akan sebuah penyakit bernama Osteogenesis Imperfecta (OI), atau dikenal juga dengan sebutan Brittle Bones.

 

Sayangnya, meski berdasarkan data UKK Endokrinologi IDAI terdapat 136 pasien OI di Indonesia dengan rentang usia terdiagnosis 0-11 tahun, Wishbone Day belum didaftarkan sebagai hari besar kesehatan di negara ini. Padahal menurut DR. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP., peringatan ini sudah ada sejak tahun 2010, tepatnya sewindu lalu.

 

Beruntung sejak 11 Januari 2012, sebuah komunitas yang terdiri dari pasien dan keluarga OI di Indonesia membentuk FOSTEO (Forum Osteogenesis Imperfecta). Komunitas ini menjadi tempat untuk saling berbagi pengalaman dan informasi seputar penyakit genetik langka tersebut, dengan dukungan dan pengawasan dari dokter anak konsultan endokrinologi.

 

Apa Itu Osteogenesis Imperfecta?

Osteogenesis Imperfecta (OI) merupakan gangguan yang terjadi pada jaringan ikat penyusun tulang, sehingga mengakibatkan tulang menjadi rapuh dan rentan patah. Angka kehadiran OI di dunia adalah 1 dari 20.000 kelahiran hidup. Angka tersebut memang cukup kecil jika dibandingkan dengan penyakit genetik lainnya.

 

Sebenarnya jika OI diketahui sejak dalam kandungan, maka dapat dilakukan penanganan dan pencegahan komplikasi yang lebih baik. Sayangnya, diagnosis penyakit ini cukup sulit untuk dilakukan. Ketika di USG, dokter kerap menduga bahwa janin mengalami achondroplasia, penyakit genetik tulang yang merupakan tipe paling umum dari dwarfisme.

Baca juga: Yuk, Jaga Kesehatan Tulang dari Sekarang!

 

Menurut dr. Dana Nur Prihadi, Sp.A(K), M.Kes., dalam acara “Seminar Media Wishbone Day 2018” pada Jumat, 4 Mei 2018, di gedung IDAI, Jakarta, terdapat beberapa tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien OI, yaitu mudah fraktur atau patah tulang, kelainan bentuk (deformitas) pada tulang dada dan tulang belakang, bagian putih pada bola mata (sklera) berwarna kebiruan, gangguan pendengaran, dahi yang lebar, tulang memendek dan bengkok karena terlalu sering patah, serta kelainan pada gigi.

 

Berbeda-beda pada Setiap Pasien

Tanda dan gejalanya bervariasi, tergantung dari tipe OI yang dialami. “Sebenarnya banyak versi dari tipe OI, ada yang menyebutkan 4, 5, 7, dan 8 tipe. Namun, OI bisa diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu tipe I (ringan), tipe II (letal), tipe III (berat), dan tipe IV (sedang),” ungkap dr. Dana.

 

Pada tipe I, perawakan tubuh biasanya normal, deformitas tulang yang dialami cukup ringan, sklera kebiruan, gangguan pendengaran pada 50%, dan mengalami dentinogenesis imperfekta (gangguan perkembangan gigi).

 

Pada tipe II, pasien meninggal saat perinatal, mineralisasi tulang kepala minimal, tulang rusuk patah, fraktur multipel saat lahir, deformitas berat tulang panjang, dan platyspondyly. Bayi biasanya mengalami sesak napas. Ternyata setelah diperiksa, tulang rusuknya patah.

 

Pada tipe III, perawakan tubuh pendek, deformitas tulang progresif, tergantung pada kursi roda, warna sklera bervariasi, dentinogenesis imperfekta, platyspondyly, dan gangguan pendengaran sering. Sedangkan pada tipe IV, sklera normal, deformitas tulang ringan-sedang, perawakan tubuh cenderung pendek, dentinogenesis imperfekta, dan gangguan pendengaran sering.

 

Ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada penderita OI, antara lain patah tulang berulang sehingga proses penyembuhan menjadi kurang baik, serta bisa berdampak pada sistem jantung, paru, dan saraf. Dokter Dana menambahkan, jika sering patah tulang, tinggi tubuh tidak optimal, dan mudah menangis karena nyeri yang dirasakan, anak pasti tidak mau bergerak. Lama-kelamaan, otot-otot pun tidak digunakan dan tidak bekerja dengan baik. Alhasil, anak terbatas ruang geraknya. Belum lagi ini juga bisa berdampak terhadap kepercayaan dirinya.

Baca juga: Inilah Proses Penyembuhan Patah Tulang
 

Saat ini, pasien OI bisa mendapatkan pengobatan bifosfonat atau zolendroat untuk menguatkan tulang yang rapuh, fisioterapi, bedah, penanganan fraktur, rodding, dan spinal surgery. Sedangkan jika sudah dideteksi saat berada di dalam kandungan, dr. Dana menganjurkan agar ibu melakukan persalinan Caesar untuk mengurangi komplikasi. “Kemudian anak akan langsung diobservasi. Jika ada tulang yang patah, maka akan langsung diterapi.”

 

Penanganan Pasien OI di Indonesia

Dokter Aman menjelaskan bahwa pengobatan penyakit OI sudah ditanggung oleh BPJS. Sayangnya, kesadaran akan penyakit ini masih kurang disebarluaskan oleh pemerintah dan tidak semua rumah sakit mau menerima pasien OI. “Seharusnya seluruh rumah sakit pemerintah bisa memfasilitasi pasien OI. Jadi, pasien dari berbagai daerah tidak harus datang ke Jakarta untuk mendapatkan pengobatan,” keluhnya.

 

Saat ini, ada sekitar 40 dokter spesialis endokrinologi di Indonesia. Namun, penyebaran praktiknya belum merata. Hanya ada 1 dokter di Kalimantan, 2 atau 3 dokter di Sulawesi. Sementara di Indonesia Timur belum ada sama sekali.

 

Soal rumah sakit, di Jakarta hanya ada 2 rumah sakit pemerintah yang bersedia menangani pasien OI. Sedangkan rumah sakit lainnya adalah di Padang dan Surabaya. Pasien bisa berobat di rumah sakit swasta, tetapi jelas harga pengobatan akan jauh lebih mahal.

 

Penanganan OI juga melibatkan banyak ahli, yaitu dokter spesialis endokrinologi, dokter spesialis anak, dokter ortopedi anak, dokter kedokteran fisik, nutrisionis, dan rehabilitasi medik, sehingga tidak semua rumah sakit berani untuk melakukan tindakan.

 

Selain diagnosisnya yang cukup sulit, masalah lainnya adalah jumlah kamar di rumah sakit yang terbatas dan pengobatannya yang mahal. Jadi ketika obat-obatan baru diberikan, kondisi pasien terkadang sudah tidak tertolong lagi.

 

Masa Depan Tetap Cerah!

Mungkin memang dibutuhkan kesabaran bagi para orang tua dalam mengasuh anak dengan IO. Apalagi rasa khawatir pasti akan selalu ada, misalnya takut kalau buah hati mereka akan terus mengalami patah tulang hanya karena beraktivitas ringan.

 

Namun faktanya, anak dengan OI bukan tidak mungkin dapat beraktivitas seperti biasa, memiliki masa depan yang cerah, dan berkarier selayaknya orang-orang pada umumnya. Yang terpenting, untuk mencegah kompikasi yang mengakibatkan disabilitas, mengoptimalkan tumbuh kembang, serta meningkatkan kualitas hidup, perlu dilakukan penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan oleh tenaga ahli.

 

“Tentunya dokter akan memberikan pengobatan untuk menguatkan tulang terlebih dahulu. Jika sudah diterapi, anak akan bisa berjalan. Ini hanya masalah waktu. Terapi dan pengobatan, serta jangka waktunya  tergantung pada tipe OI yang diderita,” ungkap dr. Dana.

Baca juga: Kenali Penyebab dan Gejala Kanker Tulang
 

Lalu bagaimana selanjutnya? Setiap tahun akan dievaluasi kondisi pasien. Jika ketebalan tulang sudah cukup normal, maka tim ahli akan berdiskusi apakah tulang dapat direkonstruksi dan lain-lain. Postur tubuh pun akan jadi lebih baik setelah menjalani fisioterapi.

 

Bagi para wanita, dr. Dana menyarankan untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang kaya akan kalsium dan vitamin D. Pasalnya, wanita yang memiliki genetik OI dapat menurunkan masalah ini kepada anaknya sebesar 25%. Jangan lupa untuk terpapar matahari setiap hari, karena sinar matahari merupakan sumber terbesar vitamin D. (AS)