IBD atau Inflammatory Bowel Disease adalah penyakit radang usus kronis yang menyebabkan peradangan jangka panjang pada saluran cerna. Kondisi ini mencakup dua bentuk utama, yakni Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn, yang memiliki karakteristik dan komplikasi berbeda.
Kolitis Ulseratif menyerang usus besar dan rektum dengan peradangan di lapisan mukosa, sementara Penyakit Crohn dapat muncul di seluruh saluran cerna dengan peradangan yang lebih dalam dan tidak merata.
IBD kerap memunculkan gejala seperti diare, nyeri perut, penurunan berat badan tanpa sebab, demam, mudah lelah, hingga BAB berdarah. Sifatnya yang progresif, menjadikan deteksi dini sangat penting untuk mencegah komplikasi serius di kemudian hari.
Dalam rangka edukasi terkait IBD, Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI), dengan didukung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan PT Takeda Indonesia melangsungkan edukasi media yang berjudul “Kenali IBD (Inflammatory Bowel Disease): Penyakit Radang Usus yang Perlu Diperhatikan”, dalam rangka memperingati Pekan Kesadaran Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn yang jatuh pada 1-7 Desember setiap tahunnya.
Kegiatan yang berlangsung di Jakarta, 9 Desember 2025, bertujuan membantu masyarakat mengenali gejala awal, memahami terapi yang tersedia, serta memberi ruang bagi suara para pejuang IBD untuk mendorong kualitas hidup yang lebih baik.
IBD Sering Muncul Tanpa Gejala
Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, MMB, SpPD, K-GEH, FACP, FACG, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroenterohepatologi, menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala IBD.
“IBD sering kali muncul dengan gejala yang sangat umum seperti diare, nyeri dan kram perut, mudah lelah, demam, BAB berdarah, sampai penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas. Oleh karena itu, banyak pasien yang tidak segera memeriksakan diri,” jelasnya.
Gejala yang ditimbulkan oleh IBD menyebabkan gangguan langsung pada aktivitas sehari-hari pasien, serta memiliki dampak jangka panjang, termasuk pembatasan diet, perubahan gaya hidup, dan kebutuhan untuk selalu berada dekat dengan toilet.
Dampak yang lebih luas meliputi gangguan pada pekerjaan, sekolah, pengasuhan anak, aktivitas sosial dan rekreasi, hubungan interpersonal, serta kesejahteraan psikologis. Perjuangan melawan IBD diceritakan oleh Steven Tafianoto Wong.
“Perjalanan saya sebagai pejuang IBD dimulai dari keluhan yang saya kira hanya gangguan pencernaan biasa. Tapi seiring waktu, gejalanya semakin sering muncul dan mulai mengganggu aktivitas sehari-hari. Saat akhirnya mendapat diagnosis, saya harus belajar menyesuaikan banyak hal: mulai dari pola makan, aktivitas, sampai ritme kerja. Meski tidak mudah, saya ingin berbagi bahwa pasien IBD tetap bisa menjalani hidup yang produktif. Dengan mengikuti anjuran dokter, disiplin pada pengobatan, menjaga gaya hidup, dan terus mencari informasi yang benar.”
Penanganan IBD
Menurut Prof. Ari. jika tidak segera ditangani, penyakit IBD dapat berkembang menjadi komplikasi yang berat bahkan kanker kolon. Mendeteksi IBD lebih awal memungkinkan pasien mencegah terjadinya komplikasi. Pemeriksaan dapat meliputi pemeriksaan riwayat pasien, fisik, laboratorium, endoskopi, biopsi, serta pemindaian (CT scan dan MRI.
Sedangkan untuk terapi, Prof. Ari menambahkan, saat ini berbagai pilihan terapi sudah tersedia di Indonesia, mulai dari obat simptomatik, hingga terapi definitif, termasuk pilihan terapi biologis.
Terapi seperti agen biologis dapat membantu mengendalikan peradangan secara lebih terarah, namun penggunaannya tetap perlu disesuaikan dengan kondisi pasien dan rekomendasi dokter.
“Agar pasien dapat mempertahankan kualitas hidup yang baik, deteksi dini serta kepatuhan pasien terhadap terapi yang direkomendasikan memegang peranan yang sangat penting,” jelas Prof. Ari.
