Memastikan kondisi anak agar selalu baik-baik saja memang sudah menjadi kewajiban setiap orang tua. Tidak heran jika beberapa orang tua berusaha untuk sebisa mungkin selalu ada di dekat anak dan mengawasi segala gerak-geriknya demi memastikan kondisi anak agar tetap baik-baik saja.

Pola pengasuhan orang tua yang selalu mengawasi dan mengontrol tingkah laku anak seperti ini dikenal dengan pola pengasuhan helikopter atau helicopter parenting. Lantas, apakah pola pengasuhan ini benar-benar baik untuk perkembangan anak?

 

Baca juga: 6 Kebiasaan Salah dalam Mendidik si Kecil

 

Apa yang Dimaksud dengan Helicopter Parenting?

Layaknya sebuah helikopter yang sedang terbang, tak akan berada jauh dari jangkauan lokasi yang sedang dalam pengawasannya. Yup, seperti inilah helicopter parenting. Pola pengasuhan ini dicirikan dengan keberadaan orang tua yang selalu berada dalam jangkauan anak. Tujuannya agar orang tua bisa dengan mudah memerhatikan dan mengawasi gerak-gerik anak, sekalipun sang anak sebenarnya tidak sedang dalam kondisi yang berbahaya.

 

“Orang tua yang menerapkan helicopter parenting biasanya akan selalu terlibat, khawatir, dan terus menerus ingin membantu dalam kehidupan anak,” ujar Fran Walfish, PsyD, psikoterapi keluarga di Beverly Hills, California serta penulis buku The Self-Aware Parent. 

 

Ann Dunnewold Ph.D., psikolog dan penulis buku Even June Clever Would Forget the Juice Box, juga menyebut jika pola asuh helikopter ini sebagai pola asuh yang mengarahkan orang tua pada sikap  overcontrolling, overprotecting, dan overperfecting. 

 

Beberapa contoh helicopter parenting yang sering terjadi misalnya anak harus selalu bersama orang tua, tidak boleh pergi jauh-jauh, memilih kegiatan di sekolah sesuai pilihan orang tua, bahkan memilih mainan harus dipilihkan orang tua. Semua ini biasanya didasari dengan alasan bahwa pilihan orang tua adalah pilihan yang terbaik untuk anak.

 

 

Apa Penyebab Orang tua Menerapkan Helicopter Parenting?

Helicopter parenting bisa terjadi karena sejumlah alasan. Dilansir dari parents.com, berikut 4 faktor umum yang menyebabkan orang tua menerapkan helicopter parenting:

  • Takut konsekuensi buruk yang akan terjadi pada anak

    Nilai yang rendah, tidak memiliki teman, atau tidak bisa memperoleh pekerjaan, tentu bisa menjadi mimpi buruk bagi seseorang, terlebih jika ini dialami oleh anak. Akan terasa semakin menyedihkan jika menurut orang tua sebenarnya hal tersebut dapat dicegah apabila mereka terlibat. Nah, untuk menghindari kondisi buruk ini, orang tua akhirnya berusaha untuk lebih mengawasi serta mengontrol perilaku anak.

  • Adanya perasaan cemas

    Kecemasan tentang lingkungan, perekonomian, dan segala hal yang ada dalam kehidupan mendorong orang tua untuk mengambil kendali lebih besar atas kehidupan anak dengan alasan untuk melindunginya.

  • Pengalaman masa lalu

    Pengalaman orang tua yang merasa tidak dicintai, diabaikan, atau tidak diperhatikan saat mereka kecil bisa membuat mereka menerapkan pola asuh helikopter ketika memiliki anak. Orang tua merasa dengan menerapkan helicopter parenting, mereka dapat memastikan bahwa kebutuhan anak akan selalu terpenuhi, mulai dari perhatian hingga kebutuhan finansialnya.

  • Adanya pengaruh dari orang lain

    Melihat orang tua lain yang selalu terlibat dalam setiap kegiatan dan kehidupan anak tidak jarang membuat seseorang menjadi terpengaruh. Alhasil orang tua mencoba untuk menerapkan pola asuh tersebut ke anak-anak mereka tanpa tahu dampak yang mungkin terjadi nantinya.

Baca juga: Daripada Memukul, Lakukan Hal Ini saat Menghadapi Anak yang Sulit Diatur

 

Apa Saja Dampak Helicopter Parenting?

Kebanyakan orang tua memulai helicopter parenting karena tujuan yang baik, agar anak terhindar dari hal-hal negatif. Dan memang, helicopter parenting bisa memiliki beberapa manfaat positif bagi anak, seperti meningkatnya perasaan sayang dan penerimaan anak, membangun kepercayaan diri, dan memberikan bimbingan saat anak tumbuh .

Namun, di lain sisi, pola pengasuhan ini juga bisa menjadi bumerang bagi para orang tua. Pasalnya, jika helicopter parenting diterapkan karena alasan rasa takut orang tua hingga tidak mempertimbangkan lagi hal-hal yang harus dipelajari oleh anak, maka bisa melahirkan dampak negatif bagi perkembangan anak itu sendiri. Berikut beberapa dampak negatif dari penerapan helicopter parenting:

  • Penurunan kepercayaan diri dan harga diri

    Dalam helicopter parenting, orang tua selalu memiliki kendali terhadap anak-anak mereka. Semua keputusan selalu dibuat oleh orang tua. Kondisi ini membuat anak merasa jika dirinya tidak mampu untuk memutuskan segala hal dalam hidupnya. Akibatnya, anak tidak lagi memiliki kepercayaan akan dirinya sendiri.

  • Tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah

    Jika orang tua selalu memberi solusi atau bahkan turun tangan setiap kali anak memiliki masalah, kapan ia akan belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri? Penelitian menemukan bahwa mengasuh anak dengan helicopter parenting, akan membuat anak kehilangan kemampuannya dalam menghadapi tekanan hidup yang mereka alami.

  • Tingkat kecemasan yang lebih tinggi

    Sebuah penelitian dari University of Mary Washington menunjukkan bahwa overparenting dikaitkan dengan tingkat kecemasan dan depresi anak yang lebih tinggi.

  • Cenderung lebih egois

    Anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan helikopter parenting akan selalu memperoleh apapun yang dibutuhkannya. Mereka akan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan kondisi seperti ini, maka bukan tidak mungkin jika anak akan tumbuh dengan sikap yang egois. Mereka menganggap jika semua orang sama seperti orang tuanya yang harus meluluskan keinginannya.

  • Keterampilan anak tidak akan berkembang

    Pola helicopter parenting juga akan membuat keterampilan anak dalam melakukan segala sesuatu menjadi terhambat. Hal ini karena orang tua tidak memberi kesempatan pada anak untuk bisa mengembangkan keterampilan tersebut. Misalnya, di saat anak seharusnya sudah bisa mencuci piring makannya sendiri, orang tua justru tidak memperbolehkannya hanya karena orang tua takut jika anak memecahkan piring dan pecahan tersebut melukainya.

    Jika kondisi ini terus berlanjut seiring usia anak, maka lama kelamaan anak akan tumbuh dewasa dengan sifat yang tidak mandiri. Mereka akan selalu mengandalkan orang tuanya karena mereka tidak memiliki keterampilan untuk mengurus hidupnya sendiri.

 

Menjaga anak memang menjadi kewajiban orang tua. Memastikannya selalu dalam keadaan baik juga merupakan prioritas orang tua. Namun, jangan sampai orang tua terlalu memegang kendali atas hidup anak. Bagaimanapun juga, anak perlu belajar untuk memahami kemampuan dirinya sendiri, baik dalam melakukan aktivitas maupun saat mengambil keputusan. (BAG/AY)

Baca juga: Kurang Waktu Bermain Membuat Anak Mudah Cemas dan Depresi

 

Tips Menumbuhkan Percaya Diri Anak -GueSehat.com