Memiliki fantasi dan imajinasi yang luas, memang wajar terjadi pada anak-anak. Berbagai dongeng dan kisah fiktif bisa ‘hidup’ di mata anak-anak. Di tengah suasana Natal seperti ini, ada satu tokoh fiktif yang turut terbentuk dan menjadi ikon yang sangat dikenal oleh anak-anak. Ya! Siapa lagi kalau bukan Santa Claus atau Sinterklas. Kisahnya bahkan tersebar di seluruh dunia sepaket dengan perayaan Natal yang dirayakan setiap tahun. Anak-anak percaya jika pada malam Natal, Santa Claus akan datang membawakan hadiah untuk anak yang baik. Mereka bahkan percaya bahwa Santa Claus akan meletakkan kadonya di bawah pohon Natal yang dipajang di rumah. Anak-anak sama sekali tidak terpikirkan kalau kado tersebut sebenarnya bukan diberikan dari Santa Claus. Barulah setelah dewasa mereka baru sadar Fakta Santa Claus hanya kisah fiktif yang tidak nyata. Apakah ada akibat negatif dari kebohongan ini? Meski terdengar sepele, menanamkan kisah yang tidak nyata seperti Santa Claus pada anak ternyata memiliki dampak yang buruk bagi perkembangan psikisnya. Beberapa ilmuwan bahkan secara intensif meneliti dampak-dampak yang bisa timbul dari kisah fiktif Santa Claus.

Kisah Santa Claus merupakan kebohongan yang berbahaya bagi anak-anak

Jika ternyata kado yang didapatkan anak di bawah pohon Natal tersebut sebenarnya berasal dari Anda, maka sama saja Anda membohongi anak. Meski kebohongan tersebut bertujuan baik, yaitu agar Si Kecil menjadi anak yang berperilaku baik selama 1 tahun, peneliti mengatakan apapun bentuknya, kebohongan orangtua tidak baik bagi perkembangan anak-anak. Misalnya, ketika anak sadar bahwa dirinya telah dibohongi maka akan timbul rasa kecewa bahwa ternyata hal yang telah dipercayanya hanya fiktif belaka. Akan timbul trauma yang membuat anak menjadi sulit percaya pada orang tua. Orangtua pun salah mengajarkan mengenai kebaikan. Anak-anak berbuat baik karena ingin hadiah dari Santa Claus, bukan karena nilai kebenaran dan kebaikan itu sendiri. Padahal, kebiasaan berbuat baik harusnya diajarkan bersama dengan penanaman moral baik pada diri anak.

Dapat memengaruhi konsep kejujuran pada anak

Menanamkan nilai kejujuran memang harus dilakukan sejak dini. Caranya pun harus disesuaikan dengan usia anak yang biasanya dibantu dengan cerita dan dongeng. Namun, jika penanaman nilai kejujuran tersebut diceritakan melalui tokoh fiktif yang sebenarnya tidak ada, apakah akan tetap berdampak baik pada anak? Sebuah situs debat www.debate.org baru-baru ini mengangkat topik mengenai “ Etis atau tidakkah orangtua berbohong kepada anak tentang karakter fiktif seperti Santa Claus, Kelici Paskah, dan Peri Gigi?” Dari topik tersebut terkumpul hasil voting dengan 58% mengatakan bahwa kisah tersebut sebenarnya tidak etis untuk diceritakan. Bahkan salah satu dari koresponden mengatakan bahwa berbohong kepada anak-anak berarti mendorong mereka untuk berbohong juga pada Anda. Menurutnya, anak-anak pada dasarnya akan mencontoh dan belajar dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya. “Berbohong untuk memanipulasi anak adalah perbuatan yang jelas salah. Ini dapat menciptakan ketakutan irasional pada anak dan dapat berlangsung hingga seumur hidup,” jelas salah satu koresponden dalam pembahasan debat tersebut. Bagaimanapun, kejujuran merupakan dasar yang sangat diperlukan untuk dapat berhubungan baik dengan orang lain. Terkait dengan kisah Santa Claus, orang tua sebaiknya bisa menjelaskan dengan baik bahwa figur Santa Natal ini adalah mitos yang tidak nyata, sama seperti kisah cerita rakyat di Indonesia seperti Jaka Tarub atau bawang merah bawang putih. Kisah fantasi memang normal dan tidak salah bagi perkembangan anak.Tapi Anda juga harus paham bahwa mereka juga perlu diajarkan untuk membedakan kisah fantasi dan dunia nyata.