Mengurus anak hampir 24 jam, ditambah mengurus suami, belum lagi jika harus bekerja? Aduuuh, pasti lelah bukan main. Seorang wanita layak menyisihkan me time atau waktu untuk memanjakan diri. Pergi berlibur, ke salon, atau menyalurkan hobi bisa menjadi me time untuk meredakan stres dan kelelahan sejenak.

 

Namun, apakah faktanya begitu? Teman Bumil, aplikasi untuk ibu Indonesia, melakukan studi kualitatif dan kuantitatif pada lebih dari 600 responden pria dan wanita menikah berusia 20-40 tahun. Hasilnya cukup mengejutkan. Di samping fakta bahwa setiap ibu sepakat memerlukan me time, mereka bukan memilih kegiatan rekreasi, melainkan bekerja.

 

Bekerja Dianggap Sebagai Me Time

Jika diartikan secara harfiah, me time adalah waktu yang dihabiskan sejenak untuk melakukan kegiatan yang digemari. Me time sering dikaitkan sebagai bentuk apresiasi atau relaksasi, di tengah tuntutan tugas atau peran seseorang di dalam kehidupannya. Walaupun tidak eksklusif dialamatkan untuk wanita, istilah ini sering dikaitkan pada wanita dengan beragam perannya menjadi seorang menjadi istri dan ibu.

 

Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani S.Psi., M.Si., mengistilahkan me time seperti grounding, atau “membumikan diri. “Pikiran ibarat sungai yang besar dengan volume air yang banyak dan terus mengalir tanpa henti. Ketika air sungai bermuara di sebuah danau atau kolam, semua kotoran yang tadinya ikut berputar mengikuti arus air, akan mengendap dan air akan menjadi jernih,” jelasnya.

 

Me time itulah yang berfungsi untuk “mengendapkan” rasa lelah, suntuk, bosan, atau bahkan frustasi. Dengan meluangkan waktu untuk diri sendiri dan melakukan kegiatan yang disenangi, membuat seseorang dapat menyegarkan kembali pikirannya.

 

Teman Bumil melakukan survei kepada lebih dari 600 responden, dengan tujuan mencari tahu apakah para ibu memang perlu me time, apa saja bentuk me time yang dilakukan, serta persetujuan suami.

 

Ternyata sebagian besar menjawab “bekerja”, “berwirausaha”, “melanjutkan karier, atau “ingin memiliki usaha”, sebagai respons atas pertanyaan survei “Jika bisa melakukan apa saja selain mengurus urusan suami dan anak, apa rencana Mums?”. Responden yang menjawab, rata-rata telah memiliki buah hati berusia 0-5 tahun dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

 

Baca juga: Menikah Itu Tidak Main-main

 

Kepuasan memiliki me time dalam wujud bekerja, juga diungkapkan oleh peserta focus group discussion (FGD) yang terdiri atas 5 pasang suami-istri berusia 20-40 tahun. Dimoderatori oleh psikolog Intan Indira Riauskina, S.Psi., M.Sc., Ph.D.

 

Para peserta FGD ini pun mengamini bahwa kesempatan bekerja yang sampai saat ini bisa mereka jalani, adalah sebuah momen me time yang efektif. Belum ada rencana mereka untuk pergi berlibur bersama teman, tanpa anak-anak.

 

Inka, karyawati di industri advertising, yang telah menikah selama 8 tahun dan memiliki putra berusia 3 tahun menuturkan pengalamannya. “Bekerja menjadi bentuk me time untuk saya, karena saya punya ruang buat diri sendiri. Selain itu, adanya ruang atau jarak dengan anak sejenak, justru bisa lebih tenang memikirkan kebutuhan-kebutuhan anak,” paparnya.

 

Di saat bekerja itulah mereka, para ibu muda, memanfaatkan waktu untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Seperti yang dilakukan Rika, content writer yang telah menikah selama 3 tahun dan dikaruniai seorang putri berusia 22 bulan. Dengan penghasilannya sendiri, ia bisa me time dan memanjakan diri sejenak, meski harus mencuri waktu di sela-sela pekerjaan.

 

Bagaimana me time seorang ibu rumah tangga? Vibriyanti, peserta FGD yang telah dikaruniai dua anak dan kini berprofesi sebagai wiraswasta, justru sangat menikmati kehidupannya kini sebagai ibu rumah tangga.

 

Baginya, masa penuh hedon sudah ia puaskan saat lajang. “Sebelum jadi ibu, saya adalah orang yang senang berlibur dan wisata kuliner. Setelah jadi ibu, aktivitas itu sebenarnya tak harus serta-merta berhenti. Karena tak bisa dipungkiri, pasti akan kangen dengan masa-masa seperti itu. Sebagai solusinya, ketika harus ke luar kota untuk urusan pekerjaan, saya maksimalkan sekalian untuk memenuhi hasrat berlibur dan plesir yang saya senangi dari dulu,” ungkapnya.

 

Baca juga: Ingin Menikah di Usia Dini? Pahami Dulu Dampaknya

 

Me Time Haruskah Disertai Rasa bersalah?

Pengakuan lain para ibu muda ini terkait pilihan me time mereka, yaitu rasa bersalah kepada anak. Ibu bekerja umumnya meninggalkan anak dari pagi sampai malam hari. Sampai rumah bisa pukul 21.00. Maka untuk meninggalkan mereka lebih lama lagi, misalnya dengan berlibur tanpa anak, bukan pilihan saat ini.

 

Rasa bersalah para ibu ketika pergi me time, juga diiyakan oleh 79% responden survei. Jawaban yang menyertai pilihan tersebut adalah kekhawatiran anak tidak terurus dengan baik, kebutuhan suami tidak terpenuhi, dan hilangnya waktu berharga dengan anak.

 

Anna Surti mengatakan, memang akan ada begitu banyak variabel yang perlu dipertimbangkan oleh seseorang yang sudah dewasa-terutama bagi wanita yang telah menjadi istri dan ibu, untuk mengambil me time-nya. “Secara logika, ia harus memastikan bahwa semua urusan rumah tangga dan anak sudah terpenuhi dengan baik, sebelum memenuhi hak me time-nya,” jelasnya.

 

Namun sebenarnya, me time sangat dibutuhkan oleh siapa saja, terutama para istri dan ibu. “Jadi jangan disepelekan. Penting diingat, ketika menyadari bahwa me time adalah sebuah kebutuhan, maka tidak perlu merasa bersalah untuk melakukannya.” jelas Anna.

 

Apalagi saat ini di mana kesetaraan hak yang sama antara suami dan istri sudah semakin dipahami. Pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu, tetapi juga suami. Semakin banyak suami yang memberikan restu untuk istri melakukan me time.

 

“Karena sehari-hari saya sibuk bekerja, waktu dengan anak memang kurang. Nah, ketika istri meminta waktu untuk pergi dengan teman-temannya, malah jadi kesempatan untuk saya menebus waktu yang hilang bersama anak-anak,” cerita Hendrik, suami dari 2 anak dan telah menikah selama 9 tahun.

 

Lain lagi Irsan. “Saya bahkan menawarkan istri saya untuk berkumpul dengan teman-temannya atau liburan ke luar kota tanpa saya dan anak. Asal, rencana tersebut diberitahukan dari jauh-jauh hari. Karena saya merasakan dan melihat sendiri, bahwa ia pulang dalam kondisi yang lebih bahagia setelah me time. Dan, seorang istri tetap perlu memiliki lingkaran pertemanan yang sehat,” ujar karyawan bank swasta yang telah menikah selama 8 tahun dan memiliki putra berusia 3 tahun ini.

 

Anna Surti menekankan bahwa selain me time, penting bagi seorang istri memiliki grup pertemanan setelah menikah dan memiliki anak. Karena selain menjadi sumber dukungan, juga sebagai media pendukung untuk bertumbuh bersama.

 

“Karena, pasti akan datang saatnya kita membutuhkan teman bicara selain suami. Jika pertemanan tersebut tak dirawat dengan baik, maka akan sulit untuk mengakses kembali pertemanan itu saat dibutuhkan,” jelas Anna.

 

Baca juga: Pria Rentan Selingkuh Saat Istri Hamil, Benarkah?

 

 

 

Referensi

Wawancara eksklusif melalui metode focus group discussion dengan 5 pasang suami-istri yang dimoderatori oleh Intan Indira Riauskina, S.Psi., M.Sc., Ph.D.

Wawancara eksklusif dengan Anna Surti Ariani S.Psi., M.Si.