Tak perlu dimungkiri, kita tetaplah manusia biasa saat sudah menjadi orang tua dan akan sangat bisa marah kepada anak kita sendiri. Namun ingat, tujuan utama memarahi si Kecil adalah untuk mengoreksi kekhilafan yang dilakukan dalam proses belajar mereka. Bukan sebagai jalan keluar untuk menuntaskan rasa marah akibat pekerjaan kita, rasa kesal terhadap pasangan, atau bahkan luka lama dari masa kecil kita akibat pola asuh yang salah dari orang tua terdahulu.

 

Itulah kenapa, walau rasa hati ingin menuntaskan rasa marah yang berkecamuk di dada, tetaplah ingat bahwa si Kecil menjadi subyek kemarahan kita, dan itu akan sangat membekas di ingatannya. Dan perlu Mums tahu, suatu hal atau kejadian yang terjadi berulang selama usia prasekolah atau 3-5 tahun, akan tersimpan menjadi memori jangka panjang yang akan ia ingat berkelanjutan. 

 

Selain itu, apa dan bagaimana orang tua biasa bertindak, akan menjadi bagian integral untuk perkembangan jiwa anak. Termasuk bagaimana cara orang tua berbicara pada anaknya, akan menjadi suara batin (inner voice) untuk anak. Yang mana, suara inilah yang mereka dengar untuk menentukan apa yang terasa benar dan apa yang terasa salah untuk mereka lakukan hingga dewasa kelak.

 

Maka, yuk mulai bijak memilih ucapan ketika kita tergoda untuk melampiaskan emosi pada anak. Caranya, bisa Mums mulai dengan menghindari kalimat berikut ini.

 

 1. “Berhenti nangis sekarang!”

 

Bagi si Kecil di usia 4-5 tahun, tangisan adalah refleksi emosi ketika ia merasa frustasi, malu, atau cemburu. Bentuk emosi tersebut sangatlah sulit untuk diutarakan dalam bentuk verbal, sehingga tak heran ketika Mums bertanya kenapa ia menangis, tangisannya justru akan semakin kencang. 

 

Sayangnya, dengan mengatakan kalimat untuk berhenti menangis, malah membuat anak semakin terpuruk, karena ia merasa telah salah untuk memiliki emosi. Lebih baik, tenangkanlah si Kecil dengan kalimat seperti, “Dek, Mama ga ngerti kalau Adek ngambek sampai nangis kencang begitu. Coba sekarang Adek kasih tau mama, Mama tadi bikin salah apa sama Adek?”

 

Baca juga: Sulit Bercinta Saat Ada Anak-anak di Rumah? Ikuti Tips Berikut!

 

 2. “Mama kecewa sama kamu”

 

Bayangkan, jika seseorang yang kita paling sayangi, paling kita andalkan, paling kita inginkan, namun mengatakan kalimat ini di depan muka kita. Hancur? Ya, begitu pula yang dirasakan oleh si Kecil. 

 

Ditambah lagi, kalimat ini diucapkan ketika si Kecil sedang berada dalam masalah dan berbuat salah. Tak pelak, kalimat ini justru akan membuatnya semakin terpuruk dan rendah diri. 

 

Kecewa boleh saja kok, Mums. Namun, ungkapkanlah dengan pernyataan yang lebih baik, seperti, ”Kak, tau kan, yang kakak lakuin salah? Kasih tau Mama dong, kenapa sih, Kakak ngelakuin itu?”.

 

 3. “Nakal banget sih, kamu!”

 

Percaya atau tidak, anak akan menjadi apa yang orang tuanya katakan. Dengan begitu, jika ucapan ini sering Mums atau Dads bilang saat si Kecil bertingkah atau melakukan kesalahan, lama-kelamaan ia pun akan percaya bahwa ia benar seorang anak yang nakal. 

 

Perlu diingat, jangankan anak kecil, kita pun sebagai orang dewasa kerap melakukan kesalahan. Namun,  kesalahan itu tidak serta-merta menjadikan kita seorang pribadi yang buruk, kan? Maka, jangan teruskan kesalahan itu pada si Kecil, ya. Cobalah ganti kalimat tersebut dengan ucapan seperti, “Yang barusan Adek bikin itu ga baik, lho. Lain kali jangan begini lagi, ya, nak.”.

 

Baca juga: Haruskah Anak-anak Dicek Tekanan Darahnya?

 

 4. “Mama udah melakukan segalanya buat kamu!”

 

Pertama, mari kita kembali ke awal dari segalanya. Apakah si Kecil meminta untuk dilahirkan? Apakah si Kecil memilih orang tua mana yang menjadi mama atau papanya? Apakah si Kecil meminta Mums dan Dads untuk melakukan segala hal untuknya? Jujur saja, semua pertanyaan barusan jawabannya tidak, kan?

 

Maka dari itu, rasanya kalimat “Sudah melakukan segalanya” ketika Mums merasa kelelahan atau marah padanya, kurang tepat. Karena bukannya menumbuhkan rasa simpati, si Kecil bisa saja merasa bahwa ia adalah sebuah beban bagi orang tuanya. Duh...

 

 5. “Anak laki-laki ga boleh nangis!”

 

Entah dari mana semua ini bermula, namun stereotip bahwa laki-laki tidak boleh menunjukkan sisi emosional ini sangatlah meresahkan. Pasalnya, terlepas dari apa gendernya, semua manusia memiliki emosi dan menunjukkan itu adalah hal yang sangat wajar. 

 

Justru, dengan menegakkan paham bahwa anak laki-laki dilarang untuk menangis, membentuk mereka menjadi pribadi yang mudah tertekan hingga bisa mengantarkan mereka ke gerbang depresi, serta menumpulkan kemampuan mereka untuk bersimpati pada orang lain. Ketimbang mengatakan seperti itu, Mums bisa mengubahnya menjadi, “Kakak kenapa sedih? Sini nak, Mama peluk.”

 

Baca juga: Benar Enggak Marah-Marah Bisa Menyebabkan Hipertensi?

 

 

Sumber:

Peace Quarters. You Should Never Talk This to Children.

BBC. Boys Shouldn’t Cry?