Stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit kardiovaskular. Di Indonesia, stroke menjadi penyebab kematian utama. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, prevalensi stroke di Indonesia meningkat dari 7 per 1000 penduduk pada tahun 2013, menjadi 10,9 per 1000 penduduk pada tahun 2018.

 

Risiko stroke meningkat pada orang yang memiliki hipertensi, diabetes, merokok, atau kelebihan berat badan atau obesitas. Stroke dapat menyebabkan kematian atau kecacatan penderitanya.  Dari sisi pembiayaan, stroke menjadi salah satu penyakit katastropik dengan pembiayaan terbesar ketiga setelah penyakit jantung dan kanker, yaitu 3.23 triliun rupiah pada tahun 2022. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2021 yaitu sebesar 1,91 triliun.

 

Serangan Stroke Butuh Penanganan Segera

Salah satu tantangan dalam penanganan stroke adalah mendeteksi dan melakukan penanganan stroke secepat mungkin. Dalam stroke dikenal periode emas, di mana semakin cepat ditangani, semakin baik hasil terapinya.

 

Dr. Paulus Raharjo, SpRad(K), CCD dari National Hospital Surabaya mengatakan, “Penanganan stroke membutuhkan kecepatan dan ketepatan diagnosis terutama di periode emas penanganan stroke yaitu 3 sampai 4,5 jam setelah terjadi serangan untuk mengurangi risiko kematian dan kecacatan permanen. Jika serangan stroke dapat dikenali lebih dini dan mendapat pertolongan sesegera mungkin, maka dampak buruk dari penyakit ini dapat diminimalkan.”

 

Teknologi kedokteran terbaru dibutuhkan untuk mempercepat pelayanan pasien stroke. National Hospital Surabaya belum lama ini mengenalkan implementasi teknologi terbaru dengan artificial intelligence yang diharapkan dapat membantu mempercepat layanan waktu deteksi stroke hingga 60% dengan hasil yang lebih tajam dan jernih.



Teknologi terbaru yang dimaksud adalah MRI 3T dengan artificial intelligence yang menjadi layanan unggulan di Neuroendovascular Center (Aneurisma, Varises Otak, Stroke), National Hospital Surabaya.

Ditambahkan dr. Paulus, saat ini, radiologi sangat berkembang, salah satunya yang sangat mencolok adalah intergrasinya dengan kecerdasan buatan (Artificial Inteligence).

 

“AI kini menjadi sekutu berharga bagi para dokter radiologi, meningkatkan akurasi dan efisiensi diagnostik sambil memungkinkan layanan pasien yang lebih komprehensif, mulai dari deteksi dini penyakit yang mengancam jiwa, menegakkan diagnosis pada kasus kegawatdaruratan dengan cepat dan tepat, sampai monitoring hasil pengobatan. Dokter radiologi sekarang dapat mengandalkan AI untuk membantu mereka dalam menafsirkan pemindaian dengan lebih cepat dan akurat. Hal ini menghasilkan diagnosis yang lebih cepat dan perawatan pasien yang lebih efektif dan efisien. Contohnya adalah penanganan kasus stroke. Kecepatan penanganan penyakit serius ini sangat menentukan keberhasilan terapi dan kesembuhan pasien,” papar dr. Paulus.

 

Teknologi MRT 3T dengan kecerdasan buatan ini dikembangkan oleh GE HealthCare dan untuk pertama kalinya hadir di Jawa Timur. MRI merupakan salah satu alat pemeriksaan yang sangat penting, terutama bagi penyakit stroke.

 

Senior Product Leader MRI, GE HealthCare, Gatot Santosa mengatakan, “MRI 3T dengan artificial intelligence ini memiliki beragam kelebihan yaitu waktu pengambilan yang lebih singkat, hasil yang lebih tajam dan lebih jernih. Hal ini membuat diagnostik menjadi lebih baik dan mencegah pengulangan deteksi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.”

 

Teknologi ini juga telah dikembangkan oleh 13 ahli dari seluruh dunia dimana 100% para ahli menyatakan teknologi ini mampu memberikan hasil yang jauh lebih baik dari teknologi generasi sebelumnya.

 

Selain itu, 21 radiologist dari 11 rumah sakit di 6 negara yang berbeda telah memberikan pengalaman setelah menggunakan teknologi ini. 90% mengatakan gambar lebih mudah dibaca, bisa dibaca lebih cepat dan mengurangi kelelahan mata, serta 80% mengatakan teknologi ini membuat pemeriksaan pasien menjadi lebih stabil.”



“Tidak hanya memberikan manfaat bagi pasien dengan hasil yang lebih akurat, namun teknologi ini juga memberi manfaat bagi para radiologis. AI tidak menggantikan dokter radiologi tetapi melengkapi keahlian mereka. Dokter radiologi tetap bertanggung jawab melakukan verifikasi akhir,” tutup Gatot Santosa.


Presiden Direktur PT GE Operations Indonesia, Putty Kartika menambahkan bahwa ketersediaan teknologi harus diiringi dengan peningkatan kapabilitas dari tenaga kesehatan yang akan menjadi pengguna. “Oleh karenanya, GE Healthcare memfasilitasi transfer of knowledge bagi tenaga kesehatan di National Hospital Surabaya,” jelas Putty.