Sejak akhir tahun 2015 lalu, garis hidup membawa saya bekerja di sebuah rumah sakit yang ada di tengah ibukota Jakarta. Sesuai passion dan latar belakang pendidikan, saya diposisikan menjadi seorang clinical pharmacist di Intensive Care Unit atau ICU. Tugas saya adalah memantau efektivitas dan efek samping terapi obat yang diterima pasien, serta memastikan tidak ada kejadian medication errors alias kesalahan dalam peresepan, penyiapan, dan pemberian obat , bekerja sama dengan para dokter dan perawat. Maklum, pasien ICU tuh mengalami kompleksitas penyakit yang luar biasa, sehingga obatnya juga bejibun jumlahnya. Delapan bulan mondar-mandir di ICU memberikan banyak pembelajaran buat saya. Dan pembelajaran itu bukan sekedar tentang dosis antibiotik, atau interaksi obat, atau kompatibilitas lini infus.

Saya belajar tentang cinta di rumah sakit.

Masih jelas dalam ingatan saya ketika suatu siang saya sedang bersama seorang pasien yang baru saja mengalami subarachnoid haemorrhage. Pada kondisi ini, pembuluh darah yang ada di salah satu area otak yang disebut subarachnoid mengalami ruptur alias ‘pecah’, sehingga terjadilah pendarahan di dalam kepala. Bapak ini terpaksa terbaring lama di ICU untuk memulihkan kondisinya paska pembedahan kepala yang ia alami untuk mengeluarkan darah akibat perdarahan tadi. Saat jam kunjungan, sang istri datang. Maklum, di ICU jam kunjungan sangat dibatasi, hanya 4 jam dalam sehari, dan bahkan keluarga inti pun hanya dapat bertemu pasien saat jam kunjungan tersebut. ‘Halo, Sayang!’ sapa sang istri dengan ceria. Sang suami hanya bergumam lemah, sebagian karena ia masih ada dalam pengaruh sedatif. Sang istri mulai membelai suaminya, menceritakan banyak hal. Mulai dari pekan ulangan umum yang sedang dijalani putri mereka hingga kemacetan yang ia alami dalam perjalanan ke rumah sakit. Sang suami yang semula diam tiba-tiba meracau dengan kata-kata yang tidak jelas. ‘Sayang… Kamu ngomong apa.. Hehe… Ah, jangan-jangan dari tadi kamu nggak tahu yaa ini siapa yang datang?’ ‘Yani. Yani. Iya Yani.’ ‘Ah.. Kamu masih ingat aku. Syukurlah…’ Saya yang sedang melakukan pengecekan kecepatan infus obat terpaku mendengar percakapan itu. Hampir saja air mata saya tumpah, buru-buru saya tahan sekuat tenaga demi profesionalitas. Tak lama sang istri keluar, dan saya mengikutinya. Ia tersenyum pada saya, berkata bahwa ia ingin bertemu dokter yang menangani suaminya. Saat berhadapan dengan dokter, tiba-tiba semua keceriaan yang tadi ia perlihatkan di depan suaminya raib. Air matanya tumpah, isaknya tak tertahankan. Ah, begitu ingin ia berlaku tegar di depan suaminya, agar tidak menambah tingkat stres sang suami. Setelah menumpahkan semua kekhawatirannya akan kondisi suaminya, ia kembali ke ruangan suaminya dengan sangat ceria tanpa setetes air mata pun tersisa. Dan wajah ceria itu selalu ada walaupun sudah satu bulan suaminya belum pulih dan masih berada di ICU. Di tempat tidur yang lain, terbaring seorang pasien tumor otak yang baru saja mengalami kraniotomi alias pembedahan kepala untuk mengambil massa tumor di otaknya. Sepertinya penyakitnya juga menyebabkan kelainan saraf , sehingga ia selalu berontak dan sulit diajak berkomunikasi. Karena akan sangat berbahaya apabila ia berontak dan melepaskan semua monitor dan infusannya, tim kami memberikan injeksi obat penenang. Sungguh, baru kali ini saya melihat pasien yang tidak mempan diberikan obat penenang. Ia tetap berontak, nadi-nya cepat. Kami akhirnya memanggil istri pasien untuk membantu menenangkan, dan dalam hitungan detik setelah melihat dan memegang tangan sang istri, ia diam. Tenang. Tidak berontak. ‘Gile… Gue baru tahu kalau istri lebih mempan daripada haloperidol!’, demikian komentar salah satu perawat senior. Mendengar itu, sang istri tersenyum lemah pada saya dan berkata ‘Da biasana ngan berdua Teh di imah.. Upami abdi teu aya, meureun Bapak bingung nya…. (Karena biasanya kami hanya berdua di rumah Teh.. Sehingga kalau saya tidak ada (di sekitar Bapak), mungkin Bapak menjadi bingung (lalu berontak)’ jelas sang istri. Saya tersenyum pada adegan so sweet tersebut sambil menggoda sang Bapak apakah perawat-perawat ICU kurang cantik dibanding istrinya, sehingga ia tetap merindukan kehadiran sang istri di sisinya.

Ada lebih banyak lagi kisah-kisah cinta di rumah sakit yang kalau saya jabarkan sepertinya akan mengubah artikel ini menjadi novel.

Sambil mengamati pasien-pasien itu berinteraksi dengan pasangannya, terkadang ada satu pertanyaan yang selalu hadir menggelitik relung hati saya. Kalau aku adalah istri dari suami-suami yang terbaring lemah dan sakit dan tak berdaya ini, mampukah aku? Untuk terus mendampingi dan berjaga, walaupun pasangan terkasih berada dalam kondisi comma dan mungkin tak menyadari bahwa kita ada. Untuk terus memanjatkan doa, di tengah bunyi bising mesin ventilator dan monitor tensi dan denyut nadi. Untuk terus memberi support walau hati seperti disayat mendengar dokter berkata bahwa kondisi yang tersayang masih jauh dari kata sembuh. Dan yang terutama: untuk terus setia mencintainya hingga Tuhan yang memisahkan. Buat saya yang sedang mempersiapkan pernikahan ini, semua pengalaman tadi rasanya bagaikan pre-test yang Tuhan berikan untuk saya. Bahwa hal-hal yang rasanya beyond my imagination itu ternyata nyata, ada, terjadi. Dan bahwa itu semua akan sulit, saya sudah tahu. Tapi bahwa semua akan bisa dijalani dengan dasar yang namanya cinta, saya juga sudah lihat. Sungguh, saya bersyukur bisa berada di intensive care unit dan menjadi saksi dari apa yang disebut dengan cinta. Cinta yang levelnya sudah jauh dari sekedar kata-kata puitis nan gombal, belaian mesra berdasar nafsu semata, atau sebongkah berlian di cincin emas dua puluh empat karat. Karena ada cinta setia dalam untung dan malang, saat susah dan senang, sewaktu sehat maupun sakit. Dan ya, itu semua nyata. *** Kasus yang terjadi dalam cerita ini adalah nyata, namun nama pelaku saya samarkan untuk menghormati confidentiality pasien. Teriring doa saya untuk kesembuhan pasien-pasien yang saya ceritakan dalam artikel ini, juga rasa terima kasih tak terhingga atas pelajaran berharga yang diberikan kepada saya.