Penyakit

Neuralgia post herpetik

Deskripsi

Neuralgia Posherpetik (NPH) merupakan nyeri yang timbul sebagai komplikasi dari herpes zoster. Nyeri tipe neuropatik ini menetap atau timbul pada daerah ruam herpes zoster, biasanya muncul sekitar 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Nyeri neuralgia post herpetik didefinisikan seperti sensasi terbakar, tertusuk-tusuk, gatal, dan allodinia serta hiperalgesia.

 

Baca juga: Jangan Remehkan Nyeri Kepala

Pencegahan

Pencegahan awal biasanya tetap menggunakan vaksin herpes. Vaksin tersebut bisa menurunkan insiden AHZ 50% lbh rendah dari placebo. Dan vaksin juga secara signifikan menurunkan insiden neuralgia post herpetik rata-rata 2/3 dari plasebo. Jadi dengan diberikan vaksin sejak awal, bisa menurunkan potensi AHZ, dan bila AHZ masih tetap terjadi pun biasanya potensinya lbh kecil untuk berkembang menjadi neuralgia post herpetik.

 

Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.

 

Gejala

Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan (dideskripsikan sebagai rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten (nyeri seperti ditusuk, ditembak) dan/atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus seperti alodinia. Alodinia (nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) merupakan nyeri yang terdapat pada hampir 90% pasien NPH. Pasien dengan alodinia dapat menderita nyeri yang hebat setelah tersentuh baik dengan sentuhan yang paling ringan sekalipun seperti angin sepoi-sepoi ataupun selembar pakaian.

 

Biasanya alodinia terjadi jelas di daerah yang masih mempunyai sensasi, sedangkan nyeri spontan terjadi terutama di daerah yang sensasinya terganggu atau hilang. Hampir seluruh pasien memiliki sensasi abnormal pada raba halus, suhu, dan getar pada dermatom yang terkena. Pasien juga sering mengalami disestesia, hiperalgesia, anestesia dan parestesia yang kontinyu. Beberapa pasien dapat mengeluh gatal yang intens. Nyeri seperti ini dapat menimbulkan gangguan tidur, depresi, anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu aktivitas sehari-hari seperti berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan rumah dan dalam melakukan perjalanan.

 

Baca juga: Tips Mengatasi Kepala Senut– Senut

Penyebab

Setelah infeksi awal Varicella zoster, virus ini bisa bertahan di ganglia saraf cranial dan spinal dorsal root ganglia tanpa mencetuskan gejala selama bertahun-tahun. Kemudian karena faktor usia, stress, sakit, imun yang melemah, maka resiko acute herpes zoster pun meningkat. Walaupun gejala AHZ (Acute Herpes Zoster) mudah dihilangkan sekitar 2-4 minggu, tapi rata-rata 10% pasien berkembang menjadi Post Herpetic Neuralgia, dimana rasa nyeri kembali setelah lbh dari 3 bulan setelah onset ruam terjadi, rasa nyeri biasanya berasal dari area yang sama dengan ruam pada AHZ. Faktor risiko utama terjadinya NPH selain bertambahnya usia yaitu adanya nyeri prodromal, nyeri berat selama fase akut HZ, ruam kulit yang lebih parah, gangguan sensorik yang meluas pada dermatom yang terkena HZ, keadaan imunosupresi, keterlibatan mata, dan jenis kelamin perempuan

 

Diagnosis

Diagnosis NPH merupakan diagnosis klinis. Adanya riwayat Herpes Zoster diikuti nyeri yang menetap dikaitkan dengan dermatom yang terkena atau daerah yang berdekatan merupakan ciri khas NPH. Namun pada beberapa kasus tidak terdapat riwayat erupsi HZ. Pada kasus seperti ini diagnosis definitif berdasarkan pemeriksaan serologik serial yang kadang-kadang dapat dimungkinkan praktik klinis. Uji diagnostik ini berguna dalam penelitian yang dapat membantu dalam penetapan protokol terapi. Uji diagnostik ini meliputi uji sensoris kuantitatif, biopsi kulit dan uji konduksi saraf. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya, Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus. Terdapat Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus, Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi, Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster. Pengukuran antibodi terhadap herpes zoster bisa dilakukan, dimana peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.

Penanganan

Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Antivirus merupakan pilihan utama tatalaksana infeksi Herpes Zoster yang berperan pada perkembangan komplikasi neuralgia paska herpetika. Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.

 

Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri. Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic.

 

Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua.

 

Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Penelitian menunjukkan efikasi yang baik ditunjukkan pada penggunaan antiepilepsi sebagai tatalaksana neuralgia pos herpetika. Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan:

1) Memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium.

2) Meningkatkan efek inhibisi GABA.

3) Menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan.

 

Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.

 

Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. Pilihan farmakoterapi lain bisa dipertimbangkan seperti antidepresan, terapi topikal, hingga intervensi non farmakologis seperti akupunktur.

 

Baca juga: 10 Penyebab Sakit Kepala Disertai Mual yang Kamu Alami

 

Direktori

    Pusat Kesehatan

      Selengkapnya
      Proses...