Menikah dan berumah tangga tak hanya menyatukan dua individu, melainkan juga kedua keluarga. Tak jarang karena adanya perbedaan kebiasaan bahkan kebudayaan yang dibawa dari masing-masing keluarga, muncul beragam konflik dalam rumah tangga.

 

Selain konflik dengan pasangan, konflik dengan mertua juga menjadi salah satu permasalahan yang cukup umum terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Berdasarkan survei online yang dilakukan oleh Teman Bumil dan Populix kepada 995 responden Mums di seluruh Indonesia, sekitar 54% di antaranya mengaku sempat merasa kesulitan saat ingin menjalin hubungan baik dengan mertua.

 

Baca juga: Begini Cara Mendinginkan Kepala Saat Bertengkar dengan Pasangan!
 

Perbedaan Sifat dan Kebiasaan, Faktor Pemicu Konflik Mertua dan Menantu

Bagaimanapun juga, Mums dan mertua adalah orang yang tidak saling mengenal sebelumnya. Keduanya dipertemukan karena pernikahan Mums dan sang Anak. Tak heran, perlu banyak penyesuaian dan juga toleransi, baik bagi Mums, mertua, termasuk juga Dads.

 

Dalam situasi yang ideal, tentunya mertua dan menantu diharapkan bisa saling menerima perbedaan yang ada, sehingga terciptalah keharmonisan. Namun, tak bisa dipungkiri jika perbedaan latar belakang sifat, kebiasaan, dan lain-lain menjadi faktor yang membuat hubungan menantu dan mertua kerap menemukan hambatan. Hal ini pun diungkapkan oleh 36% Mums di Indonesia yang bersedia menjadi responden survei Teman Bumil dan Populix.

 

Tak hanya perbedaan sifat dan kebiasaan, adanya ekspektasi dari masing-masing pihak juga dapat memicu timbulnya konflik antara mertua dan menantu. "Terkadang mertua kan punya kriteria tertentu, ya. Sebenarnya dua-duanya sih, termasuk menantu juga, sudah punya asumi atau persepsi, inginnya punya anak atau mertua yang seperti apa. Nah, keinginan yang berbeda-beda itu yang biasanya bisa membuat ribut antara mertua dan menantu," jelas Psikolog Ajeng Raviando, dalam wawancara ekslusif yang dilakukan Teman Bumil pada Senin (24/5).

 

Tidak bisa dipungkiri jika setiap keluarga memiliki kebudayaan dan kebiasaan masing-masing yang mungkin berbeda dengan yang biasa kita lakukan. Karenanya, menurut Ajeng, masa orientasi selama pacaran atau sebelum menikah juga bisa menjadi bekal penting untuk menjalin relasi yang harmonis dengan mertua.

 

Selain itu, penting untuk diingat bahwa bagaimanapun juga, seorang menantu adalah 'new comer' dalam keluarga pasangan yang memang sebelumnya sudah memiliki kebiasaan tersendiri. Maka dari itu, kunci penting keharmonisan seorang menantu dan mertua adalah kesediaan menantu untuk bisa membuka mata, memperhatikan, dan mengobservasi kebiasaan-kebiasaan tersebut.

 

"Kan ya namanya orang baru, ya harusnya kan sebagai menantu yang berusaha untuk lebih mengenal, lebih memahami, kira-kira aturannya seperti ini. Ya pasti memang belum paham, tapi perlu menyesuaikan diri si Pendatang baru ini, bukan yang sudah terbiasa dengan tradisi lama atau dalam hal ini mertuanya," tambah Ajeng.

 

Ya, meski sempat disebutkan sebelumnya bahwa lebih dari setengah responden survei sempat merasa kesulitan menjalin hubungan baik dengan mertua pada awalnya, 8 dari 10 responden ternyata juga berhasil memiliki hubungan yang baik dengan mertua mereka.

 

Selain karena keterbukaan Mums untuk memahami sifat dan kebiasaan mertua, faktor lain yang juga cukup dominan dalam menciptakan hubungan yang baik dengan mertua adalah dukungan dan sikap netral dari pasangan. Keterbukaan pasangan terhadap Mums, terlebih mengenai kehidupan keluarganya, bisa sangat membantu Mums dalam memahami sifat dan kebiasaan mertua.

  

Di samping itu, perlakuan yang menyenangkan dari mertua, seperti membantu Mums saat kesulitan, memberikan saran, atau hanya sekadar mendengarkan keluh kesah Mums, juga bisa sangat mendukung terciptanya hubungan yang harmonis dengan mertua.

 

"Aku senangnya karena mertua aku, terutama ibu mertua itu, suka kasih saran-saran dan bantu-bantu juga. Misalnya, kalau mengolah makanan tuh aku harus apa atau misalnya pas aku kesulitan mengurus anak, mertuaku juga bantuin," ujar Ratna, salah satu responden survei yang memiliki hubungan baik dengan sang Mertua sejak awal pernikahan.

 

Baca juga: Mums, Ingat 5 Hal Ini Ketika Bertengkar dengan Dads
 

Keterlibatan Mertua dalam Pengasuhan Anak Sering Kali Memicu Konflik

Hubungan antara Mums, Dads, dan juga mertua bisa dibilang cukup kompleks, terlebih lagi ketika Mums sudah hamil dan memiliki anak. Sangat bisa dipahami jika orang tua memang memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak.

 

Di sisi lain, mertua dengan pengalamannya juga merasa memiliki keinginan untuk menjadikan sang Cucu seperti yang diharapkannya. Kondisi seperti inilah yang terkadang menimbulkan permasalahan baru antara Mums dan mertua.

 

Bahkan, tak hanya ketika Mums sudah memiliki anak, konflik antara menantu dan mertua juga bisa timbul sejak Mums menjalani program kehamilan atau hamil. Sekitar 65% dari 586 Mums yang sedang menjalani program kehamilan atau sedang hamil pun mengaku mengalaminya. 

 

Ada pun tiga konflik utama yang sering muncul di masa ini antara lain permintaan mertua kepada menantu untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai keinginan (30%), kritik mertua terhadap menantu (28%), dan intervensi mertua dalam keputusan untuk memilih layanan medis selama program kehamilan atau ketika menjalani kehamilan (15%).

 

Sementara itu, dari 527 Mums yang sudah memiliki anak, 58% di antaranya juga ternyata kerap mengalami konflik dengan mertua terkait pola pengasuhan. Perbedaan pendapat tentang cara perawatan anak menjadi sumber masalah utama dari konflik antara Mums dan mertua, diikuti dengan pola dan kebiasaan makan anak, kemudian waktu tidur anak.

 

Salah satu Mums yang mengalami kondisi ini ialah Putri. Dimulai sejak masa kehamilannya, Putri mengaku bahwa sang Mmertua terlalu banyak memberikan intervensi terkait pemilihan layanan medis, seperti dokter dan rumah sakit. Tidak berhenti di situ, setelah Putri melahirkan, ia juga merasa bahwa sang Mertua terlalu ikut campur dan banyak mengkritik tentang caranya dalam merawat anak.

 

"Kadang suka kesal sih, kayak ini kan anak aku, ya. Ya, walaupun memang baru anak pertama, aku masih belajar juga, tapi aku juga kan enggak asal-asalan. Maksudnya, kayak waktu aku menggendong anakku, aku juga akan memastikan kalau dia aman dan nyaman. Walaupun cara mertua berbeda dengan caraku, bukan berarti aku tidak bisa merawatnya," aku Putri.

  

Menanggapi hal ini, Ajeng menenekankan bahwa "happiness is compromising". Artinya, jika Mums menginginkan kehidupan relasi dengan mertua terasa menyenangkan, maka semuanya harus dikompromikan.

 

Beberapa pasangan mertua mungkin ada yang menyadari bahwa terdapat perbedaan pola asuh antara zamannya dan zaman sekarang, sehingga mereka tidak ingin terlalu mengintervensi keputusan Mums dan Dads dalam mengasuh si Kecil. Di sisi lain, tak sedikit pula pasangan mertua yang justru memiliki pandangan sebaliknya. Jika sudah begini, mungkin akan timbul gesekan dan konflik antara Mums dan mertua seperti yang dialami Putri.

 

"Jika memang mertua tidak menyadari adanya perbedaan tersebut, sebagai menantu tidak ada salahnya untuk mengupayakan berkompromi dan berdiskusi demi tercipta keharmonisan. Tidak perlu langsung serta merta menolak omongan mertua, karena selain bisa menyakiti, mungkin omongan tersebut bisa berguna juga," kata Ajeng.

 

Ajeng memberikan saran, misalnya jika ada webinar mengenai perawatan bayi, cobalah untuk mengajak mertua ikut serta di dalamnya. Dengan begini, mertua memperoleh pengetahuan baru dan melihat fakta akan adanya perbedaan pola pengasuhan yang Mums maksud. Alih-alih mertua merasa digurui oleh menantu, Mums dan mertua juga bisa berkompromi mengenai pola asuh apa yang memang cocok untuk diterapkan.

 

"Yang penting itu, bersyukur dan pandai melihat apa yang bisa kita syukuri. Kedua, jangan mudah emosi negatif. Ketiga, perlu diingat kalau semua masalah tidak akan selesai dalam waktu singkat, Memang butuh proses dan kita harus yakin bahwa lama-lama kita bisa solving the problem juga selama kita mengupayakan cara penyelesaiannya," tambah Ajeng.

 

Suami, Penghubung antara Mums dan Mertua Ketika Timbul Konflik

Berada dalam situasi konflik dengan mertua memang terasa sangat tidak nyaman. Meski kebanyakan Mums akan mengungkapkannya kepada Dads, tetapi ada pula Mums yang justru memilih untuk diam dan memendamnya sendiri. 

 

Menurut Ajeng, mengungkapkan keresahan Mums terkait konflik dengan mertua adalah cara yang paling efektif dalam menjaga hubungan tetap harmonis. Dengan mengutarakannya, Dads bisa membantu menjadi penghubung dan memberikan saran untuk menyelesaikan konflik. Hal ini mengingat Dads sebagai anak kandung pasti akan lebih memahami karakteristik dan kebiasaan orang tuanya.

 

Di sisi lain, sebagai pasangan, Mums juga harus bisa memandang dari 'kacamata' Dads, di mana ia berada di antara Mums dan orang tuanya. Hal ini tentu bukan hal mudah bagi Dads, sehingga jika Mums juga terlalu menyudutkan Dads karena perilaku mertua, bisa jadi justru timbul masalah baru lagi dalam rumah tangga Mums.

 

"Kadang kala yang jadi posisi sandwich kan pasangan (suami), antara istri atau orang tua. Itulah yang harus disadari dulu. Ketika sudah menyadari, pada akhirnya kita bisa saling toleransi, dan komitmen jadi keluarga yang bahagia," tutup Ajeng. (AS)

 

Baca juga: Bertengkar dengan Suami saat Hamil, Berdampak pada Janin?