Kematian mendadak sering disebabkan oleh penyakit jantung, khususnya penyakit jantung koroner. Keadaan ini merupakan keadaan di mana jantung tidak bisa mendapatkan aliran oksigen akibat adanya penumpukan atau sumbatan di pembuluh darah jantung itu sendiri. Akibat dari penyumbatan ini berakibat fatal karena dapat menghentikan kerja jantung dan mengakibatkan kematian.

 

Kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner biasanya rentan menyerang kelompok umur di atas 40 tahun. Namun, tidak sedikit kasus ini juga dialami oleh orang yang berusia lebih muda.

 

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi angka kejadian penyakit jantung koroner, antara lain adanya darah tinggi (hipertensi), kebiasaan merokok, dan kolesterol tidak normal. Termasuk di dalamnya kolesterol total, LDL (kolesterol jahat), dan HDL (kolesterol baik). Selain itu, tidak adanya aktivitas fisik, usia, jenis kelamin (laki-laki), serta adanya riwayat penyakit jantung dalam keluarga juga memperbesar risiko mengalami hal ini.

 

Dikatakan bahwa penyumbatan arteri koroner sudah mulai terbentuk sejak sekitar usia 20 tahun. Oleh karena itu, menjalani perilaku hidup sehat menjadi pencegahan yang disarankan untuk menghindari penyakit jantung koroner di kemudian hari.

 

Saya sendiri sudah melakukan pemeriksaan kolesterol sejak usia 24 tahun dan tenyata hasil kolesterol saya di atas batas normal. Mengacu pada hasil kolesterol tersebut, saya jadi bisa melakukan modifikasi terhadap gaya hidup yang saya jalankan.

 

Modifikasi gaya hidup ini antara lain konsumsi makanan rendah lemak dan rendah kolestrol, beraktivitas fisik, dan melakukan pemeriksaan ulang untuk mengevaluasi keadaan kolesterol darah tersebut. Jika hasilnya masih tinggi, dapat dikonsultasikan ke dokter untuk mendapatkan terapi khusus supaya kadar kolesterol turun.

 

Selain kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner, hal ini juga dapat disebabkan oleh suatu sindroma yang disebut dengan Brugada syndrome. Brugada syndrome merupakan keadaan yang cukup langka, yang juga dipengaruhi oleh genetik.

 

Sindroma ini dapat menyebabkan berbagai keadaan, seperti takiartimia (ritme jantung yang sangat cepat, tetapi tidak teratur), pingsan, henti jantung, sampai kematian mendadak. Selain bisa terjadi pada usia muda, yaitu sejak usia 30 tahun, angka kejadian pada pria juga lebih tinggi daripada wanita. Brugada syndrome sering terjadi pada pasien ras Asia, dengan riwayat kesehatan yang tidak bermakna atau sehat sebelumnya.

 

Selain pingsan dan henti jantung, gejala Brugada syndrome bisa tidak jelas. Beberapa pasien tidak memiliki gejala yang bermakna, sementara yang lainnya bisa mengalami keluhan sering terbangun tengah malam dengan mimpi buruk.

 

Gambaran rekam jantung (elekrokardiogram) memberikan gambaran blok pada cabang ventrikel kanan dan peningkatan segmen ST di lead V1 dan V3. Selain itu, bisa didapatkan atrial fibrilasi dan ventrikel fibrilasi. Hal ini bisa diinterpretasikan oleh dokter yang memeriksa. Henti jantung yang mendadak bisanya terjadi pada saat orang tersebut berisirahat atau sedang tertidur.

 

Pemeriksaan pada orang yang dicurigai memiliki Brugada syndrome sebenarnya sulit dilakukan karena kemungkinan tidak bergejala. Namun pada orang yang memiliki gejala pingsan, dapat dilakukan pemeriksaan rekam jantung, elektrolit, dan enzim jantung untuk mendeteksi kemungkinan injury pada jantung koroner. Echocardiography dapat dilakukan sesuai indikasi pasien.

 

Pasien yang diketahui memiliki sindrom ini dengan riwayat henti jantung sebelumnya, dapat dilakukan pemasangan automatic implantable cardioverter-defibrillator (ICD) untuk menurunkan risiko kejadian kematian mendadak. Selain itu, tidak ada obat yang saat ini direkomendasikan untuk Brugada syndrome. (AS)