Dari sekian banyak kasus kelainan kromosom yang terjadi di dunia, down syndrome, atau yang juga dikenal dengan nama trisomi 21, termasuk kasus yang paling banyak disoroti. Pasalnya, secara umum janin dengan kelainan ini berpotensi besar untuk lahir dan tumbuh dewasa. “Sedangkan pada kasus kelainan kromosom lain, biasanya janin tidak berkembang dan mengalami abortus (kegagalan kehamilan) di awal-awal usia kandungan. Kalaupun dilahirkan, bayi biasanya tidak mampu bertahan hidup lama.” ungkap dr. Ardiansjah Dara, Sp.OG, M.Kes., dari MRCCC Siloam Hospital, Semanggi, Jakarta.

Kromosom pada makhluk hidup diturunkan separuh dari pihak ayah dan separuhnya lagi dari pihak ibu. Dan pada manusia, bentuknya menyerupai pita serta berjumlah 46. Dokter Madeleine Jasin, Sp.A., dari RSCM menjelaskan, “Manusia normal akan lahir dengan sepasang kromosom 21. Kendati demikian, bayi dengan penyakit down syndrome memiliki kelebihan kromosom 21. Yang seharusnya hanya 2, malah ada 3. Akhirnya, jumlah keseluruhan kromosom dalam tubuh pun menjadi 47.” Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri ketika terjadi pembelahan.

Berkenalan dengan Down Syndrome

Down syndrome pertama kali ditemukan pada tahun 1866 oleh dr. John Longdon Down. Down syndrome dalah kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya kelainan genetik atau ketidaknormalan perkembangan kromosom. Data di tahun 2016, kata dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG., dari Brawijaya Women and Children Hospital, menunjukkan bahwa terdapat 4 juta anak penderita down syndrome di dunia.

Penderita down syndrome memiliki ciri-ciri fisik khusus, yaitu memiliki tubuh yang relatif pendek, kepala lebih kecil dari ukuran normal, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid, kontraksi otot lemah, serta telinga yang kecil dan cenderung lebih rendah dari mata. Keadaan fisik ini juga ditunjang dengan keterlambatan tumbuh-kembang. Berbeda dengan autisme, sampai sekarang belum ada studi klinis yang menyatakan gender tertentu lebih banyak mengalami down syndrome.

Sayangnya, hingga saat ini down syndrome tidak dapat dikoreksi dengan metode intervensi apapun. Dan menurut dr. Dara, pengguguran kandungan karena masalah down syndrome tidak diperkenankan di Indonesia. Padahal, dr. Madeleine menuturkan, masalah tersebut juga membuat penderitanya berisiko lebih tinggi mengalami kelainan jantung, infeksi saluran napas, kelainan mata, serta kelainan darah. “Kelainan kromosom akan berdampak pada banyak organ, mulai dari kepala, telinga, mata, otak, jantung, dan lain-lain. Penanganannya harus disiplin dan meliputi keseluruhan,” terangnya.

Pentingnya Deteksi Dini

Deteksi dini selama kehamilan sangat diperlukan supaya dokter dan orangtua bisa langsung mendiskusikan penanganan apa yang terbaik bagi sang anak. Misalnya bisa langsung dilakukan evaluasi kelainan jantung dan lain sebagainya. Setelah lahir, anak dengan down syndrome diharapkan mendapatkan fisioterapi agar bisa menyusu dengan baik, mendapatkan pemeriksaan mata setiap 2 tahun sekali, pemeriksaan telinga setiap 1-2 tahun sekali, maupun pemeriksaan jantung secara berkala.

Skrining OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome) pun perlu dilakukan ketika usia mereka mencapai 4 tahun. Sebab, jelas dr. Madeleine, hampir 50 persen anak dengan down syndrome mendengkur dan mengalami apnea atau henti napas sejenak saat tidur. Jika terdapat kondisi kesehatan tertentu, misalnya kekurangan hormon tiroid atau masalah jantung, anak dengan down syndrome bisa pula diberikan obat-obatan.

Dengan terapi yang disesuaikan dengan kondisi kesehatan, serta stimulasi dan pendidikan yang tepat setelah lahir, bukan tidak mungkin anak-anak dengan down syndrome mampu tumbuh dan berkembang secara optimal, supaya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri ketika dewasa kelak.