Portrait of young Asian boy getting angry and resentful Ada anak yang mengekspresikan kekesalannya dengan marah karena usianya yang masih kecil. Ada juga anak yang memang memiliki karakter bawaan pemarah sejak kecil. Biasanya yang kedua ini didukung oleh karakter keras si anak. Jadi, baik usianya 3 tahun atau 9 tahun, anak yang berkarakter keras biasanya bawaannya meledak-ledak. Karakter seperti ini tak sepenuhnya didominasi sisi negatif—tentunya ada juga dong sisi positifnya; si anak pemarah memiliki sifat keras hati sekaligus keras kemauannya. Tidak mudah menyerah. Contohnya adalah si bungsu di rumah saya. Perjalanan saya dan suami dalam membantunya mengendalikan emosi adalah tantangan yang seru sekaligus berharga. Karena, kami berdua yakin, kecerdasan emosi adalah sesuatu yang dapat ditumbuhkan dan dilatih, bahkan pada anak pemarah sekalipun. Saat anak marah, sering kali orangtua (termasuk saya!) hanya fokus pada kemarahan si anak. Termasuk tindakan yang dilakukannya saat si kecil sedang marah, seperti melempar mainan atau memukul orang di dekatnya, yang tentunya bikin kita makin kesal. Fokus seperti ini sudah saatnya diubah. Tidak hanya anak, orang dewasa saja pasti memiliki alasan mengapa ia menjadi marah. Jadi, ketika amarah anak pecah, langsung ingatkan diri kita bahwa ia begitu karena ada sesuatu yang mengganggunya, membuatnya tidak nyaman. Alasan tersebut belum bisa disampaikan secara gamblang oleh si anak sehingga yang keluar hanya ekspresi kesalnya saja. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan orangtua saat situasi memanas? Sebisa mungkin orangtua jangan sampai terpancing. Don’t join the chaos. Ketika anak meluapkan emosinya dengan melempar vas bunga, angkat atau giring ia ke tempat yang aman untuk memberinya ruang menenangkan diri. Intinya, saat melakukan semua itu, orangtua harus dalam kondisi tenang dan terkendali. Bukannya meneriaki balik si anak, menceramahinya panjang-lebar, atau bahkan menekannya dengan tujuan ia sadar terhadap kesalahannya. Semua itu akan sia-sia ketika kondisi si anak, juga kita, masih panas. Jadi, pertama-tama, tenangkan diri sendiri dulu, baru setelah itu tenangkan si anak. Kunci keberhasilan anak mengendalikan diri dimulai dari orangtua yang mampu berbuat demikian lebih dulu. Hal ini tidak akan tercapai apabila ayah atau ibunya masih mudah marah dalam menyelesaikan masalah. Setelah tenang, berikut hal-hal yang hendaknya orangtua lakukan saat si anak pemarah melampiaskan kekesalannya:

1. Ajak anak mengenali emosinya

Cara yang saya lakukan adalah dengan masuk ke dalam percakapan saat ia berhenti berbicara untuk menarik napas,”Adek lagi kesal banget ya? Di sini rasanya mau meledak, Nak?” tutur saya sambil menyentuh dadanya. Saat saya berkata begitu, biasanya ia berhenti mengomel dan mengangguk pelan-pelan.  

2. Tunjukkan bahwa kita berempati

Untuk bisa menunjukkan rasa empati ini, pertama-tama pastikan posisi tubuh kita dengan si anak sama tingginya (eye level), lalu kita dapat menambahkan,”Ibu mengerti perasaan Adek; nggak enak ketika sudah capek bermain, masih harus beresin mainan lagi. Boleh Ibu bantu ya?” Berempati bukannya bersikap lembek dan mengiyakan semua permintaan anak. Perlahan-lahan, kita ingatkan kewajiban anak untuk bertanggung jawab terhadap mainannya, walau awalnya kita ikut membantu membereskan juga.

3. Tuntun dirinya untuk menyampaikan apa yang membuatnya marah

Anak marah pasti ada sebabnya. Namun, tidak semua anak paham, bahwa penting untuk memahami alasan dirinya menjadi marah. Ini kerap terjadi karena orangtua hanya fokus terhadap kemarahan si anak, bukannya membantu anak menelusuri relung dirinya. Yuk, ubah cara ini dan tuntun anak mencari tahu apa yang membuatnya marah. Dengan begitu, jalan keluarnya pun dapat bersama-sama dicari.

4. Ingatkan bahwa marah tidak membuat tujuan jadi lebih cepat tercapai

Dengan melampiaskan amarah, bukan tujuannya tercapai, justru akan membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri, menjadi tidak nyaman. Kesal dan marah merupakan bagian dari emosi kita. Jadi, amatlah wajar apabila kita merasakan itu. Dan dengan menyadari kemarahan dalam diri, kita pun jadi mampu lebih cepat menenangkan diri, lalu merumuskan cara untuk mencapai tujuan tanpa marah-marah. Kembali lagi, pastikan kita sebagai orangtua mampu menjadi role model mereka ya. Apakah pada akhirnya si anak pemarah bisa mengendalikan emosinya? Saya percaya itu akan terwujud, karena saat ini pun sudah terlihat kemajuan yang oke pada si bungsu. Satu hal yang harus kita ingat, anak tidak serta-merta menjadi keras dan pemarah. Bisa saja ia membawa gen tersebut dari ayah, ibu, dan kakek-neneknya (he and she are the mini us!). Atau, selama ini ia mencontoh cara kita sehari-hari dalam menyikapi masalah, yakni dengan marah. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, apabila orangtua sabar dan konsisten menjalankan langkah “tenangkan diri – empati – tenangkan anak – diskusi”, maka si anak pun jadi lebih mampu mengendalikan emosinya. Ini akan terlihat pada situasi anak marah dan ia tidak mudah bereaksi keras. Atau, si anak mampu menenangkan diri kembali dengan cepat setelah amarahnya pecah. Bagi saya sendiri, tidak ada kebahagiaan yang lebih gempita di hati , selain melihat si bocah perlahan-lahan menjelma jadi little man yang matang.