“Abang mainnya robot sama pedang-pedangan. Mbak mainnya boneka sama masak-masakan.”

 

Dulu, pembedaan mainan anak untuk laki-laki dan perempuan dianggap wajar. Alasannya adalah anggapan bahwa mainan tertentu identik dengan jenis kelamin tertentu. Lewat mainan, anak diharapkan dapat mengenali peran gendernya di masyarakat. Makanya, suka ada celetukan begini, bahkan dari orang tua sendiri:

 

“Ih, anak laki-laki kok mainnya boneka? Itu kan mainan anak perempuan.”

 

“Wah, kamu tomboi ya mainnya perang-perangan sama Abang.”

 

Sebenarnya, perlukah memisahkan mainan antara bayi laki-laki dan perempuan?

 

Beberapa Riset Terkait Pemisahan Mainan Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Memang sih bila masih bayi si Kecil belum mengerti benar mengenai jenis kelamin dan peran gender. Berikan ia mainan apa pun dan bila tertarik, ia akan memainkannya. Bahkan, kadang si Kecil suka memainkan benda-benda lain yang bukan untuk dijadikan mainan.

 

Namun, cara ini mempunyai akibat jangka panjang yang kurang baik, Mums. Menurut Prof. Melissa Hines dari Cambridge University, hal ini dapat mengakibatkan adanya kesenjangan gender dalam pemilihan mainan untuk si kecil.

 

Beda Otak Anak Laki-laki dengan Anak Perempuan

Memang, penelitian telah membuktikan bahwa cara kerja otak anak laki-laki dengan perempuan berbeda. Permainan fisik melibatkan gerak motorik cenderung lebih diminati oleh anak laki-laki. Makanya, robot dan mobil-mobilan lebih menarik perhatian. Sedangkan, otak anak perempuan lebih mengekspresikan minat tertentu. Itulah mengapa boneka dan mainan masak-masakan lebih menarik perhatian.

 

Paparan Hormon Androgen pada Janin

Riset berikutnya terkait dengan pengaruh paparan hormon androgen pada janin. Janin dengan paparan hormon lebih banyak cenderung lebih aktif secara fisik setelah lahir. Makanya, anak laki-laki cenderung memilih mainan bergerak seperti mobil-mobilan dan anak perempuan cenderung suka boneka.

 

Dari hasil 2 riset di atas, keluarlah asumsi umum bahwa anak laki-laki hanya menyukai mainan tertentu, begitu pula dengan anak perempuan. Banyak toko mainan yang kemudian menempatkan dagangan mereka berdasarkan kategori jenis kelamin. Di satu sisi, orang tua jadi lebih mudah memilih mainan untuk sang Buah Hati.

 

Di sisi lain, hal ini jadi membatasi anak dalam bereksperimen lewat permainan. Bukankah sesungguhnya tujuan bermain yaitu mengenal berbagai hal dalam hidup? Biarkan anak bermain dengan mainan apa pun yang menyenangkan baginya, selama tidak merugikan secara fisik. Memisahkan mainan untuk anak laki-laki dengan anak perempuan justru banyak menimbulkan efek negatif. Lho, kok bisa?

 

Dampak Jangka Panjang Pemisahan Mainan untuk Anak Laki-laki dan Anak Perempuan

Meskipun masih banyak yang menganggap pemisahan mainan wajar dan diharuskan, sebenarnya ada dampak jangka panjang yang negatif di baliknya, seperti:

  • Membatasi kemampuan dan keterampilan anak.
  • Minat dan bakat anak jadi tidak berkembang secara optimal.
  • Perkembangan kognitif anak terhambat.
  • Menghambat aspirasi karier anak saat dewasa.
  • Stereotipe gender yang berujung pada semakin kuatnya ketidaksetaraan gender.

 

Misalnya, anak laki-laki yang sebenarnya suka dan berbakat memasak jadi enggan memilih karier sebagai koki saat dewasa. Alasannya, memasak lazimnya pekerjaan perempuan. Apalagi, mainan masak-masakan juga dilabeli sebagai ‘mainan anak perempuan’ di toko-toko.

 

Begitu pula dengan anak perempuan yang memilih karier yang berbeda dengan stereotipe gendernya. Misalnya, si Kecil ingin berkarier di bidang teknik, tetapi jadi ragu gara-gara bidang tersebut dianggap untuk laki-laki. Bahkan, anak perempuan masih cenderung ‘diarahkan’ untuk menjadi ibu rumah tangga saja, tanpa melihat cita-cita sejatinya.

 

Peran laki-laki dan perempuan di masyarakat sama-sama penting dan berharga, apa pun pilihan kariernya. Jangan sampai semua itu jadi terbatas hanya gara-gara dari kecil dibatasi harus main apa ya, Mums! (AS)

 

Referensi

Beritagar: Mainan anak tak mengenal jenis kelamin

World Economic Forum: How toys teach children about gender stereotyping

Let Toys be Toys: Why it matters