Mums, saat musim demam berdarah tiba, semua orang tua sudah pasti khawatir. Untuk melindungi keluarga dari demam dengue atau demamberdarah dengue, biasanya dilakukan upaya fogging atau pemberantasan sarang nyamuk. Kini ada teknologi baru yang sedang ramai dibicarakan yaitu pemanfaatan nyamuk wolbachia untuk menurunkan angka dengue Sayangnya, masih banyak masyarakat yang menolak karena khawatir dengan keamanannya. Padahal, penelitian dan hasilnya cukup signifikan menurunkan angka dengue, lho! Yuk cari tahu fakta sebenarnya dari nyamuk wolbachia untuk pencegah dengue, langsung dari pakarnya.

 

Demam berdarah dengue (DBD) dan COVID-19 menjadi isu kesehatan yang cukup hangat belakangan ini. DBD tentu saja terkait dengan nyamuk ber-Wolbachia, dan COVID-19 berkaitan peningkatan kasus.

 

Kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1968, di Jakarta dan Surabaya. “Saat itu, tingkat kematiannya sangat tinggi karena kita belum tahu mengenai penyakitnya,” ungkap dr. Imran Pambudi MPHM, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Kesehatan RI. Seiring waktu, tingkat kematian akibat DBD makin menurun, tapi angka kejadian masih tetap tinggi.

 

Lebih jauh, dr. Imran memaparkan bahwa tahun ini (2023) merupakan siklus 5 tahunan DBD. “Tiap lima tahun ada lonjakan kasus dengue, berkaitan dengan fenomena El Nino. Sejak kita mendapat info dari BMKG mengenai El Nino kita langsung melakukan mitigasi untuk pencegahan DBD, dan hasilnya cukup memuaskan,” tuturnya. Hal ini terlihat dari penurunan kasus dengue dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, tercatat ada 143.000 kasus dan 1.236 kematian, sedangkan tahun ini hanya terjadi 85.900 kasus dan 683 kematian.

 

Secara garis besar, intervensi yang bisa dilakukan untuk menekan dengue ada tiga. Yaitu intrevensi pada lingkungan, intervensi pada vektor (nyamuk), dan intervensi pada manusia. Intervensi pada lingkungan misalnya dengan pemberantasan sarang nyamuk, dan intervensi pada manusia misalnya dengan vaksinasi dan memakai baju lengan panjang di daerah endemis dengue.

 

Adapun intervensi pada vektos misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, dan fogging atau obat semprot sebagai insektisida. “Intervensi vektor yang ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia,” tandas dr. Imran. Ia menjelaskan, telah terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan kasus dengue.

 

Nyamuk Wolbachia Aman 

Pilot project nyamuk ber-Wolbachia dilakukan di Yogyakarta. “Sebelum kami melakukan penelitian tersebut dalam skala besar, kami lakukan dulu pengkajian selama enam bulan yang melibatkan 20 orang ahli dari berbagai bidang. Termasuk di antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial,” jelas dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D, Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat & Keperawatan UGM. Berdasarkan literature review dan kajian lain, disimpulkan bahwa kemungkinan risiko yang bisa terjadi adalah yang paling rendah, yang biasa kita temukan sehari-hari dan bisa diabaikan.

 

Nyamuk ber-Wolbachia bukanlah rekayasa genetika. “Untuk menyangkal hal ini, kita bisa merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang diinfeksi dan genetic-modified mosquito,” tutur dr. Doni, begitu ia disapa.

 

Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa hidup dalam tubuh serangga. “Wolbachia tidak mengubah karakter nyamuk. Tidak ada perbedaan bermakna antara nyamuk ber-Wolbachia di wilayah intervensi dengan nyamuk alami di wilayah kontrol,” terang dr. Doni. Ia melanjutkan, nyamuk ber-Wolbachia juga tidak merusak lingkungan. “Tidak terbukti bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia meningkatkan populasi nyamuk cullex,” imbuhnya.

 

Sebaliknya, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta terbukti menurunkan insiden dengue 77% dan menurunkan kejadian rawat inap di RS hingga 86%. Rerata angka dengue nasional pun menurun drastis dibandingkan 30 tahun lalu. “Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, fogging turun hingga 85%. Ini sangat menggembirakan karena anggaran fogging bisa dialokasikan ke pengendalian penyakit lain,” ujar dr. Doni.

 

Studi di beberapa negara lain juga menemukan bahwa nyamuk ber-Wolbachia efektif menekan angka kejadian dengue. Selain itu, nyamuk ber-Wolbachia memberikan proteksi jangka panjang.

 

Disayangkan, masih ada kekhawatiran pada sebagian masyarakat mengenai nyamuk ber-Wolbachia. Terkait hal ini, Prof. Dr. Ede Surya Darmawan, S.K.M., M.D.M, dosen FKM UI dan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menegaskan, keputusan yang diambil oleh pembuat kebijakan haruslah berdasarkan data dan bukti ilmiah, bukan opini. Berbagai penelitian yang membuktikan manfaat dan keamanan nyamuk ber-Wolbachia selayaknya dijadikan landasan untuk melanjutkan pilot project ini ke kota-kota berikutnya.

 

Menurutnya, dengue termasuk salah satu neglected disease atau penyakit yang terabaikan, padahal masih jadi masalah besar di Indonesia. “Kita punya target untuk menurunkan case fatality rate. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapainya yaitu dengan mmodifikasi vektor dengue, yaitu dngan nyamuk ber-Wolbachia,” tandasnya.

 

Upaya ini sejalan dengan strategi nomor 6 terkait, penurunan penyakit yang meliputi pengembangan kajian, penelitian, dan inovasi. Ia menegaskan, hal ini idealnya diimbangi dengan strategi komunikasi yang baik sehingga tidak terjadi disinformasi di masyarakat. “Jangan heboh duluan di media sosial oleh orang-orang yang tidak punya basis data, padahal kita ingin bahwa stiap keputusan berbasis studi epidemiologi,” tegas Prof. Ede.