Kepedulian masyarakat akan kesehatan terus meningkat. Hal ini terlihat dari semakin banyak komunitas yang muncul, termasuk komunitas yang konsen untuk membahas bahaya HIV dan pelayanan Keluarga Berencana (KB). Kedua bahasan tersebut sangat penting untuk bisa disampaikan secara luas, mengingat efeknya yang dapat memengaruhi kesejahteraan dan masa depan masyarakat. Namun, apa jadinya jika gerakan tersebut justru dibatasi oleh peraturan pemerintah? Permasalahan ini mulai banyak diperbincangkan setelah keluarnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 481 dan Pasal 482. Peneliti senior dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara mengatakan peraturan tersebut justru dapat membatasi masyarakat yang selama ini aktif berkampanye tentang masalah kesehatan reproduksi.

Keluarga Berencana dan Bahaya HIV Dalam Undang-Undang

Pasal 481 menyatakan, barang siapa yang secara terang-terangan menawarkan dan menunjukkan alat pencegahan kehamilan (kontrasepsi) dapat dipidana. Sementara, pada Pasal 483 mengatur bahwa pihak yang diperbolehkan memberikan informasi berkaitan dengan alat pencegah kehamilan (kontrasepsi) adalah petugas yang berwenang saja. Dengan begitu, secara tidak langsung, keberadaan pasal tersebut akan mengancam pihak-pihak tertentu, termasuk komunitas-komunitas yang bergerak untuk menyampaikan informasi layanan KB dan bahaya HIV. “Artinya, masyarakat sipil atau pihak yang bergerak di bidang penyuluhan kesehatan reproduksi tidak diberikan hak sebagaimana pengaturan Pasal 481 R KUHP,” jelas Anggara. Baginya, kedua pasal itu akan bertentangan dengan upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki konsen memberikan penyuluhan program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Selain itu juga sangat membatasi pihak yang ingin mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penurunan angka kematian anak dan ibu.

Pentingnya Penyuluhan Terkait Alat Kontrasepsi

Hingga saat ini, angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih tinggi. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 359 per 100 ribu kelahiran hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah 32 per seribu kelahiran hidup. Angka ini sebenarnya mengalami penurunan tiap tahunnya setelah semakin banyak orang yang mengerti akan pengunaan alat kontrasepsi dan bahaya seks bebas. Penurunan tersebut tentu tidak terlepas dari banyaknya gerakan yang mengampanyekan hal mengenai Keluarga Berencana dan bahaya seks bebas. Kampanye yang diserukan pun banyak membahas mengenai alat kontrasepsi yang digunakan untuk program KB dan pencegahan bahaya HIV yang dapat ditularkan dari seks bebas. Komunitas yang bergerak di bidang ini tentu sangat membantu karena mereka yang secara langsung dapat merangkul masyarakat dari lingkup yang paling kecil. Masyarakat pun tidak lagi tabu akan alat kontrasepsi yang bisa digunakan dan sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu, jika kedua pasal di atas tetap diajukan maka kemungkinan dapat membatasi pergerakan komunitas-komunitas yang aktif membahas kesehatan reproduksi di masyarakat. Hingga saat ini, pemerintah pun masih belum meresmikan berlakunya Rancangan Undang-Undang tersebut. Bagaimana dengan tanggapan Anda pribadi? Apakah pasal ini akan berdampak untuk kehidupan masyarakat ke depannya?