Beberapa kali berjumpa dengan orang di pusat perbelanjaan atau di manapun, pasti mereka bertanya, “Anaknya usia berapa, Bu? Kok sudah lancar sekali jalannya?” Saat itu mungkin usia Elika baru 13 bulan dan kadang sudah tidak betah digendong. Makanya, kadang saya suka biarkan ia berjalan sendiri, namun tetap kami awasi.

Membiarkan Anak Belajar Berjalan Sendiri

Banyak juga yang bertanya sejak kapan Elika mulai jalan, apakah menggunakan pre-walker atau tidak, dan bagaimana kami mengajarinya. Agak bingung juga kalau ditanya bagaimana mengajarinya, karena kami tidak pernah mengajari Elika jalan dan kami juga tidak menggunakan pre-walker. Yang kami lakukan adalah membiarkannya eksplorasi lingkungan sekitar dan dirinya sendiri. Membiarkannya di sini juga bukan berarti tanpa pengawasan, ya. Namun, bukan berarti kami tidak sebentar-sebentar membantunya melakukan sesuatu. Salah seorang sahabat saya mendalami pendidikan untuk anak usia dini di Kanada karena ingin bekerja sebagai guru di daycare. Banyak sekali hal yang saya pelajari dari sharing pengalamannya. Salah satunya, pada waktu musim salju, seorang anak di daycare tersebut belum bisa keluar main bersama teman-temannya karena masih berusaha memakai jaket. Usia anak tersebut baru 3 tahun. Karena merasa kasihan, sahabat saya ini ingin membantunya, namun segera dicegah oleh rekan-rekan kerjanya. Alasannya adalah mereka tidak boleh terlalu cepat membantu anak ketika ia sedang berusaha melakukan sesuatu. Ketika ia benar-benar sudah berusaha dan tetap tidak bisa melakukannya, ia akan meminta tolong dengan sopan.

Orang Indonesia Memang Ringan Tangan, Tapi...

Mungkin sebagai orang Indonesia yang diasuh di lingkungan Indonesia, kita biasa membantu orang yang terlihat kesusahan. Namun ternyata menurut beberapa penelitian, hal tersebut malah menghambat seorang anak untuk cepat mempelajari sesuatu. Anak juga akan merasa tidak dapat melakukannya sendiri atau tidak kompeten. Dengan tidak terlalu cepat membantu anak, anak akan belajar problem solving. Cepat atau lambat mereka akan terbiasa mendapatkan pertolongan dari orangtuanya. Padahal cepat atau lambat mereka pun akan menjadi orang dewasa. Ketika kita tidak bisa lagi menolong anak, mereka akan menjadi orang dewasa yang tidak cakap. Berbekal dari hal itu, saya pun belajar menahan diri untuk tidak terlalu cepat menolong anak, bahkan saat ia terjatuh! Ketika anak terjatuh, sebagai orang tua pasti kita akan kaget sekali. Jantung pun rasanya langsung berdebar dan tangan ini rasanya sudah ingin segera menangkap dan memeluk anak kita. Namun saya benar-benar berusaha untuk tidak langsung buru-buru menolong anak. Awalnya sulit sekali dan lebih seringnya malah reaksi kita yang malah menjadi dorongan untuk anak menangis. Setelah saya biasakan untuk menahan diri dan bereaksi biasa saja begitu ia terjatuh, Elika pun ternyata dapat menahan diri untuk tidak menangis dan malah tetap main lagi. Saya takjub sekali dengan reaksi tersebut! Kecuali jika memang jatuhnya keras sekali, itu lain soal. Jika ia sampai menangis atau hampir menangis, barulah saya dekap dan saya beritahu untuk lebih berhati-hati lain kali. Terkait dengan hal itu, saya juga membiasakan untuk tidak menyalahkan lantai atau tembok atau lemari atau apapun yang membuatnya menangis atau membuat kepalanya benjol. Lebih baik diberitahu untuk lebih berhati-hati lain kali atau diberitahu bahwa lantai itu keras sehingga kalau jatuh nanti sakit. Dengan tidak menyalahkan benda-benda yang tidak salah tersebut, akan mengajarkan anak kita lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan, bertanggung jawab, dan tentunya tidak menyalahkan orang lain jika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya.