Hyper-parenting adalah salah satu metode pengasuhan orang tua terhadap anak. Menurut Exploring Your Mind, metode pengasuhan ini hasil dari model pendidikan dan pengasuhan anak yang lazim terdapat pada masyarakat yang sudah makmur. Mengingat kehidupan semakin bersifat kompetitif, hyper-parenting menjadi metode populer bagi para orang tua generasi milenial.
Hyper-parenting pertama kali populer di Amerika Serikat. Saking kuatnya tekanan untuk bersaing mati-matian, banyak orang tua -terutama dari kalangan sosial menengah ke atas- yang berambisi besar mendukung kesuksesan anak-anak mereka. Beberapa usaha mereka termasuk mendaftarkan anak-anak ke TK elit, bahkan sebelum si Kecil lahir.
Bahkan, tidak sedikit orang tua yang ‘mengamankan’ tempat untuk anak mereka di universitas terkemuka. Padahal, sang Anak belum juga menginjak masa remaja. Makanya, hyper-parenting juga dikenal dengan sebutan tiger parenting, apalagi bila dibarengi dengan kebiasaan orang tua yang terlalu mengatur setiap langkah anak.
Pendapat Para Ahli Mengenai Hyper-parenting
Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Namun, seberapa jauh usaha mereka, sampai justru malah mengorbankan masa kecil anak-anak yang harusnya bahagia?
Dokter Alvin Rosenfeld, lulusan Cornell University dan Harvard University jurusan kedokteran, berpendapat bahwa hyper-parenting dapat merusak masa kecil anak. Apalagi, bisa jadi kekhawatiran orang tua mengenai masa depan si Kecil sebenarnya berlebihan.
Namun, pendapat dr. Terri Apter berbeda. Menurut psikolog, penulis, sekaligus mantan tutor senior di Newnham College ini, setiap orang tua berhak memaksimalkan potensi anak-anak mereka sejak dini. Hal ini untuk menghindari kekecewaan yang mungkin akan terjadi di masa depan.
Benarkah demikian? Dalam Forum Sahabat Keluarga, Menteri Pendidikan, dan Kebudayaan, dipaparkan 6 efek negatif dari hyper-parenting.
- Anak tumbuh menjadi canggung
Anak tumbuh menjadi sosok dengan kepercayaan diri yang rendah, tidak mandiri, mudah menyerah, dan selalu merasa cemas dan ketakutan dengan dunia luar.
- Anak menjadi kaku secara emosional dan sulit dikendalikan
Terlalu banyak dan ketatnya aturan yang harus dipatuhi membuat anak menjadi tidak bebas mengekspresikan diri. Akibatnya, energi anak cepat terkuras, sehingga mudah kelelahan, baik secara fisik, emosional, mental, maupun psikologis.
- Anak jadi jarang bergerak atau melakukan aktivitas fisik
Hyper-parenting memengaruhi ruang gerak anak. Misalnya karena takut anak kelelahan hingga jatuh sakit atau lupa waktu belajar, orang tua membatasi waktu bermainnya, terutama di luar ruangan. Padahal, anak harus banyak bergerak juga agar sehat secara jasmani.
- Anak mudah menurut dan rentan depresi
Masih berkaitan dengan nomor 2, terlalu banyak dan ketatnya aturan yang harus dipatuhi membuat anak mudah menurut. Sekilas ini terdengar seperti idaman para orang tua agar anak tidak menyusahkan. Padahal, ini rentan memicu depresi anak, yang hasilnya baru terlihat bertahun-tahun kemudian.
- Anak rentan menjadi korban bullying di sekolah
Karena canggung secara sosial, anak rentan menjadi korban bullying di sekolah. Orang tua yang terlalu membatasi ruang gerak si Kecil akan membuatnya menjauh dari lingkaran sosialnya sendiri. Anak menjadi punya masalah komunikasi dengan teman-teman sebaya, sehingga rentan menjadi bahan ejekan.
- Anak jadi mudah sakit-sakitan
Orang tua yang menerapkan metode hyper-parenting percaya bahwa pembatasan waktu anak bermain di luar ruangan dapat melindunginya dari penyakit. Padahal, menurut Journal of Allergy and Clinical Immunology, lingkungan yang terlalu steril justru membuat si Kecil lemah.
Hmm, terdengar seram ya, Mums? Tidak salah sih kalau ingin selalu melindungi si Kecil. Namun, suatu saat ia akan beranjak dewasa. Selain membimbing ke jalan yang benar, biarkan juga ia mengambil keputusan sendiri dan belajar bertanggung jawab ya, Mums! (AS)
Referensi
Hyper-parenting: The Over-scheduled Child: Avoiding the Hyper-Parenting Trap
The Jakarta Post: Six negative effects of hyper-parenting