Hipertensi adalah masalah yang paling umum menyerang selama kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan dapat berdampak negatif, tidak hanya bagi janin, melainkan juga bagi sang Ibu. Itulah mengapa, deteksi dini dan manajemen tekanan darah yang baik amat diperlukan untuk menghindari komplikasi yang tidak diinginkan.

 

Ada banyak bentuk gangguan tekanan darah tinggi atau hipertensi dalam kehamilan. Pengobatannya pun akan berbeda, tergantung pada kondisi setiap individu. Sindrom pre-eklampsia atau eklampsia merupakan bentuk terparah dari hipertensi gestasional, dengan salah satu solusi terbaik adalah menyegerakan bayi untuk dilahirkan.

 

Hipertensi Menyerang Segala Usia

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah kesehatan yang memengaruhi 25-40% individu di seluruh dunia. Gangguan kesehatan ini adalah salah satu dari faktor risiko kardiovaskular mayor, dan diasosiasikan dengan banyak komplikasi masalah kardiovaskular, seperti stroke dan gagal jantung. Prevalensi hipertensi tertinggi di dunia berpusat di Afrika, yakni 46%.

 

Hipertensi sendiri dapat menyerang segala usia, tidak terkecuali wanita yang sedang mengandung. Secara global, prevalensi hipertensi dalam kehamilan adalah sebesar 5-10%. Sayangnya, hingga saat ini, obat-obatan antihipertensi memiliki efek pada ibu dan janin, meskipun minimal.

 

Hipertensi dalam Kehamilan

Diagnosis hipertensi dalam kehamilan didasarkan pada perhitungan standar office blood pressure (BP). Penggunaan alat pengukur tekanan darah otomatis agak kurang dianjurkan karena terkadang hasilnya tidak akurat dan sulit dijadikan tolok ukur untuk mendeteksi pre-eklampsia.

 

Nah, pemantauan darah ambulatori (ABPM) dianggap lebih akurat dan lebih baik dalam memprediksi kondisi tekanan darah ibu hamil. Hanya saja, pengukuran dengan cara ini sulit untuk terus diterapkan secara rutin karena keterbatasan waktu dan biayanya cukup besar.

 

Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan ke dalam hipertensi ringan (sistolik BP 140-159 mmHg dan/atau diastolik BP 90-109 mmHg) dan hipertensi berat dengan BP ≥ 160/110 mmHg). Dalam pedoman terbaru di Eropa, hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi:

 

  • Pre-excisting hypertension (Hipertensi yang sudah terjadi sebelum kehamilan)

Hipertensi ini didiagnosis sebelum Mums hamil, di awal kehamilan atau sebelum usia kandungan mencapai 20 minggu, atau ketika hipertensi masih terjadi setelah 6 minggu Mums melahirkan.

 

  • Gestational hypertension (Hipertensi gestasional): Hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, dan biasanya terjadi sampai 6 minggu setelah persalinan. Hipertensi jenis ini disebut sebagai bentuk kedua dari hipertensi.
  • Hipertensi yang sudah terjadi sebelum kehamilan ditambah dengan hipertensi gestasional dan proteinuria (urine mengandung protein dalam jumlah yang abnormal)
  • Pre-eklampsia
  • Hipertensi yang tidak terklasifikasi secara antenatal: Istilah ini digunakan ketika hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan di atas 20 minggu dan masih belum jelas apakah Mums sudah mengalami hipertensi sebelum kehamilan. Pemeriksaan ulang di minggu ke-6 setelah persalinan akan membantu untuk mengetahui apakah hipertensi ini terjadi sebelum kehamilan atau selama kehamilan.

 

Penanganan hipertensi dalam kehamilan cukup sulit. Karenanya, dibutuhkan para ahli di bidang kehamilan berisiko dan masalah kardiovaskular. Itulah kenapa kombinasi tim antara dokter kandungan dan kardiologis menjadi persyaratan penting untuk menangani Mums yang mengalami hipertensi dalam kehamilan.

 

Komplikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Selain risiko eklampsia, hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan Mums mengalami solusio plasenta dan koagulasi intravaskular diseminata. Janin pun berisiko tinggi mengalami intrauterine growth retardation (IUGR) atau pertumbuhannya terhambat, lahir prematur, dan intrauterine death atau kematian di dalam kandungan.

 

Ini tidak bisa disepelekan, sebab risiko hipertensi dalam kehamilan jangka panjang adalah Mums 4 kali lebih tinggi berisiko mengalami hipertensi kronis, serta 2 kali lebih tinggi berisiko terkena stroke dan penyakit jantung iskemik.

 

Sedangkan bagi wanita yang sudah mengalami hipertensi berat sebelum kehamilan akan berisiko tinggi mengalami pre-eklampsia, sindrom HELLP, dan lebih lama dirawat di rumah sakit. Bayinya pun berisiko tinggi dirawat di neonatal care, lahir prematur, berat badan lahir rendah, hingga meninggal.

 

Sindrom Pre-eklampsia dan Eklampsia

Hipertensi gestasional dengan proteinuria yang signifikan (>0,3 g / 24 jam atau ≥ 30 mg/mmol ACR) serta munculnya beberapa gejala, seperti pusing, pandangan kabur, nyeri perut, dan hasil tes yang abnormal, bisa menjadi tanda yang perlu diwaspadai.

 

Pasalnya, bisa jadi Mums mengalami pre-eklampsia. Eklampsia merupakan bentuk yang parah dari pre-eklampsia. Dalam beberapa kasus, pre-eklampsia bisa berkembang di periode awal pasca-persalinan.

 

Ada beberapa kelompok wanita yang berisiko mengalami pre-eklampsia, yaitu:

  1. Sedang hamil anak pertama.
  2. Sedang hamil kembar atau lebih.
  3. Obesitas parah.
  4. Mengalami diabetes melitus.
  5. Mengidap penyakit ginjal atau penyakit autoimun.
  6. Memiliki riwayat hipertensi kronis.
  7. Memiliki riwayat pre-eklampsia di kehamilan sebelumnya.
  8. Memiliki anggota keluarga yang juga pernah mengalami pre-eklampsia.

 

Penanganan Hipertensi dalam Kehamilan

Sebenarnya, belum ada cara yang benar-benar bisa mencegah hipertensi. Namun, penting untuk menerapkan pola hidup sehat dan selalu melakukan kontrol kehamilan. Jika Mums sudah terkena hipertensi sebelum kehamilan atau didiagnosis hipertensi saat hamil, maka dokter akan meresepkan obat antihipertensi untuk menekan keparahan hipertensi dan meyakinkan si Kecil dapat terus berada dalam kandungan dalam kondisi sehat hingga waktunya dilahirkan. Apabila Mums mengalami hipertensi yang berat, maka rawat inap biasanya akan dibutuhkan.

 

Pemberian Obat Antihipertensi selama Kehamilan

Bagi Mums yang mengalami hipertensi dalam kehamilan, target tekanan darah yang ideal adalah di bawah 140/90. Apabila tekanan darah Mums yang sudah mengalami hipertensi sebelum hamil di atas atau sama dengan 150/95 mmHg serta lebih dari 140,90 mmHg bagi Mums yang mengalami hipertensi gestasional, maka dokter akan merekomendasikan pemberian obat antihipertensi.

 

Namun, biasanya tekanan darah akan menurun di trimester kedua kehamilan, sehingga beberapa ibu hamil diperbolehkan untuk menghentikan pengonsumsian obat antihipertensi. Meski begitu, Mums tidak boleh menghentikan pengonsumsian obat antihipertensi tanpa izin dokter, ya!

 

Lalu apakah Mums dengan hipertensi dalam kehamilan diperbolehkan untuk melahirkan secara normal? Jawabannya boleh-boleh saja selama tidak ada kontraindikasi ya, Mums. Persalinan di minggu ke-37 direkomendasikan bagi Mums yang tidak mengalami masalah kesehatan tertentu Sedangkan bagi Mums yang mengalami pre-eklampsia, gangguan hemostatik, ataupun sindrom HELLP disarankan untuk tidak menunda persalinan demi keselamatan ibu dan anak.

 

Apabila kondisi hipertensi masih terus berlanjut setelah Mums melahirkan, maka pengonsumsian obat antihipertensi harus tetap diteruskan. Walaupun hampir semua obat akan terserap ke ASI, tetapi efeknya minimal jika dibandingkan dengan risiko kesehatan yang bisa Mums alami. Kendati demikian, obat Methyldopa biasanya tidak diberikan karena dapat menyebabkan depresi pasca-melahirkan.

 

Hipertensi dalam kehamilan mampu meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Karenanya, deteksi dini dan penanganan yang tepat penting untuk dilakukan. (AS)

 

Referensi:

European Society of Cardiology: Hypertension in pregnancy